Krisis
Integritas Keuangan
Vincent Didiek WA ; Guru
Besar Bisnis Internasional
Fakultas
Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unika Soegijapranata Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 23 Agustus 2012
Dunia kembali diguncang oleh
krisis integritas keuangan global, yakni skandal terkait dengan London Interbank Offered Rate (Libor).
Sebelum itu terjadi krisis keuangan global terkait dengan kebangkrutan Enron, Lehman Brothers, Arthur Anderson dan
sebagainya, yang berkaitan dengan Wallstreet
dan sistem keuangan global.
Salah satu penerima Hadiah Nobel bidang ekonomi Paul Krugman menyebut fenomena itu sebagai krisis integritas. Hegemoni institusi keuangan dunia yang begitu besar sehingga lepas dari kontrol, baik oleh masyarakat maupun pemerintah.
Pemerintah dan masyarakat begitu sulit menjangkau terjadinya pemalsuan data dan manipulasi. Dengan alasan ekonomi berorientasi pasar membuat seakan-akan pemerintah melepaskan fungsi pengawasan terhadap hegemoni pasar keuangan global.
Contohnya, pemerintah Inggris seolah-olah tidak berdaya terhadap praktik manipulasi secara berjamaah berkaitan dengan penentuan suku bunga yang dilakukan sekelompok perbankan di Inggris, Eropa, dan beberapa bank terkemuka dunia, dengan cara mengecilkan suku bunga yang sebenarnya menjadi acuan kalangan perbankan dunia.
Meskipun pemerintah Inggris mempunyai British Financial Services Authority, faktanya pengawasan lembaga ini tidak bersifat mandatori. Padahal Libor digunakan untuk menentukan acuan suku bunga berbagai bank dunia, termasuk Indonesia, dalam menetapkan berbagai produk investasi keuangan antara lain kartu kredit, derivatif untuk transaksi bursa komoditas, berbagai produk sekuritas, obligasi, hipotek, reksa dana, suku bunga tabungan, ataupun pinjaman bank dan sebagainya.
Reputasi Libor hancur dan terpuruk gara-gara sejumlah bank terkemuka dunia memalsukan dan memanipulasinya demi keuntungan mereka. Skandal tersebut menyebabkan para investor memperoleh pendapatan bunga jauh lebih kecil dari yang seharusnya mereka peroleh. Kerugian yang dialami oleh para investor global tidak tanggung tanggung, yaitu sekitar 800 triliun dolar AS.
Libor merupakan kurs referensi harian dari suku bunga yang dibebankan dalam pemberian pinjaman tanpa jaminan oleh suatu bank kepada bank lainnya yang berpartisipasi di pasar uang London (London Interbank Market). Libor diterbitkan oleh 16 bank terkemuka Inggris, dimotori oleh Barclays tergabung dalam British Bankers Association (BBA), asosiasi dagang nonprofit, sebagai acuan untuk pinjaman dengan jangka waktu 1 malam hingga 1 tahun.
Perbankan AS
Penetapannya seara resmi tiap hari, namun angkanya berubah-ubah sepanjang hari tersebut. Libor didapatkan dari angka rata-rata suku bunga deposito antarbank dari bank-bank yang terpilih, kemudian diestimasi dan dihitung oleh lembaga Thomson Reuters. Libor digunakan sebagai acuan untuk menentukan suku bunga pinjaman jangka pendek (jangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 tahun) di London. Praktiknya tidak hanya di London, seluruh dunia juga menggunakannya termasuk perusahaan investasi ataupun perbankan di Indonesia.
Dengan hancurnya kredibilitas Libor sebagai acuan penentuan suku bunga perbankan ataupun lembaga investasi dunia, belum ada alternatif yang kredibel untuk menggantikannya. Apalagi berbagai transaksi keuangan global, berupa transaksi forward market, masih terikat kontrak dengan Libor.
Menggunakan acuan perbankan AS yang tergabung dalam kelompok Wallstreet juga masih diragukan kredibilitasnya karena institusi tersebut juga mempunyai rapor merah terhadap integritasnya. Bahkan ketika Presiden Obama belum lama diambil sumpahnya sebagai Presiden AS, berniat akan mengontrol pasar uang Wallstreet yang kebablasan dalam menggunakan otoritasnya, namun rencananya itu tenggelam dalam ketidakpastian.
Pada kasus manipulasi Libor, pemalsuan data dilakukan secara bersama-sama atau berjamaah untuk mengelabui para investor, dikesankan seolah-olah perbankan sehat dengan menginformasikan suku bunga pinjaman yang lebih rendah daripada yang seharusnya sehingga pendapatan bunga para investor global menjadi lebih kecil atau dirugikan. Dalam perekonomian makro falsifikasi pertumbuhan investasi yang lebih rendah dari yang seharusnya akibat skandal manipulasi tersebut dapat memicu kegagalan free market capitalism yang oleh Krugman dikatakan kapitalisme bisa gagal bukan karena sistem melainkan lebih karena tidak adanya integritas pada para pelakunya.
Salah satu penerima Hadiah Nobel bidang ekonomi Paul Krugman menyebut fenomena itu sebagai krisis integritas. Hegemoni institusi keuangan dunia yang begitu besar sehingga lepas dari kontrol, baik oleh masyarakat maupun pemerintah.
Pemerintah dan masyarakat begitu sulit menjangkau terjadinya pemalsuan data dan manipulasi. Dengan alasan ekonomi berorientasi pasar membuat seakan-akan pemerintah melepaskan fungsi pengawasan terhadap hegemoni pasar keuangan global.
Contohnya, pemerintah Inggris seolah-olah tidak berdaya terhadap praktik manipulasi secara berjamaah berkaitan dengan penentuan suku bunga yang dilakukan sekelompok perbankan di Inggris, Eropa, dan beberapa bank terkemuka dunia, dengan cara mengecilkan suku bunga yang sebenarnya menjadi acuan kalangan perbankan dunia.
Meskipun pemerintah Inggris mempunyai British Financial Services Authority, faktanya pengawasan lembaga ini tidak bersifat mandatori. Padahal Libor digunakan untuk menentukan acuan suku bunga berbagai bank dunia, termasuk Indonesia, dalam menetapkan berbagai produk investasi keuangan antara lain kartu kredit, derivatif untuk transaksi bursa komoditas, berbagai produk sekuritas, obligasi, hipotek, reksa dana, suku bunga tabungan, ataupun pinjaman bank dan sebagainya.
Reputasi Libor hancur dan terpuruk gara-gara sejumlah bank terkemuka dunia memalsukan dan memanipulasinya demi keuntungan mereka. Skandal tersebut menyebabkan para investor memperoleh pendapatan bunga jauh lebih kecil dari yang seharusnya mereka peroleh. Kerugian yang dialami oleh para investor global tidak tanggung tanggung, yaitu sekitar 800 triliun dolar AS.
Libor merupakan kurs referensi harian dari suku bunga yang dibebankan dalam pemberian pinjaman tanpa jaminan oleh suatu bank kepada bank lainnya yang berpartisipasi di pasar uang London (London Interbank Market). Libor diterbitkan oleh 16 bank terkemuka Inggris, dimotori oleh Barclays tergabung dalam British Bankers Association (BBA), asosiasi dagang nonprofit, sebagai acuan untuk pinjaman dengan jangka waktu 1 malam hingga 1 tahun.
Perbankan AS
Penetapannya seara resmi tiap hari, namun angkanya berubah-ubah sepanjang hari tersebut. Libor didapatkan dari angka rata-rata suku bunga deposito antarbank dari bank-bank yang terpilih, kemudian diestimasi dan dihitung oleh lembaga Thomson Reuters. Libor digunakan sebagai acuan untuk menentukan suku bunga pinjaman jangka pendek (jangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 tahun) di London. Praktiknya tidak hanya di London, seluruh dunia juga menggunakannya termasuk perusahaan investasi ataupun perbankan di Indonesia.
Dengan hancurnya kredibilitas Libor sebagai acuan penentuan suku bunga perbankan ataupun lembaga investasi dunia, belum ada alternatif yang kredibel untuk menggantikannya. Apalagi berbagai transaksi keuangan global, berupa transaksi forward market, masih terikat kontrak dengan Libor.
Menggunakan acuan perbankan AS yang tergabung dalam kelompok Wallstreet juga masih diragukan kredibilitasnya karena institusi tersebut juga mempunyai rapor merah terhadap integritasnya. Bahkan ketika Presiden Obama belum lama diambil sumpahnya sebagai Presiden AS, berniat akan mengontrol pasar uang Wallstreet yang kebablasan dalam menggunakan otoritasnya, namun rencananya itu tenggelam dalam ketidakpastian.
Pada kasus manipulasi Libor, pemalsuan data dilakukan secara bersama-sama atau berjamaah untuk mengelabui para investor, dikesankan seolah-olah perbankan sehat dengan menginformasikan suku bunga pinjaman yang lebih rendah daripada yang seharusnya sehingga pendapatan bunga para investor global menjadi lebih kecil atau dirugikan. Dalam perekonomian makro falsifikasi pertumbuhan investasi yang lebih rendah dari yang seharusnya akibat skandal manipulasi tersebut dapat memicu kegagalan free market capitalism yang oleh Krugman dikatakan kapitalisme bisa gagal bukan karena sistem melainkan lebih karena tidak adanya integritas pada para pelakunya.
Bila Lord Acton dari Inggris
mengatakan bahwa power tends to corrupt,
atau kekuasaaan cenderung korup, berlaku bukan hanya di dunia politik, kini adagium itu juga terjadi dalam dunia
bisnis internasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar