Jumat, 10 Agustus 2012

Mudik dan Problem Kependudukan


Mudik dan Problem Kependudukan
Nova Riyanti Yusuf ; Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Fraksi Partai Demokrat
SINDO, 10 Agustus 2012

Mudik adalah kegiatan perantau untuk kembali ke kampung halamannya dan di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang Lebaran.

Dengan mudik, seseorang mempunyai kesempatan untuk berkumpul dengan orang tua, sanak saudara, tetangga, dan teman-teman yang sudah terlupakan. Begitu juga penjelasan beberapa jurnal ilmiah bahwa istilah homecoming banyak diperuntukkan bagi penjabaran suasana psikologi seseorang yang akan kembali ke rumah setelah penugasan militer di sebuah medan perang.

Memang tidak salah, mudik setelah setahun penuh, bahkan mungkin bertahun-tahun tidak pulang kampung, sudah banyak terjadi pergulatan fisik, mental, ideologi, dan lain-lain dalam perantauannya. Ditambah lagi dengan “perang” terhadap diri sendiri dalam menjalankan satu bulan penuh puasa ramadan. Bedanya,mudik bersifat temporer atau sementara.

Psikologi Mudik

Proses adaptasi saat berkumpul kembali (reuni) dengan keluarga idealnya berlangsung cepat dan lancar agar keadaan bisa normal seperti sediakala. Realitanya kadang berbeda dari ekspektasi romantisme yang terbayang jauh-jauh hari. Mengingat ada dampak dari perubahan kultur tanpa ada kesempatan atau cukup waktu untuk dekompresi dan menyesuaikan diri lagi dengan keluarga. Kecemasan, frustrasi, amarah, dan ketegangan bisa terjadi karena kegagalan manajemen situasi pada periode ini.

Adanya perubahan dinamika keluarga selama mereka pergi merantau misalnya anggota keluarga (pasangan atau anak) menjadi meningkat dependensi atau independensinya. Bagi keluarga yang ditinggal mungkin ada kekhawatiran finansial, reaksi negatif dari anak karena ada perubahan tiba-tiba dalam lingkungan keluarga pada saat orang tua kembali. Resiliensi atau kemampuan untuk bisa cepat kembali normal tentu sangat dibutuhkan demi tercapainya keterikatan empatik.

Jika kita melihat secara skala massal, kita melihat sebuah arus besar pergerakan rakyat Indonesia dalam menyambut hari yang fitri sebagai bagian dari sebuah tradisi religi-sosial-budaya. Kadang terabaikan bahwa di dalam arus besar tersebut ada individu- individu dengan kondisi psikologi yang unik saat menghadapi hari H. Hari yang fitri adalah kemenangan bersama, tetapi isi pikir dan suasana alam perasaan begitu personal melatarbelakangi tindakan seseorang.

Ada beberapa ilustrasi kasus riil berupa berbagai upaya untuk menghindar dari realita yang tidak nyaman seperti menghadapi sanak saudara yang akan mempertanyakan bagaimana dengan kehidupan rumah tangganya, bagaimana kariernya, dan lainlain. Memilih untuk menghindari “dunia” untuk sementara waktu tidak serta-merta menjadikan seseorang asketik yang merasa kekurangan untuk memenuhi tuntutan hidup, atau fobia dunia, dengan tendensi melarikan diri dari dunia dan kehidupan nyata.

Namun, juga tidak sedikit yang sudah pasang kuda-kuda mempersiapkan diri untuk menunjukkan eksistensi dirinya sebagai seseorang yang sukses di kota dengan semburat kesan narsisistik. Masih sehat selama memang eksistensi tersebut murni sesuai dengan kemampuannya. Menjadi tidak sehat jika harus berhutang atau berpura-pura hanya untuk memenuhi kebutuhan narsisistiknya. Pasca-Lebaran justru dikhawatirkan malah akan menghadapi ancaman stres yang baru lagi.

Pascamudik

Berbagai berita mengenaskan seperti jumlah kecelakaan dengan korban meninggal dan jejalan penumpang di berbagai stasiun, terminal, pelabuhan, dan lain-lain tentu bukan pemberitaan yang kita harapkan untuk mengisi kenangan seputar hari raya yang suci. Bagi stakeholders kondisi klasik ini harus terus dikaji dan dianggap sebagai permasalahan serius sehingga perlu dicari jalan keluarnya.

Selama dianggap sebagai kewajaran, tidak akan pernah ada perbaikan.Padahal mungkin tanpa disorientasi pembangunan ekonomi Indonesia sejak puluhan tahun lalu dan problem kesenjangan aktivitas ekonomi antara kota dan desa yang berimplikasi pada (misalnya) peningkatan selera bekerja di pabrik sebagai buruh di kota,tidak harus ada korbankorban berjatuhan pada setiap kesempatan mudik.

Biasanya jumlah perantau yang kembali ke kota akan lebih banyak lagi dari tahun-tahun sebelumnya.Urbanisasi adalah problem klasik pasca mudik lebaran karena secara psikologi, ada sebuah keyakinan (yang tidak bisa dikatakan patologis) bahwa di kota lebih banyak kesempatan daripada di desa. Kondisi ini membutuhkan analisis kependudukan. Stakeholder utama yang mengurusi kependudukan di Indonesia adalah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

BKKBN secara kelembagaan seharusnya kuat berdasarkan Undang-Undang No 52/2009 dan Perpres No 62/2010. Peraturan Presiden No 62/2010 tentang BKKBN mengamanatkan bahwa tugas BKKBN adalah melaksanakan pengendalian penduduk dan menyelenggarakan Keluarga Berencana (KB).Penambahan tugas kependudukan adalah tantangan yang akan semakin berat, tetapi diharapkan solutif.

Prinsip-prinsip perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sesungguhnya sudah sangat ideal, yaitu kependudukan harus ditempatkan sebagai titik sentral kegiatan pembangunan (people-centered development) dan kebijakan kependudukan harus diintegrasikan ke dalam pembangunan sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup. Jika efektif, itu dapat mencegah urbanisasi akibat berbagai ketidakpuasan dan ketidakpahaman atas psikologi massa.

Menyelesaikan Dinamika

Lantas bagaimana menyelesaikan dinamika kependudukan di Indonesia? Salah satunya menyudahi berbagai permasalahan yang mendasar seperti regulasi yang belum efektif. Pertama, harus diterbitkan peraturan pelaksana dari UU No 52/2009.

Kedua, implementasi UU No 52/2009 yang menyangkut kebijakan dan program jangka menengah dan pendek pengelolaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, begitu rumit karena dibutuhkan Peraturan Perundang-undangan (PP) sebagai pelaksanaan UU yang harus dibuat di tingkat daerah.

Perlu menindaklanjuti Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 1 Februari 2011 terkait usulan revisi PP dari UU No 32/2004 dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan otonomi daerah. PP No 38/2007 untuk menyelaraskan dengan UU No 52/2009 agar kewenangan wajib bidang keluarga berencana menjadi Bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana. Sementara PP No 41/2007 agar menjadi rumpun yang berdiri sendiri yaitu Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD).

Ketiga, mengingat kewenangan BKKBN yang berkedudukan sebagai LPNK, penguatan kelembagaan BKKBN menjadi upaya yang tidak terelakkan. Implementasi UU No 52/2009 membutuhkan koordinasi lintas sektoral baik horizontal dan vertikal antara BKKBN, Bappenas, Kemendagri, Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar