Rabu, 01 Agustus 2012

Demokrasi Oligopolistik


Demokrasi Oligopolistik
Fithra Faisal Hastiadi ; Direktur Eksekutif, Indonesian Progressive Institute,
Peneliti dan Pengajar, Fakultas Ekonomi UI
REPUBLIKA, 31 Juli 2012


Pemilu 2014 semakin terlihat di depan mata. Sejumlah figur potensial pun bermunculan. Sebagian telah bersahutan dengan lantang sebagai calon presiden (capres) sementara yang lain masih malu-malu meski tetap memberi sinyal mau.

Tetap sungguh disayangkan, mayoritas dari mereka yang digadang-gadang sebagai capres merupakan figur-figur lawas. Ke mana figur-figur baru? Dari beratus juta masyarakat Indonesia, ketiadaan figur baru sangat musykil kiranya. Atau, mereka sengaja diberangus oleh sistem demokrasi yang oligopolistik?
 
Demokratisasi merupakan formula yang tepat dan legitimatif bagi kemerdekaan.
Tetapi, jika tidak berhati-hati, demokrasi hanya akan berujung pada hegemoni dan dominasi.

Oligopoli

Ada dua hal yang membuat demokrasi di Indonesia menjadi oligopolistik.
Yang pertama adalah dari sisi sulitnya pemain baru untuk masuk dan yang kedua adalah interaksi pemain-pemain lama dalam sistem. Sulitnya figur baru untuk bertempat tak lepas dari hambatan sistematis yang termaktub dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).

Ketentuan mengenai presidential threshold, misalnya, dalam UU disebutkan, syarat pengajuan calon presiden oleh partai atau gabungan partai harus memperoleh 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara secara nasional. Hal ini tentunya merupakan barriers to entry yang dibuat untuk mematikan peluang para kandidat baru yang potensial.

Dengan tidak adanya partai yang dominan dalam sistem demokrasi Indonesia juga memungkinkan terjadinya koalisi antarparpol. Keputusan untuk tunduk atau hengkang dari koalisi adalah suatu keputusan strategis yang sangat tipikal kompetisi oligopoli. Dalam model ini, keseimbangan (equilibrium) yang mungkin dicapai ada pada dua titik, yaitu collusive equilibrium di mana semua parpol semakin memperkuat koalisi. Keseimbangan yang kedua adalah nash equilibrium di mana tidak ada kerja sama antarparpol dalam sistem.

Pada kenyataannya di Indonesia, collusive equilibrium mendapat porsi yang cukup dominan dalam jangka pendek sehingga parpol enggan untuk beranjak dari koalisi. Meskipun deviasi dari strategi ini --hengkang dari koalisi--dimungkinkan, tetapi dalam jangka pendek parpol akan selalu kembali pada titik ini.

Rigiditas ini dimungkinkan mengingat dalam jangka pendek, imbalan (payoff) dari keputusan untuk bertahan dalam koalisi lebih besar ketimbang hengkang. Ada dua alternatif payoff, yang pertama adalah mendapatkan porsi kekuasaan dalam pemerintahan dan yang kedua adalah mendulang simpati rakyat.

Dengan demikian, parpol akan bertindak lagi sesuai keadaan alaminya, merebut simpati rakyat. Di tengah pergerakan keseimbangan yang cukup dinamis ini, demokrasi oligopolistik menghasilkan kerugian bagi para aktornya, baik dari parpol sebagai produsen politik maupun rakyat sebagai konsumen politik. Kerugian tersebut adalah dari terpenjaranya para parpol untuk melakukan manuver politik sementara rakyat kesulitan untuk mendapatkan capres alternatif untuk memuaskan kehausan mereka akan figur pemimpin yang kuat dan bertanggung jawab.

Dalam studi yang penulis lakukan pada awal 2010, ditemukan bahwa demokrasi oligopolistik di Indonesia justru menghambat laju distribusi pendapatan masyarakat atau dengan kata lain, telah tercipta sebuah kesenjangan besar dalam masyarakat karena demokrasi. Pola ini terjadi karena demokrasi di Indonesia telah mengkreasikan sebuah budaya korupsi.

Menjamurnya korupsi tentu tidak lepas dari sistem pemilihan umum yang terdesentralisasi ke setiap pelosok daerah. Akibatnya, setiap aktor yang terlibat dalam sistem seperti ini `dipaksa' untuk menghibur para stakeholders-nya.
Tentu saja setiap pemenang pemilu model demikian akan terlibat koalisi kepentingan yang sarat akan muatan korupsi dan nepotisme.

Memfungsikan Demokrasi

Demokrasi menjadi sebuah transaksi yang harus dituntaskan. Pada kebijakan publik, prasyarat keterbukaan merupakan elemen yang penting. Jika prasyarat itu tidak ada, maka transaksi tersebut pasti merugikan publik. Karena itu, syarat adanya transaksi pada domain publik adalah transparansi, akuntabilitas.

Dengan tingginya tingkat transparansi, maka gejolak yang terjadi akan dengan mudah ditanggulangi. Tanpa adanya transparansi, target kebijakan menjadi tidak berguna, karena publik tidak dapat membandingkan antara target dan realisasi, sehingga dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan. Pada praktiknya, transparansi ini diwujudkan oleh pembuat kebijakan dengan memublikasikan analisis mengenai prospek masa depan dan juga analisis kebijakan yang telah dibuat pada periode sebelumnya.

Lebih lanjut, dengan adanya akuntabilitas kebijakan, maka dengan sendirinya memunculkan legitimasi politik yang kuat. Legitimasi politik menjadi penting karena kebijakan yang dibuat harus merefleksikan sebuah konsensus nasional. Kondisi balance of power juga tanggung jawab yang ada, pada akhirnya dapat mengurangi dampak buruk dari kurang berfungsinya demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar