Kamis, 23 Agustus 2012

Kala Hakim Tipikor Jadi Koruptor


Kala Hakim Tipikor Jadi Koruptor
Emerson Yuntho ;  Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) 
JAWA POS, 23 Agustus 2012


KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat lalu (17/8) menangkap Kartini Juliana Mandalena Marpaung dan Heru Kusbandono yang berprofesi sebagai hakim ad hoc pengadilan negeri tindak pidana korupsi (pengadilan tipikor) karena menerima suap dari Sri Dartutik, seorang pengusaha. Tim penyidik KPK menangkap ketiganya setelah upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI di Kantor Pengadilan Negeri Semarang. 

Diduga, suap Rp 150 juta itu terkait penanganan perkara dugaan korupsi yang melibatkan Ketua DPRD Kabupaten Grobogan yang sedang diadili di Pengadilan Tipikor Semarang. Kartini Juliana Mandalena Marpaung merupakan salah seorang majelis hakim perkara itu. 

Tertangkapnya dua hakim ad hoc pengadilan tipikor dalam perkara suap sungguh memalukan dan sekaligus memprihatinkan. Ironis karena mereka adalah hakim yang sebelumnya bertugas memeriksa dan mengadili terdakwa korupsi, namun sekarang justru terlibat sebagai pelaku korupsi. Cepat atau lambat keduanya juga akan diperiksa dan diadili oleh rekan sejawat mereka di pengadilan tipikor. 

Kejadian Jumat kelabu lalu jelas merupakan musibah bagi dunia peradilan dan upaya pemberantasan korupsi. Hal itu juga berdampak kepada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan pengadilan tipikor di daerah. 

Tidak dapat dimungkiri, keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh kinerja pengadilan tipikor. Sia-sia kerja KPK dan kejaksaan memproses pelaku korupsi yang seharusnya dihukum, tapi justru dibebaskan oleh pengadilan tipikor. 

Kisah penangkapan terhadap hakim yang menerima suap bukanlah kali pertama. Sebelumnya, komisi antirasuah itu juga pernah menangkap para hakim yang telah menerima suap dari pihak beperkara. Mereka itu, antara lain, Syarifuddin (hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat), Imas Dianasari (hakim ad hoc  pengadilan hubungan industrial), dan Ibrahim (hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta). Tiga hakim tersebut sudah diadili dan telah mendekam di penjara sebagai koruptor. 

Penangkapan hakim ad hoc tersebut sekaligus menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan bahwa saat ini mafia peradilan menjalar hingga ke pengadilan tipikor. Padahal, sebelumnya lembaga itu dinilai kredibel di mata masyarakat karena terdiri atas hakim yang berintegritas dan telah menghukum berat banyak koruptor. 

Kebiasaan membebaskan koruptor yang dilakukan pengadian umum juga menular ke pengadilan tipikor. Pantauan Indonesia Corruption Watch mencatat, hingga 1 Agustus 2012 sedikitnya 71 terdakwa korupsi telah dibebaskan oleh pengadilan tipikor di 15 provinsi.

Perang terhadap korupsi akan gagal jika benteng terakhir penjaga keadilan justru terlibat dalam praktik korupsi atau menjadi koruptor. Agar tidak terjadi lagi peristiwa memalukan itu di masa mendatang, Mahkamah Agung (MA) harus melakukan sejumlah perbaikan. 

Pertama, penguatan pengawasan dan pemberian sanksi atau hukuman yang keras terhadap hakim-hakim yang telah merusak citra pengadilan dan melukai rasa keadilan masyarakat. Bahkan, sebagai orang yang paham hukum dan berprofesi sebagai penegak hukum, jika terbukti bersalah, hukumannya harus lebih tinggi daripada masyarakat biasa. 

Langkah tersebut penting dilakukan agar memberikan efek jera tidak hanya kepada oknum hakim yang terlibat penyimpangan, namun juga memberikan peringatan terhadap hakim yang lain agar tidak melakukan tindakan serupa di masa mendatang. 

Perkara tertangkapnya hakim ad hoc tipikor dan hakim-hakim yang lain juga menegaskan bahwa kenaikan remunerasi yang diterima hakim tidak memberikan jaminan pada perubahan tingkah laku koruptif. Masalah utama terletak pada integritas pribadi seorang hakim. Jika integritas sudah bermasalah, itu tidak bisa diobati semata oleh peningkatan remunerasi. Langkah tercela yang dilakukan hakim bisa diminimalkan dengan penguatan fungsi pengawasan. 

Meski demikian, jumlah hakim yang besar dan rentang wilayah yang luas mengakibatkan fungsi pengawasan yang dilakukan MA kurang maksimal. Oleh karena itu, dalam melakukan pengawasan terhadap hakim, MA dapat melibatkan Komisi Yudisial, KPK, dan juga masyarakat. 

Kedua, perbaikan dalam proses merekrut hakim tipikor. Pada 2012 ini, MA akan merekrut puluhan hakim ad hoc tipikor untuk ditempatkan di beberapa pengadilan tipikor di Indonesia. Tidak dapat dimungkiri, lolosnya sejumlah orang yang diduga bermasalah sebagai hakim pengadilan tipikor disebabkan tidak optimalnya proses perekrutan yang dilakukan MA. 

Selama ini proses seleksi calon hakim tipikor kurang tersosialisasi dengan baik dan upaya menyerap masukan dari masyarakat, lembaga pengawas, serta kalangan profesi terhadap rekam jejak calon hakim juga dinilai sangat minim. 

Masih hangat dalam ingatan masyarakat bagaimana MA kecolongan ketika meloloskan Ramlan Comel sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Bandung. Padahal, sebelumnya dia pernah menjadi terdakwa perkara korupsi. Meski dipersoalkan banyak kalangan, Ramlan hingga kini tetap berdinas mengadili terdakwa korupsi. 

Memang, mencari orang-orang yang dinilai berintegritas sebagai hakim tipikor juga bukan persoalan mudah. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat atau banyak pihak menjadi sangat penting dalam meminimalisasi terpilihnya orang-orang yang tidak kredibel menjadi hakim tipikor. Peran Komisi Yudisial dalam menelusuri rekam jejak calon hakim juga harus dimaksimalkan. Sebab, lembaga itu juga nanti mengawasi kerja mereka. 

Semoga saja kejadian memalukan para hakim terima suap adalah yang terakhir terjadi di lembaga peradilan. Jangan sampai keadilan runtuh sebelum hukum ditegakkan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar