Senin, 31 Oktober 2022

 

Selamat Hari Raya Sumpah Pemuda

Hubbi S Hilmi : Dosen di Universitas Khairun Ternate; Mahasiswa Doktoral Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta.

KOMPAS, 28 Oktober 2022

 

                                                

 

Sembilan puluh empat tahun yang lalu, M Tabrani dengan gempita mengusulkan satu nama bahasa sebagai simpul bangsa. Sembilan puluh empat tahun yang lalu pula M Tabrani beradu argumen dengan M Yamin yang juga berusul satu nama bahasa yang lain sebagai perekat bangsa. M Yamin kekeuh dengan nama bahasa Melayu, sementara M Tabrani kukuh dengan nama bahasa Indonesia.

 

Bukan tanpa alasan, M Tabrani memiliki logika yang teguh perihal pengusulan nama bahasa persatuan. Ia berlandaskan pada dua ikrar dalam Sumpah Pemuda, yakni bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia dan berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Jika Tanah Air dan bangsa menjadi Tanah Air Indonesia dan berbangsa Indonesia, seharusnya bahasa pun menjunjung tinggi bahasa yang satu, yakni bahasa Indonesia.

 

Pun M Yamin, bukanlah tanpa alasan, bahasa Melayu diusulkan karena kala itu merupakan basantra (bahasa perantara) yang digunakan di seantero Nusantara. Perseteruan keduanya telah tercatat mengiringi munculnya kelahiran bahasa persatuan. Tepat pada 28 Oktober 1928, mereka dan para pemuda yang lainnya menyepakati satu bahasa sebagai bahasa persatuan bangsa, bahasa Indonesia.

 

Perjalanan bangsa dan bahasa Indonesia tak lepas dari segala bentuk perseteruan. Perseteruan para intelektual bangsa dalam upaya menyatukan bangsa dan mengusir para penjajah. Perdebatan demi perdebatan tentu tak bisa dihindari, tetapi tentulah perdebatan yang sangat sehat, selayaknya para pemuda yang berbudi luhur nun arif.

 

Lihatlah sikap para pemuda yang berikrar pada 94 tahun yang lalu itu, mereka dengan lapang dada melepaskan segala kepentingan kelompoknya, melepaskan identitas kesukuannya demi satu, bangsa yang bersatu dan yang merdeka. M Yamin menjadi satu dari sekian banyak pemuda yang memilih menanggalkan keinginannya, memilih mengalah untuk menang dan menyetujui usul yang digagas M Tabrani sehingga lahirlah bahasa yang kita pakai sekarang sebagai bahasa persatuan bangsa, bahasa Indonesia.

 

Perjalanan bahasa Indonesia hingga hari ini panjang dan rumit, sejumlah perubahan ejaan pernah dilaluinya. Mulai sebelum merdeka hingga tiba di era dunia maya. Sejarah mencatat, sebelum merdeka bahasa Indonesia mengenal ejaan yang dikenal dengan nama Ejaan Van Ophuijsen. Lalu setelah merdeka, penyempurnaan terus dilakukan, mulai dari Ejaan Republik atau juga dikenal dengan Ejaan Soewandi, lalu diubah lagi menjadi Ejaan Pembaharuan.

 

Tepat pada 1961, ejaan bahasa Indonesia diubah lagi menjadi Ejaan Melindo, lalu diganti lagi menjadi Ejaan Baru/Lembaga Bahasa dan Kesastraan (LBK). Pada 1972 ejaan bahasa Indonesia diubah lagi menjadi Ejaan yang Disempurnakan (EYD), EYD diubah lagi menjadi Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) sejak 2015. Pada 2022 ejaan dalam bahasa Indonesia sepertinya belum berhenti berubah, ia kembali menjadi EYD.

 

Jalan yang panjang telah dilalui bahasa Indonesia hingga sampai pada titik ini. Mulai dari penggagasannya hingga penyempurnaan ejaan di dalamnya. Gempuran modernisasi juga tak luput menguji kekukuhan bahasa Indonesia. Mulai dari gempuran bahasa asing dan terutama melalui terkikisnya kesadaran para penuturnya di era digital. Era digital menawarkan tempat berguyub baru bagi seantero masyarakat penutur bahasa, begitu juga dengan para penutur bahasa Indonesia, tempat tersebut kita kenal dengan nama media sosial.

 

Saban hari, para penutur bahasa di Indonesia sangat kerap berkomunikasi melalui media sosial. Media sosial menjelma ruh bagi para manusia. Kita tak pernah bisa lepas darinya, bahkan sebangun dari lelap, media sosial menjadi tempat pertama yang kita kunjungi.

 

Dalam bermedia sosial inilah kita sangat sering berkhianat kepada para pemuda yang berikrar 94 tahun yang lalu, tepat pada 28 Oktober melalui Sumpah Pemuda. Kita saban hari juga secara sadar saling mencerca dan menghina, saling menyalahkan, tercerai berai menjadi sejumlah kelompok menggunakan bahasa Indonesia. Padahal bahasa Indonesia yang kita gunakan tersebut dilahirkan untuk mempersatukan perbedaan.

 

Kita juga tak pernah benar-benar serius berbangga berbahasa Indonesia, apalagi dalam dunia maya. Semisalnya saja pada postingan di media sosial yang kerap kita bubuhi dengan sejumlah kutipan. Kita lebih memilih menyebut hal itu dengan sebutan caption. Ketika kita mendapati seorang kenalan baru di dunia nyata, hal yang wajar kita lakukan ialah meminta akun media sosialnya. Lalu dengan semangat kita berucap sudah ku follow ya, dan dengan gempita kita juga berucap, follback ya kakak.

 

Atau agar lebih mudah mendapat perhatian pengguna lain di media sosial, kita selalu memilih mengucap tambahkan hastag dalam postingan kita di media sosial. Ketika kita hendak mempromosikan video-video kreatif kita, kita selalu berseloroh gembira dengan ucapan jangan lupa subscribe, like, dan share ya chanel Youtube ini.

 

Tak ada yang salah memang karena bahasa merupakan sebuah kesepakatan. Akan tetapi, apa pernah kita sekadar membayangkan usaha dan upaya para pemuda 94 tahun yang silam di bulan Oktober itu? Apa pernah terbayang usaha dan upaya mereka menyisihkan kedaerahannya demi bahasa persatuan kita?

 

Apa pernah kita membayangkan mereka yang bukan hanya berjuang raga melawan penjajah, juga berjuang melawan diri mereka sendiri, melawan identitas mereka sendiri? Juga bersusah payah berjuang melahirkan ide-ide brilian demi mempersatukan bangsa dengan bahasa? Apa pernah terbayang betapa rumit dan lelahnya para ahli bahasa menyempurnakan ejaan bahasa Indonesia dari waktu ke waktu?

 

Sejatinya, sejumlah bahasa asing yang selalu kita gunakan dalam pergaulan media sosial tersebut telah mendapat padanan dalam bahasa Indonesia. Semisal kata takarir untuk mengganti kata caption, kata mengikuti untuk padanan kata follow, lalu mengikuti balik untuk kata follback yang merupakan akronim dari follow back.

 

Padanan lain dalam bahasa Indonesia untuk hastag pun telah ada, yakni dengan menyebut kata tagar. Begitu juga dengan subscribe yang telah dipadankan dalam bahasa Indonesia menjadi berlangganan. Istilah like juga memiliki padanan menjadi suka, begitu pula dengan istilah share yang memiliki padanan bagikan, serta istilah chanel yang memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, yakni kanal.

 

Bahasa memang sebuah kesepakatan, tetapi jangan lupa juga bahasa Indonesia merupakan warisan yang mesti dijaga. Bahasa Indonesia yang luhur telah mempersatukan segenap perbedaan seantero Nusantara. Jadi apa salahnya jika kita menghabituasikan berbangga berbahasa Indonesia di ruang maya?

 

Seorang bijak pernah berucap bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Adanya bahasa Indonesia saat ini ialah berkat mereka yang telah kukuh berjuang dan memperjuangkannya. Jangan melupa, kita bersatu dalam perbedaan hanya dengan bahasa Indonesia. Selamat hari raya Sumpah Pemuda. Tabik.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/26/selamat-hari-raya-sumpah-pemuda

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar