Senin, 13 Agustus 2012

Kembali ke Diri Kultural


Kembali ke Diri Kultural
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
MEDIA INDONESIA,  13 Agustus 2012


DALAM sebuah laporan yang ditulis sebuah media nasional, pernah dituturkan bagaimana kehidupan orang Indonesia yang menetap di berbagai negara. Umumnya mereka berkehidupan cukup baik, setidaknya bila dibandingkan dengan nasib yang mereka temui di dalam negeri. Semasa di Prancis pun, saya berteman akrab dengan suami istri pekerja Indonesia yang sudah lebih dari dua dasawarsa hidup di ibu kota negeri itu.

Sebagai pekerja kontrak di sebuah hotel, katakanlah sebagai room girl, sang istri ditemani suaminya yang tukang masak amatir hidup sangat bercukupan. Dengan memiliki rumah tak kurang dari 400 meter persegi dua lantai, di tanah seluas sekitar 700 meter di banlieue atau suburb Paris, Gargenville (45 menit dengan kereta bawah tanah, Metro, ke pusat Paris), keluarga pendatang itu bisa melakukan piknik hampir sekali setiap minggu dengan peralatan yang cukup lengkap dan modern.

Ada yang menarik dari ending tulisan di paragraf pertama, yang senada dengan ungkapan hati teman saya di Gargenville. Para perantau Indonesia ternyata memiliki tujuan hidup yang sama; pada akhirnya kembali ke kampung tradisional mereka--tentu di Indonesia--dan menghabiskan hidup di sana. “Berapa pun harta bisa saya dapat dan kumpulkan di sini, tetap saya akan kembali ke desa saya di Purwokerto. Walau di sana hanya jadi tukang bakso, saya akan tetap menghabiskan masa tua dan mati di sana.“

Soal ungkapan semacam itu, tentu saja keluarga perantau urban dalam negeri pernah mengalami, terutama orangtua yang selama ini hidup bersamanya di daerah urban (kota). “Biarlah ayah/ibu tidak kalian temani, bahkan tidak dirawat atau dibiayai, yang penting ayah/ibu bisa kembali ke desa, dekat rumah/makam nenek/kakek, dan mati di sana.“

Semua orang Indonesia, betapa pun jauh jarak yang ia tempuh saat pergi, betapapun panjang waktu saat ia berdiam di negeri asing, memiliki kerinduan dan keinginan sangat kuat dan sangat purba tentang tanah asal. Tanah bukan hanya tempat ia mulai ada (dilahirkan) di dunia ini, melainkan juga ruang dan waktu yang kemudian meneguhkan `keberadaan' dirinya sebagai makhluk bernama manusia yang berakal, sosial, spiritual, dan kultural.

Posisi tanah asal memang sangat primordial, `primus' dari dasar keberadaan dan eksistensi kita sebagai manusia, menjadi acuan dan sumber peneguh pertama--bahkan terakhir--yang tidak tergantikan bagi pengakuan diri kita sebagai manusia sebagai bagian dari sebuah sociuz atau kelompok (komunitas, masyarakat, etnik atau suku bangsa) tertentu.

Rantau bagi Kita

Bagaimanapun lekat dan integratifnya dunia asal dalam diri kita, merantau tetap menjadi pilihan bagi sebagian kita yang ingin mencari kemungkinan kemungkinan lain karena tidak cukup puas dengan pilihan-pilihan hidup di daerah asal. Hanya, aktivitas merantau bangsa kita--yang maritim--sangatlah berbeda dengan mereka--bangsabangsa--kontinental (daratan).

Bagi bangsa daratan, merantau dilakukan/diperlukan ketika mereka merasa sumber daya natural sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus berkembang. ereka perlu ke tempat lain untuk mendapatkan sumber kehidupan baru di sana. Karena itu ketika mendapatkan tempat baru itu, mereka akan mengolah, kalau perlu menguasai (mengolonisasi), daerah rantau. Mereka pun hidup menetap di sana, beranakpinak dan menjadi bagian eksistensial daerah rantau itu.

Itulah riwayat diaspora yang permanen dari bangsa-bangsa daratan seperti arya (India), Yahudi, Arab, Armenia, dan China. Satu kenyataan dan sejarah yang sangat berbeda dengan mereka yang berasal dari negeri kepulauan atau maritim seperti Indonesia. Pada awalnya, perantauan itu dilakukan selalu melalui air/laut, dengan berlayar. Sebagaimana pemeo para pelaut di mana pun, “Ada saatnya kau pergi melintas cakrawala dan tiba saatnya kau kembali membuang sauh di bandar.“

Perantau Indonesia pasti akan kembali, kapan pun. Itu alasan kenapa diaspora bangsa kita tidak sekuat mereka, bangsa-bangsa yang disebut di atas. Bangsa kita, sejak mula, ribuan tahun sebelum Yesus lahir, merupakan bangsa perantau dengan rentang jarak terjauh bila dibandingkan dengan bangsa mana pun di atas bumi ini. Itu karena samudra memang dua kali lipat lebih luas daripada daratan.

Hanya bangsa maritimlah yang mampu menaklukkannya, sejak dulu kala.
Intensi perantauan itu pun bukanlah penaklukan dan kolonisasi tanah sebagai sumber daya sebagaimana orang daratan. Bagi bangsa pelaut, perantauan merupakan eksplorasi, untuk ilmu dan spiritualisme, menghargai laut sebagai saudara dan jalan menuju `Tuhan'. Maka cermatilah, betapa umumnya dewa-dewa tradisional atau primor dial kita biasanya berasal dan berdiam di tengah laut/samudra.

Karena itu pula, rantau bagi orang Indonesia bersifat sementara. Ia akan kembali. Tidak mengherankan jika bangsa ini ialah bangsa terkaya dalam khazanah kuliner yang bertahan lama, untuk kebutuhan perjalanan itu.

Tak ada bangsa mana pun yang mampu menciptakan makanan, yang tidak hanya bertahan lama--bahkan berbulan-bulan--tetapi juga semakin enak.
Lihatlah gudeg, tapai, tempe, sayur tolo, kerupuk palembang, nasi timbel, dan sebagainya. Tak mengherankan bila rendang dapat menjadi masakan paling favorit masyarakat dunia dalam polling yang dilakukan di Amerika Serikat.

Sinkretisme Mudik

Merantau merupakan sebuah kegiatan dan pilihan hidup yang sudah given bagi para penduduk di kepulauan Nusantara ini. Ia bukan menjadi sebab dan alasan untuk sekadar mencari penghasilan atau kekayaan, apalagi sebagai motif politik ketika seseorang mendapat tekanan politik di daerah asalnya. Karena itu, betapapun guncang dan chaos negeri ini, dunia tidak pernah mencata adanya pelarian atau pengungsian orang Indonesia yang merepotkan negara/bangsa lain.

Hal yang terasa ironis dari rantau ialah paradoksnya. Di satu sisi ia memberi kita--para perantau--ilmuilmu baru, kesempatan atau peluang baru, bahkan kejayaan baru. Namun di sisi lain, ia juga memberi kita ruang dan desakan (yang begitu kuat) untuk melakukan pelanggaran bahkan pengkhianatan pada nilai-nilai luhur yang dahulu kita pahami, pelajari, dan internalisasi di daerah asal (desa atau adat kelahiran). Kota atau daerah rantau telah menggiring kita untuk mengingkari karakter dan jati diri kita yang sebenarnya. Di kota dan rantau kita retak, rapuh, hancur, penuh salah, keliru, dan dosa.

Sadar atau tidak, sengaja atau tidak, rantau atau kota sebenarnya telah mengikis eksistensi atau keberadaan kita yang integrated, utuh, dan berkarakter. Untuk itulah kita selalu membutuhkan sebuah ruang teguh tempat kita bisa menautkan kembali diri kita agar tidak merasa hilang atau lenyap sama sekali di dunia rantau/kota. Ruang yang ternyata ada di dalam dunia tradisi atau primordial, ruang yang teguh dan terpelihara begitu lama, lebih lama bahkan--katakanlah--daripada semua bangsa modern di Eropa.
Itulah ruang dan tautan yang membuat kita menjadi Sunda, Bugis, Minang, Flores, Jawa, atau Bali begitu napas pertama kita hirup saat lahir di dunia, sebelum kita menyadari kita menjadi bagian formal sebagai penduduk Indonesia, memiliki KTP, bayar pajak, bahkan sebelum kita memi liki agama. Lebih dulu Anda menjadi orang Madura sebelum Anda menjadi Islam misalnya, dan seterusnya.

Karena itu, kita semua membutuhkan mudik sebagai sebuah aktivitas untuk meneguhkan kembali jati diri kita, meneguhkan keberadaan dan eksistensi kita sebagai manusia. Kita membutuhkan kembali semua tautan kultural tempat kita berpegangan, diterima, dan menjadi bagian dari komunitas tradisional yang sejak lahir kita menjadi identitas purba kita. Kita tidak akan pernah tenang atau mati dengan mata dan hati terpejam bila dunia asal dan primordial itu tidak kita temukan atau tidak menerima kita. Seolah tanah pun enggan menerima jasad dan jiwa kita. menerima jasad dan jiwa kita.

Peristiwa mudik terjadi sepanjang masa kehidupan kita ber bangsa. Lebaran atau Idul Fitri merupakan momen yang dianggap tepat untuk menyelengga rakan mudik itu secara kolektif. Tidak mengherankan bila di setiap perayaan agama Islam itu, mudik terjadi sangat masif; begitu masif sehingga dunia terpana dan tak ada bangsa mana pun dapat menyamainya. Itu membuat Idul Fitri menjadi puncak perayaan terbesar agama Islam di negeri ini, lebih dari negeri Islam mana pun.

Itulah bentuk sinkretis kita yang paripurna. Dua ide, kultural dan spiritual, tradisi dan agama, menyatu dalam praksis dan renungan idealistisnya. ‘Kembali ke fitri’                         
secara religius juga berarti `kembali ke diri kultural' dalam adatnya. Betapa indah. Sayangnya itu hanya bersifat sementara, seminggu dan dua minggu. Karena 50 minggu sesudahnya, kita kembali ke kota untuk hancur, bias, berkhianat, dan berdosa. Merusak diri, juga dunia di sekitar kita.

Apakah Lebaran dan mudik akan selamanya bersifat sementara seperti sekarang ini? Menjadi tempat mencuci tangan yang akan segera kita kotorkan kembali? Para pemimpin serta elite formal dan informal yang bertanggung jawab atasnya. Mereka harus berbuat dan memberi bukti, kefitrian dan kesejatian diri merupakan buah yang permanen dari ritus mudik dan Lebaran ini. Namun bisakah mereka, sedangkan pengertian tadi pun mereka tak punya? Marilah kita bersabar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar