Rabu, 01 Agustus 2012

Menyetop Kekerasan di Sekolah

Menyetop Kekerasan di Sekolah
S Sahalatua Saragih ; Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
REPUBLIKA, 31 Juli 2012


Lagi-lagi kita dibuat bersedih hati setelah membaca berita tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh belasan siswa senior terhadap tiga siswa baru Sekolah Menengah Atas (SMA) Don Bosco Pondok Indah Jakarta (Republika, 27/7). Tindakan mereka tak dapat digolongkan sebagai kenakalan remaja, tetapi sudah termasuk tindak kriminal. Bila masih berusia di bawah 18 tahun, mereka masih tergolong anak. Berarti orang tua kandung atau orang tua wali mereka harus turut bertanggung jawab penuh terhadap tindakan yang sangat buruk para siswa tersebut.

Mengapa tindak kekerasan fisik dan psikologis di banyak sekolah terus terjadi setiap tahun (yang terberitakan di media massa hanya beberapa kasus)? Apakah para orang tua, guru-guru, pengelola sekolah, dan Dinas Pendidikan tidak sanggup lagi mencegahnya dan menghukum berat para pelaku tindak kriminal tersebut? Apakah para penegak hukum tidak bisa menghukum berat para penjahat muda itu?

Kita tidak tahu bagaimana caranya mendesak para orang tua, terutama yang sangat sibuk, agar mau dan mampu meng asuh dan mendidik anak masing-masing dengan penuh kasih dan tanggung jawab. Fakta selama ini menunjukkan bahwa banyak anak melakukan tindak kekerasan atau kejahatan gara-gara salah asuhan. Mereka tidak memperoleh asuhan penuh yang baik dari orang tua masing-masing. Mereka justru diasuh oleh berbagai tontonan jelek melalui teknologi informasi dan komunikasi yang sangat canggih, yang disediakan orang tua mereka sendiri, di samping tontonan buruk di media massa (televisi).

Harus diakui, mengasuh anak generasi sekarang, terutama yang lahir dan besar di kota-kota besar, memang sangat sulit. Kini, banyak orang tua yang telah kehilangan wibawa, fungsi, dan peran utama dalam pengasuhan anak meskipun mereka serumah. Tak terhitung berapa banyak anak Indonesia yang selama ini tidak memperoleh pelukan hangat, kasih mesra, dan asuhan rohaniah yang intensif dari orang tua kandung atau orang tua wali mereka.

Sebenarnya sejak 10 tahun lalu, kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 8 UUPA berbunyi tegas, setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Bahkan, Pasal 9 UUPA juga menegaskan, “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.”

Dalam Pasal 10 dinyatakan, setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Juga dalam Pasal 11 UUPA dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 13 UUPA Ayat (1) berbunyi, “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya.”

Apakah amanat UUPA ini terlaksana di lapangan (masyarakat), termasuk di sekolah? Pertanyaan ini telah terjawab oleh berbagai berita di media massa selama ini, termasuk berita terbaru tentang kekerasan di SMA Don Bosco itu. Telah amat sering muncul berita tentang pelanggaran UUPA, tetapi para pelanggarnya dibiarkan saja melenggang.
Lalu, apa yang mesti dilakukan agar tindak kriminal di sekolah tidak terus terjadi?

Menurut penulis, pemerintah (Kemendiknas dan Dinas Pendidikan) perlu segera membuat peraturan yang tegas dan keras. Pertama, sekolah dilarang menerima siswa baru. Artinya, bila di suatu sekolah atau para siswa suatu sekolah beberapa kali melakukan tindak kekerasan atau kriminal terhadap siswa baru atau sesama siswa seangkatan, sekolah yang bersangkutan dilarang menerima siswa baru (sekali atau satu angkatan). 

Bila pada tahun-tahun berikutnya masih juga terjadi peristiwa serupa, sekolah itu kembali dilarang menerima siswa baru. Hal ini pernah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Pemimpin Institut Pemerintahan Dalam Ne geri (IPDN) Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Ternyata, hasilnya cukup bagus.

Kedua, pemecatan kepala sekolah. Bila tak sanggup mengasuh para siswa di sekolahnya, kepala sekolah yang bersangkutan harus diberhentikan dari jabatannya. Ketiga, pemecatan kepala dinas pendidikan. Bila di wilayahnya sering terjadi tindak kekerasan atau kriminal sesama siswa, kepala dinas pendidikan di wilayah yang bersangkutan harus diberhentikan. Keempat, mengeluarkan (memecat) para siswa yang terbukti secara hukum bersalah, baik terhadap siswa baru maupun siswa lama. Kepala Sekolah harus memberi mereka surat pemecatan resmi.

Kelima, menghukum orang tua para siswa pelaku tindak kekerasan atau kriminal. Bagaimana caranya? Sekolah-sekolah dilarang menerima siswa yang telah dipecat yang berada di wilayah yang sama. Dengan hukuman tegas dan keras ini, kita berharap sekali tak bertambah terus korban tindak kekerasan atau kriminal yang dilakukan siswa (anak) terhadap sesama siswa (anak) pada masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar