Korupsi
Tidak Wajar, Tanpa Pengecualian!
Taufiequrachman Ruki ; Anggota BPK; Mantan Ketua KPK
KOMPAS,
01 Agustus 2012
Opini wajar tanpa
pengecualian sama artinya dengan bebas dari korupsi? Banyak kalangan meyakini
demikian. Pada perkembangannya, opini WTP banyak dijadikan komoditas politik
bagi peningkatan citra pimpinan, baik itu menteri, pimpinan lembaga, maupun
kepala daerah.
Sudah demikian salah
kaprahnya pemahaman tentang opini WTP. Alhasil, ketika ada suatu kementerian,
lembaga, atau pemda yang menerima WTP, kemudian diketahui di situ ada korupsi,
semua terperangah. Semua merasa tertipu oleh opini tersebut.
Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) sebagai pihak yang punya otoritas untuk melakukan pemeriksaan dan
memberikan opini tersebut pun menjadi sorotan banyak pihak. Mereka menilai BPK
telah memperjualbelikan opini, BPK berkolusi dengan pihak yang diperiksa agar
memperoleh opini WTP, dan sebagainya.
Guna menjernihkan persoalan
tersebut dan memberikan pemahaman yang benar tentang opini WTP, perlu dipahami terlebih
dahulu jenis pemeriksaan BPK. Ada tiga jenis pemeriksaan BPK, yaitu pemeriksaan
atas laporan keuangan; pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu (PDTT).
Pemeriksaan jenis pertama
bertujuan menilai kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan standar
akuntansi pemerintahan. Jenis kedua, bertujuan menilai kinerja lembaga apakah
sudah ekonomis, efisien, dan efektif. Adapun yang ketiga adalah pemeriksaan di
luar dua jenis tersebut. Termasuk dalam PDTT adalah pemeriksaan investigatif,
yang bertujuan untuk menilai apakah suatu kegiatan telah terjadi korupsi atau
tidak.
Opini wajar tanpa
pengecualian (WTP) merupakan produk dari pemeriksaan atas laporan keuangan.
Selain WTP, BPK juga bisa memberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP),
tidak memberikan pendapat (TMP), dan tidak wajar (TW).
Dalam terminologi praktik
audit secara internasional, pemeriksaan atas laporan keuangan disebut general
audit. Istilah ini menunjukkan pemeriksaan dilakukan dengan lingkup yang luas,
mencakup seluruh pos pada laporan keuangan, tetapi dengan prosedur yang relatif
tidak semendalam jika pemeriksaan dilakukan hanya untuk suatu pos tertentu.
Analog dengan general audit, di dunia kedokteran juga dikenal general check up. Keduanya untuk memberikan penilaian
bahwa secara umum kondisinya sehat atau tidak sehat.
Pemeriksaan atas laporan
keuangan bertujuan untuk menilai kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai
standar akuntansi pemerintahan (SAP). Kata kuncinya adalah ”kewajaran”. Wajar
artinya laporan keuangan tersebut secara umum pencatatannya sudah sesuai SAP.
Kewajaran tak sama dengan kebenaran eksak. SAP mengatur antara lain kapan suatu
transaksi dicatat, dengan nilai berapa, dan informasi apa saja yang harus
diungkapkan.
Jika laporan keuangan secara
keseluruhan sudah disajikan sesuai SAP, BPK akan memberikan opini WTP. Namun,
jika sudah sesuai SAP tetapi ada pos-pos tertentu yang belum sesuai, BPK akan
memberikan opini WDP. Jika secara keseluruhan laporan keuangan tidak disajikan
sesuai dengan SAP, opininya TW. Dalam keadaan tertentu, jika auditor dibatasi
aksesnya oleh manajemen untuk memeriksa dokumen yang diperlukan atau kondisinya
sedemikian lemah di mana catatan- catatan keuangan sangat tidak bisa
diandalkan, BPK bisa memberikan opini TMP.
Materialitas
Pertanyaan adalah apa
batasan suatu pos laporan keuangan dikatakan sudah sesuai dengan standar? Dalam
praktik profesi audit di seluruh dunia dikenal istilah materialitas. Artinya,
nilai minimal suatu penyimpangan dapat memengaruhi keputusan pengguna laporan
keuangan. Nilai penyimpangan tersebut dinyatakan dalam persentase tertentu dari
suatu pos laporan keuangan.
Gambaran konkretnya, bila
suatu kementerian melaporkan penerimaan negara Rp 1 triliun, setelah diperiksa
Rp 4 miliar di antaranya tak ada bukti setorannya ke kas negara. Atas masalah
ini, BPK tak akan menyimpulkan penerimaan negara sebesar Rp 1 triliun yang
dilaporkan oleh kementerian tersebut tak dapat diyakini kewajarannya.
Dalam praktik audit,
materialitas yang ditetapkan berkisar 0,5-5 persen dari total penerimaan.
Misalnya, dipilih 0,5 persen, maka penyimpangan yang akan memengaruhi kewajaran
laporan keuangan Rp 5 miliar.
Adanya penyimpangan
pencatatan sebesar Rp 4 miliar tersebut tak berarti BPK tidak melaporkannya.
Bahkan, BPK harus mendalami pemeriksaan untuk memastikan penyebab penyimpangan.
Selanjutnya, BPK melaporkan temuan tersebut dalam Laporan Hasil Pemeriksaan
atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan. Jika ada indikasi
korupsi, temuannya akan diserahkan kepada penegak hukum untuk ditindaklanjuti.
Dengan demikian, adanya
temuan yang berindikasi korupsi tidak otomatis memengaruhi kewajaran laporan
keuangan sepanjang tak melewati batas materialitas yang ditetapkan. Menjadi
salah kaprah jika mengatakan kalau ada korupsi maka opininya pasti tidak WTP.
Atau, kalau WTP pasti tak ada korupsi. BPK perlu menegaskan, WTP bukan jaminan
tak ada korupsi.
Proses pemeriksaan atas
laporan keuangan dilakukan oleh auditor yang punya keahlian khusus. Sementara
itu, proses pemeriksaan hingga penyusunan laporannya diawasi secara berjenjang
mulai ketua tim hingga anggota BPK. Selain itu, ada Inspektorat Utama yang akan
melakukan review atas pekerjaan
pemeriksaan. Melalui proses demikian, tidak mungkin BPK bisa menjual
kredibilitasnya dengan mudah memberikan opini WTP.
Apabila BPK menemukan
korupsi, berapa pun besarnya tetap akan dilaporkan dalam laporan audit
kepatuhan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan audit keuangan
yang memuat opini BPK. Bagi BPK, praktik korupsi, sebesar apa pun, merupakan
tindakan yang tidak wajar, tanpa pengecualian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar