Menyetop
Kekerasan di Sekolah
S Sahalatua Saragih ; Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
REPUBLIKA,
31 Juli 2012
Lagi-lagi
kita dibuat bersedih hati setelah membaca berita tentang tindak kekerasan yang
dilakukan oleh belasan siswa senior terhadap tiga siswa baru Sekolah Menengah
Atas (SMA) Don Bosco Pondok Indah Jakarta (Republika, 27/7). Tindakan mereka
tak dapat digolongkan sebagai kenakalan remaja, tetapi sudah termasuk tindak
kriminal. Bila masih berusia di bawah 18 tahun, mereka masih tergolong anak.
Berarti orang tua kandung atau orang tua wali mereka harus turut bertanggung
jawab penuh terhadap tindakan yang sangat buruk para siswa tersebut.
Mengapa
tindak kekerasan fisik dan psikologis di banyak sekolah terus terjadi setiap
tahun (yang terberitakan di media massa hanya beberapa kasus)? Apakah para
orang tua, guru-guru, pengelola sekolah, dan Dinas Pendidikan tidak sanggup
lagi mencegahnya dan menghukum berat para pelaku tindak kriminal tersebut?
Apakah para penegak hukum tidak bisa menghukum berat para penjahat muda itu?
Kita
tidak tahu bagaimana caranya mendesak para orang tua, terutama yang sangat
sibuk, agar mau dan mampu meng asuh dan mendidik anak masing-masing dengan
penuh kasih dan tanggung jawab. Fakta selama ini menunjukkan bahwa banyak anak
melakukan tindak kekerasan atau kejahatan gara-gara salah asuhan. Mereka tidak
memperoleh asuhan penuh yang baik dari orang tua masing-masing. Mereka justru diasuh
oleh berbagai tontonan jelek melalui teknologi informasi dan komunikasi yang
sangat canggih, yang disediakan orang tua mereka sendiri, di samping tontonan
buruk di media massa (televisi).
Harus
diakui, mengasuh anak generasi sekarang, terutama yang lahir dan besar di
kota-kota besar, memang sangat sulit. Kini, banyak orang tua yang telah kehilangan
wibawa, fungsi, dan peran utama dalam pengasuhan anak meskipun mereka serumah.
Tak terhitung berapa banyak anak Indonesia yang selama ini tidak memperoleh
pelukan hangat, kasih mesra, dan asuhan rohaniah yang intensif dari orang tua
kandung atau orang tua wali mereka.
Sebenarnya
sejak 10 tahun lalu, kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang
Perlindungan Anak (UUPA). Dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan, setiap anak berhak
untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Pasal 8 UUPA berbunyi tegas, setiap anak berhak
memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik,
mental, spiritual, dan sosial. Bahkan, Pasal 9 UUPA juga menegaskan, “Setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.”
Dalam
Pasal 10 dinyatakan, setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,
menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan
kepatutan. Juga dalam Pasal 11 UUPA dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk
beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya,
bermain, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya
demi pengembangan diri.
Pasal
13 UUPA Ayat (1) berbunyi, “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,
wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik
ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya.”
Apakah
amanat UUPA ini terlaksana di lapangan (masyarakat), termasuk di sekolah?
Pertanyaan ini telah terjawab oleh berbagai berita di media massa selama ini,
termasuk berita terbaru tentang kekerasan di SMA Don Bosco itu. Telah amat
sering muncul berita tentang pelanggaran UUPA, tetapi para pelanggarnya
dibiarkan saja melenggang.
Lalu,
apa yang mesti dilakukan agar tindak kriminal di sekolah tidak terus terjadi?
Menurut
penulis, pemerintah (Kemendiknas dan Dinas Pendidikan) perlu segera membuat
peraturan yang tegas dan keras. Pertama, sekolah dilarang menerima siswa baru.
Artinya, bila di suatu sekolah atau para siswa suatu sekolah beberapa kali melakukan
tindak kekerasan atau kriminal terhadap siswa baru atau sesama siswa
seangkatan, sekolah yang bersangkutan dilarang menerima siswa baru (sekali atau
satu angkatan).
Bila pada tahun-tahun berikutnya masih juga terjadi peristiwa
serupa, sekolah itu kembali dilarang menerima siswa baru. Hal ini pernah
dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Pemimpin Institut Pemerintahan Dalam Ne
geri (IPDN) Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Ternyata, hasilnya
cukup bagus.
Kedua,
pemecatan kepala sekolah. Bila tak sanggup mengasuh para siswa di sekolahnya,
kepala sekolah yang bersangkutan harus diberhentikan dari jabatannya. Ketiga,
pemecatan kepala dinas pendidikan. Bila di wilayahnya sering terjadi tindak
kekerasan atau kriminal sesama siswa, kepala dinas pendidikan di wilayah yang
bersangkutan harus diberhentikan. Keempat, mengeluarkan (memecat) para siswa
yang terbukti secara hukum bersalah, baik terhadap siswa baru maupun siswa
lama. Kepala Sekolah harus memberi mereka surat pemecatan resmi.
Kelima,
menghukum orang tua para siswa pelaku tindak kekerasan atau kriminal. Bagaimana
caranya? Sekolah-sekolah dilarang menerima siswa yang telah dipecat yang berada
di wilayah yang sama. Dengan hukuman tegas dan keras ini, kita berharap sekali
tak bertambah terus korban tindak kekerasan atau kriminal yang dilakukan siswa
(anak) terhadap sesama siswa (anak) pada masa mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar