Senin, 31 Oktober 2022

 

Membenahi Kontrol Sosial Birokrasi

William Chang : Guru Besar Etika Sosial Universitas Widya Dharma, Pontianak

KOMPAS, 27 Oktober 2022

 

                                                

 

 Kala kembali ke Belanda, seorang dosen senior yang pernah menakhodai Unika St Thomas, Medan, didekati dan ditanyai oleh seorang polantas setempat tentang perbedaan berlalu lintas di Indonesia dan di Belanda. Spontan dia bertutur, ”Kalau seorang pengendara di Belanda tidak mematuhi peraturan lalu lintas, maka akan terjadi banyak kecelakaan. Sedangkan di banyak kawasan di Indonesia, kalau pengendara benar-benar mengikuti peraturan lalu lintas, maka biasanya banyak korban berjatuhan.”

 

Pembiaran sosial

 

”Nyatir” spontan iuris canonici itu sebenarnya menyoroti adanya gejala pembiaran sosial terhadap pelanggaran norma lalu lintas di Tanah Air. Sampai hari ini tetap berkeliaran pengendara mobil atau motor tanpa SIM dan helm yang lengkap, dengan knalpot racing yang membisingkan khalayak ramai.

 

Sejak awal tahun hingga Agustus 2022 tercatat sebanyak 452 korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Selain itu, 972 korban luka berat dan 6.704 luka ringan. Kerugian material lebih kurang Rp 13,4 miliar.

 

Kecelakaan lalu lintas, kata Korlantas Polri Irjen Firman Shantyabudi, masih menjadi masalah utama berlalu lintas. Kesadaran akan keselamatan berlalu lintas masih rendah, padahal kesadaran ini mencerminkan kemajuan suatu bangsa (Tribunnews.com, 3/10/2022).

 

De facto, kekacauan dan pelanggaran lalu lintas tidak hanya terjadi di jalan-jalan raya, tetapi sudah merambat ke dalam lalu lintas birokrasi jaringan instansi pemerintah pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi, hingga pusat. Tidak sedikit kepala departemen pemerintah belum sadar (bdk Mead 1925) dan menutup mata terhadap kasus penyimpangan regulasi dan hukum dalam zona pelayanannya. Modus operandi seorang advokat untuk berbisnis ”vonis” dengan tiga hakim PTUN (April 2015), misalnya, sudah ”diadopsi” oleh hakim yang dianggap ”agung”, Sudrajat Dimyati (22/9/2022).

 

Cepat atau lambat sikap ”kompromistik” dan ”tawar-menawar” dalam penanganan kasus pelanggaran hukum akan membentuk watak dan budaya banditisme yang merongrong supremasi hukum. Kultur kriminal bermasker premanisme ini kian mengkristal. Pengabaian kontrol sosial menimbulkan tindak kriminal dalam semua bidang pelayanan publik yang langsung bersentuhan dengan masyarakat sipil, seperti misuse of power, birokrasi rumit, administrasi berbelit-belit, harga tanda tangan yang sangat mahal.

 

Bukankah keadaan lalu lintas di jalan raya sebenarnya menjadi cermin otentik dari mindset, keseriusan penegakan keadilan, hukum, keamanan masyarakat, suhu politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebuah bangsa? Proses pembenahan hukum yang sedang digalakkan Menko Polhukam perlu memprioritaskan kontrol sosial karena penegakan hukum adalah bagian integral kontrol sosial yang fundamental.

 

Kontrol sosial menggembleng perilaku

 

Tatanan sosial dalam negara menyatu dengan kontrol sosial yang menjadi kunci penting pembersihan sebuah negara dari cengkeraman banditisme dan anarkisme di luar tatanan normatif. Mengapa? Sebagai aspek normatif, kontrol sosial menjadi reaksi terorganisasi dalam menyikapi jaringan penyimpangan perilaku yang mengganggu, merusak, dan merugikan kehidupan sosial.

 

Selama ini kontrol sosial telah mengurai benang kusut pelanggaran norma (aturan), termasuk norma-norma informal tentang peraturan sosial dalam hal-hal kecil dan terlebih-lebih norma-norma formal dalam masyarakat berwawasan luas (bdk Black, 1976; Cohen, 1985).

 

Selain melandasi dan membenahi tatanan sosial dalam masyarakat modern, seharusnya sistem kontrol sosial dirawat dan diterapkan oleh institusi kenegaraan (Ross, 1926; Deflem, 2019). Kontrol sosial perlu tertanam dalam instansi-instansi utama negara sehingga manusia semakin sadar untuk mematuhi sistem kontrol ketika menunaikan tugas-tugasnya (Innez, 2003).

 

Sekalipun CCTV ikut menjaga ketertiban dalam sebuah negara, tugas utama kontrol sosial instansi pemerintah sama sekali tidak tergantikan oleh sarana digital yang setiap saat dapat dirusak atau dicopot oleh mereka yang berniat jahat. Budaya baru kontrol sosial sangat mengandalkan kemajuan teknologi mutakhir. Hanya, kontrol sosial dalam sebuah tatanan sosial pada hakikatnya berusaha mengubah dan menggembleng perilaku seseorang demi kesejahteraan umum.

 

Dinamika tatanan sosial tak tersangkalkan. Pola, gaya, dan isi hidup sebuah masyarakat dapat berubah dan bergeser sesuai dengan perkembangan zaman. Suatu tatanan sosial akan berubah seiring dengan dinamika sosial, perpaduan nilai, sikap, instansi, dan lingkungan anggota masyarakat. Gejala yang sama juga berlaku bagi kontrol sosial yang dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dari waktu ke waktu.

 

Sekalipun terbatas dan tidak bisa menjamin perbaikan sosial dengan sempurna, mekanisme kontrol sosial masih sangat diperlukan oleh negara kita sebagai organisasi massal yang memperjuangkan keadilan (sosial) bagi seluruh rakyat Indonesia. Perilaku berorganisasi internal seyogianya dievaluasi berkala supaya rangkaian penyimpangan dan penyelewengan dalam sebuah instansi negara tidak membudaya.

 

Roh reformasi tetap diperlukan walaupun tidak semua pihak senang dengan kontrol sosial yang meneropong, membatasi, dan bahkan menghalangi mereka untuk melakukan keinginan pribadi atau kelompok. Mereka yang dipercaya untuk melakukan kontrol sosial pun perlu memiliki mental baja dalam menghadapi situasi dan kondisi internal sebuah lembaga dan reaksi-reaksi yang bakal muncul dari pihak-pihak yang kenyamanannya terusik.

 

Pembenahan budaya kontrol sosial

 

Walaupun tidak dengan sendirinya akan menjamin pembenahan dan perbaikan instansi pemerintahan, peran kontrol sosial tetap penting dalam mengubah dan menggembleng mindset aparatur pemerintah yang sudah terkolusi dan bobrok turun-temurun. Kebiasaan bermain mata dan salam tempel antara rakyat dan aparatur pemerintah seharusnya terkontrol dan dihentikan oleh dunia hukum, namun ternyata dunia hukum kita malah menghalalkan cara-cara yang demikian untuk membisniskan vonis seorang hakim.

 

Pembudayaan kontrol sosial adalah langkah penting pembenahan semua instansi pemerintahan. Morrill dan Arsiniega (2019) mengingatkan bahwa proses pembudayaan ini perlu memprioritaskan harkat, martabat, dan pemberdayaan pribadi manusia karena prioritas ini akan sangat memengaruhi perilaku sebuah organisasi, termasuk pemerintahan.

 

Dalam konteks ini kontrol sosial tidak hanya terbatas pada tindakan manusia, namun juga memperhatikan kontrol relasional dan budaya yang akan mendongkrak kinerja organisasi. Nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam Pancasila dapat diusung sehingga setiap anggota organisasi dapat menunaikan tugas dan tanggung jawab dengan tuntunan hati nurani yang baik, jernih, dan terukur.

 

Efek samping yang merendahkan martabat manusia dapat ditangani dengan baik lewat sistem kontrol sosial yang mengutamakan keluhuran kemanusiaan. Dampak negatif bakal muncul kalau kontrol sosial melalaikan dimensi keluhuran harkat dan martabat manusia.

 

Sistem kontrol birokrasi pemerintah adalah mutlak dalam proses reformasi holistik di Tanah Air. Mengapa? Sejumlah sistem birokrasi pemerintah dalam kantor dan di jalan-jalan raya tampaknya masih menunjukkan kecenderungan koruptif.

 

Hingga kini validitas data penduduk di Tanah Air masih diragukan dan dipertanyakan. Bagaimanakah logika administratif yang memungkinkan seorang WNI mengantongi lebih dari satu kartu penduduk?

 

Harus diakui, pengurusan administrasi birokratis masih abu-abu. Sekaranglah momentum kebangkitan untuk membenahi kontrol sosial terhadap ”kandang besi” birokrasi pemerintahan yang meliputi sistem pelayanan umum, personel, manajemen, dan mekanisme internal.

 

Pembudayaan sistem kontrol sosial memengaruhi seluruh program reformasi manajemen birokrasi, terutama dalam bidang hukum (polisi, jaksa, hakim, dan advokat), keuangan, departemen ”buncit”, mekanisme rekrut pegawai (termasuk TNI/ Polri), sistem ”perwakilan rakyat” yang acap kali ”stroke”, dan instansi-instansi yang terendus nonproduktif dan koruptif. Pembenahan budaya kontrol sosial yang koordinatif dan sinergik akan memperbaiki sistem manajerial birokrasi pemerintah yang bobrok tanpa akuntabilitas publik.

 

Sistem kontrol sosial bermasa depan biasanya akan menyuburkan kesetaraan harkat dan martabat manusia dengan tidak menekan dan mengancam rakyat kecil yang berurusan dengan kaum birokrat. Dalam upaya pembenahan budaya sistem kontrol ini, departemen atau instansi pemerintah yang masih menutup diri secara online sudah waktunya segera membuka akses transparan seluas-luasnya bagi seluruh masyarakat untuk mengemukakan pendapat, keluhan, dan kritik konstruktif yang benar demi perbaikan mutu administrasi pelayanan publik.

 

Tentu, follow up dari masukan ini menjadi bagian integral pembenahan budaya kontrol sosial dalam bidang birokrasi. Soalnya, departemen atau instansi pemerintah tidak bisa lagi hanya menjadi kantong penampung masukan, tetapi lebih berupa badan yang bergerak untuk melakukan tindakan nyata berupa pembaruan dan perbaikan seluruh sistem.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/26/membenahi-kontrol-sosial-birokrasi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar