Selasa, 21 Agustus 2012

Divestasi Newmont Pasca-putusan MK


Divestasi Newmont Pasca-putusan MK
Mudrajad Kuncoro ; Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM
KOMPAS, 21 Agustus 2012


Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemerintah mengenai pembelian 7 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara, 31 Juli 2012. Putusan ini resmi mengakhiri polemik pembelian saham yang berlangsung sejak pertengahan 2011 dan berujung pada Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan DPR.

Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) tidak perlu terjadi apabila Kementerian Keuangan dan DPR memahami dengan baik mekanisme dan proses pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Peran eksekutif dan komisi/Badan Anggaran DPR dalam APBN tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Kewenangan BPK diatur dalam UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan amandemen UUD 45.

Persetujuan DPR

Akar masalah SKLN adalah perlu tidaknya pemerintah meminta persetujuan DPR untuk menggunakan dana investasi di Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan melaksanakan pembelian 7 persen saham divestasi Newmont Nusa Tenggara (NNT). Pemerintah berpendapat, pembelian saham adalah hak pemerintah berdasarkan kontrak karya 2 Desember 1986.

Dalam kontrak karya itu, setelah produksi komersial 10 tahun, NNT harus menjual 51 persen saham kepada investor lokal. Konstruksi mulai awal 1997 dan produksi mulai 1 Maret 2000. Maret 2008, pemerintah menggugat NNT ke arbitrase internasional karena gagal melaksanakan divestasi saham tahun 2006 dan 2007. Maret 2009, pemerintah memenangi gugatan dan NNT wajib segera divestasi.

NNT adalah perusahaan patungan milik Nusa Tenggara Partnership (NTP)—patungan antara Newmont USA dan Sumitomo, PT Pukuafu Indah (Indonesia), serta PT Multi Daerah Bersaing (MDB). Komposisi kepemilikan saham adalah asing menguasai 56 persen dan Indonesia 44 persen.

Lokasi tambang NNT berada di Batu Hijau, Sumbawa Barat. Batu Hijau adalah cebakan tembaga porfiri dengan sedikit kandungan emas dan perak. Tiap ton bijih yang diolah menghasilkan 4,87 kilogram tembaga dan emas 0,37 gram. Tahun 2010 dihasilkan 542 juta lbs tembaga dan 737.000 oz emas. Cadangan diperkirakan 7,7 miliar lbs tembaga (10 tahun) dan 7,7 juta oz emas (14 tahun).

Batu Hijau adalah salah satu penghasil tembaga dan emas termurah di dunia: 0,7 dollar AS/lb untuk tembaga dan 237 dollar AS/oz untuk emas tahun 2010.

Kenapa Menteri Keuangan bersikeras membeli saham NNT? Sampai triwulan III-2010 NNT telah membayar pajak dan royalti kepada pemerintah Rp 4,3 triliun. Total sejak 1999 NNT telah menyetor kepada negara Rp 19,4 triliun. Dari total nilai ekspor komoditas NTB pada 2011 mencapai 1,039 miliar dollar AS, 99,91 persen bersumber dari NNT.

Berdasarkan Pasal 24 Kontrak Karya tahun 1986 antara NNT dan Pemerintah RI, NNT berkewajiban menawarkan dulu kepada pemerintah 7 persen saham divestasi NNT. Tahun 2009, pemerintah pusat memberikan kesempatan Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) membeli saham divestasi NNT 24 persen.

Maka, 24 persen saham Newmont kini dikuasai PT MDB, yaitu perusahaan patungan PT Multi Capital dan PT Daerah Maju Bersaing (DMB). PT Multi Capital adalah anak perusahaan PT Bumi Resources Minerals Tbk, di bawah Grup Bakrie. DMB adalah perusahaan daerah hasil patungan pemerintah provinsi NTB, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa.

Dividen Bersih

PT Bumi Resources Mineral Tbk menguasai 75 persen saham di PT MDB. Sisanya, 25 persen, diperoleh oleh DMB dengan golden share. PT MDB menerima dividen bersih dari NNT 40,8 juta dollar AS (sekitar Rp 360 miliar) pada Oktober 2011. Dengan asumsi kepemilikan MDB di NNT 24 persen, maka total NNT sekitar Rp 1,4 triliun.

Sisa 7 persen saham divestasi 2010 semula akan dibeli PT MDB. Namun, April 2011, pemerintah pusat berniat membelinya senilai 271 juta dollar AS. Menteri Keuangan mengklaim sudah berhasil memperoleh harga rasional dari penawaran 271 juta dollar AS menjadi 246,8 juta dollar AS. Dengan kurs Rp 8.500, harga 7 persen saham itu setara dengan Rp 2,1 triliun.

Sesuai keterangan Menkeu di MK dan Komisi XI DPR (1 Juni 2011), tujuannya semata-mata demi kepentingan nasional, terutama yang berkaitan dengan penerimaan dividen, royalti, dan pajak. Kalau pemerintah serius mau menguasai NNT, kenapa tidak sekalian 51 persen saham NNT?

Menkeu telah menghitung bahwa dengan menguasai saham 7 persen NNT, PIP akan meraup 485,3 juta dollar AS (setara dengan Rp 4,1 triliun) dalam kurun waktu yang sama. Pemerintah kabarnya juga akan mendorong NNT go public di Indonesia.

Akhir Agustus 2010, NNT menggelar rapat umum pemegang saham di Jakarta. Hasilnya, 80 persen pemegang saham, kecuali PT Fukuafu, setuju dilakukan penawaran saham perdana kepada publik (IPO). NNT juga setuju menjual saham perdananya setelah divestasi saham selesai.

Kelanjutan Divestasi

Memang MK telah memutuskan bahwa pemerintah hanya dapat membeli divestasi saham dengan persetujuan DPR melalui mekanisme UU APBN atau persetujuan secara spesifik. Perlunya persetujuan komisi terkait DPR hendaknya tidak ditafsirkan sebagai upaya menghambat divestasi 7 persen saham NNT kepada pemerintah pusat.

Divestasi NNT kepada pemerintah pusat adalah skema yang tepat untuk memastikan adanya kepentingan publik dalam pemanfaatan sumber daya alam milik negara sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional.

Idealnya, pemerintah pusat bisa menggandeng pemerintah daerah dan BUMN. Mengapa Menteri Keuangan tidak berusaha menggandeng DMB yang sudah memiliki 6 persen saham NNT? Kepemilikan daerah lewat DMB, yaitu 25 persen dari 24 persen saham MDB, masih minimal sehingga pemerintah provinsi dan kabupaten/kota NTB perlu mengeluarkan uang dalam divestasi.

Uniknya, pada 6 Agustus 2012, PIP dan Nusa Tenggara Partnership BV telah menandatangani Amendemen ke-3 Perjanjian Jual Beli 7 persen Saham Divestasi PT NNT 2010. Amendemen ke-3 dilakukan mengingat sampai saat ini syarat-syarat efektif yang disepakati dalam Amendemen Perjanjian Jual Beli yang ditandatangani pada 3 November 2011 belum terpenuhi. Dengan Amendemen ke-3 ini, PIP dan Nusa Tenggara Partnership BV bersepakat memperpanjang jangka waktu pemenuhan syarat efektif perjanjian jual beli tersebut sampai 25 Oktober 2012 agar kedua belah pihak bisa memenuhi kewajiban masing-masing.

Divestasi 7 persen saham NNT oleh pemerintah pusat kiranya perlu didukung oleh DPR. Kepemilikan 7 persen saham pemerintah di NNT diharapkan menjadi momentum dari perbaikan kebijakan energi yang tujuan akhirnya adalah pemanfaatan hasil SDA untuk kemakmuran rakyat Indonesia, khususnya Provinsi NTB.

Proses divestasi 7 persen saham NNT harus dilanjutkan dan tidak perlu ditunda implementasinya. Proses uji materi hingga diputuskan (sekitar 5 bulan) jangan sampai memperlambat proses divestasi saham NNT lebih lanjut. Bila divestasi berlarut-larut, yang diuntungkan adalah mitra asing (Newmont Corp dan Sumitomo Corp) karena keduanya menguasai saham mayoritas NNT.

Kedua, membuat iklim investasi diliputi ketidakpastian. Naiknya peringkat utang Indonesia harus menjadi momentum untuk menarik investor domestik, termasuk perusahaan daerah, pemerintah daerah, dan investor swasta domestik.

Berlarut-larutnya penyelesaian divestasi NNT membuat Indonesia kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan negara, mempercepat pembangunan daerah tertinggal (NTB), dan mengoreksi dominasi asing dalam sektor pertambangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar