Senin, 31 Oktober 2022

 

Politik Identitas Keindonesiaan

Restu Gunawan : Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek

KOMPAS, 29 Oktober 2022

 

                                                

 

Pada batasan, Bukit Barisan

 

Memandang ke pantai, teluk permai

 

Tampaklah air, air segala

 

Itulah laut, Samudera Hindia

 

Tampaklah ombak, gelombang pelbagai

 

Memecah ke pasir lalu berderai

 

Ia memekik, berandai-andai

 

Wahai Andalas, pulau Sumatera,

 

Harumkan nama, selatan utara!

 

Barisan kalimat di atas adalah potongan puisi Muhammad Yamin berjudul ”Tanah Air” yang terbit 1920 ketika usianya masih 17 tahun.

 

Puisi terdiri tiga bait itu dimuat di majalah Jong Sumatera. Sajak itu kemudian dilengkapi menjadi kumpulan puisi dalam buku kecil yang diberi judul Tanah Air, dipersembahkan untuk menyongsong peringatan lima tahun Jong Sumatranen Bond.

 

Puisi dibuat dalam upaya mencintai tanah kelahirannya, yaitu Sumatera, ketika Yamin harus menunaikan tugasnya sebagai anak rantau yang harus meninggalkan kampung halamannya untuk menimba ilmu di tanah Jawa. ”Tanah air” sebagai frasa yang diperkenalkan oleh Muh Yamin hanyalah sekadar puisi yang indah. Sebuah genre baru dalam penulisan puisi pada masa itu.

 

Sementara itu, di negeri seberang, RM Noto Soeroto dan kawan-kawan mendirikan organisasi Indische Vereeniging (1908). Atas upaya beberapa tokoh, antara lain Iwa Koesoemasoemantri, Moh Hatta, dan Nazir Pamoentjak, kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (1925).

 

Untuk menyampaikan pesan kemerdekaan, mereka menerbitkan majalah Indonesia Merdeka, (1924) dengan slogan yang cukup berani dan radikal ”Indonesia Merdeka Sekarang”. Sejak saat itu, ’Indonesia’ yang pada awalnya adalah nama kawasan dan kumpulan etnis telah berubah menjadi cita-cita politik dan kebudayaan yang harus diperjuangkan.

 

Dalam suasana itu pula, di dalam negeri, kaum muda terus bergeliat dalam upaya menyatukan energi yang terserak di berbagai organisasi kepemudaan yang mengusung tema-tema ideologi, agama, dan suku tertentu. Hasrat itu terus menyatu dan puncaknya adalah ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

 

Sumpah Pemuda yang dihadiri golongan pemuda dari berbagai suku, daerah, dan organisasi keagamaan adalah satu model inklusivitas yang menyatukan golongan beragama dan nasionalis. Mereka datang dengan hasrat satu, menyatukan ide dan gagasan untuk: bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu Indonesia. Jadi, tanah air Indonesia telah menjelma menjadi kekuatan politik yang harus diperjuangkan dan diraih.

 

Periode 1920-1930 merupakan perdebatan ideologis akademis tentang sebuah bangsa. Para pemikir menuangkan gagasannya dalam perdebatan yang cukup dinamis. Misalnya, Soekarno melalui koran Pemandangan, Moh Hatta lewat koran Daulat Ra’jat, Abdul Rivai lewat Bintang Hindia, Marco Kartodikromo dan kawan-kawan lewat Medan Prijaji dan sebagainya. Mereka memperdebatkan apakah nasionalis kultural, kedaerahan, atau agama yang diperjuangkan. Atau, apakah bersedia bekerja sama atau nonkooperasi dengan Belanda.

 

Semua cerdik pandai yang jumlahnya tentu masih sedikit terus bergumul dengan pemikiran dan gagasannya untuk merancang Indonesia ke depan. Ternyata para pemuda sadar bahwa antara nasionalis kultural dan nasionalis agama harus bersatu dalam meraih kemerdekaan. Corak inklusivitas yang melintasi batas-batas agama, budaya, dan daerah telah menjadi kesadaran penting. Inklusivitas dalam pemikiran dan tindakan telah menjadi modal sosial dalam menyatukan berbagai kekuatan yang ada di seluruh wilayah kepulauan Indonesia.

 

Cita-cita bersama untuk tanah air Indonesia telah pula dapat menerabas batas konektivitas antargolongan dan daerah. Jaringan konektivitas yang sangat terbatas, baik jaringan darat, laut, maupun komunikasi, ternyata mampu disatukan dalam derap langkah perjuangan. Sumpah Pemuda menjadi tonggak penting dalam upaya menyatukan berbagai gagasan dan ide-ide baru dalam perjuangan melalui intelektualitas dan pemikiran kritis pada masa itu.

 

Dalam suasana penuh harapan itulah WR Supratman menutup sidang dengan melantunkan sebuah lagu yang digubahnya dengan judul ”Indonesia”. Dengan format keroncong dan iringan biola buatan Nicolo Amati, lagu dilantunkan tanpa teks. Ikrar Sumpah Pemuda dan lagu ”Indonesia” (baca: Indonesia Raya) telah menjadi mantra baru dalam menyatukan seluruh elemen bangsa untuk melawan penjajahan secara lebih terstruktur dan terencana, tidak lagi bersifat kedaerahan yang ternyata mengalami kegagalan terus-menerus.

 

Indonesia sebagai komitmen kebudayaan

 

Proses bertanah air dan berbangsa satu Indonesia terus bergulir dan puncaknya adalah kemerdekaan Indonesia.

 

Ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan Indonesia, maka Indonesia sebagai komitmen politik sudah selesai. Terbukti, dengan berbagai rongrongan, baik dari dalam maupun luar negeri, Indonesia masih mampu berdiri kokoh hingga kini. Namun, hari ini tantangannya justru jauh lebih kompleks.

 

Sudah menjadi takdir, karena letaknya yang menjadi lintasan berbagai budaya, agama, dan perdagangan, Indonesia memiliki ratusan pulau, bahasa, dan budaya. Itu adalah tantangan dan peluang. Maka, Indonesia, selain sebagai komitmen politik, juga mengandung makna sebuah komitmen kebudayaan. Masih sering kita dengar adanya pembatasan ekspresi dari kelompok yang berbeda, dengan mengatasnamakan perbedaan agama, kepercayaan, suku, ataupun kebudayaan. Upaya membangun Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan perlu terus dibicarakan dan diwacanakan.

 

Arnold Toynbee dalam bukunya A Study of History (1947) menyatakan, ada empat lapisan dalam membangun peradaban. Yang paling luar adalah pilar sains teknologi, pilar estetika, pilar moral etik, dan pilar spiritualitas. Dalam analisisnya, Toynbee mengatakan bahwa tiga pilar terluar, sekuat apa pun, tanpa dilandasi spiritualitas yang bagus, bangsa itu akan ambruk. Dalam perkembangan zaman sekarang ini, keempat pilar itu harus berjalan bersama dan tidak saling meninggalkan.

 

Sebagai bangsa yang besar dengan kebudayaan yang cukup tinggi, agar mampu memengaruhi peradaban global, Indonesia harus mengembangkan teknologi, sains dan estetika; tetapi itu harus berlandaskan pada nilai-nilai agama yang kuat dan etika yang moral tinggi.

 

Pembangunan yang hanya mengejar capaian tinggi di bidang sains dan teknologi, tetapi tidak memperhitungkan ekosistem alam, kebudayaan, dan infrastruktur pendukung lainnya, hanya akan menghasilkan konflik dan kemiskinan pada masa mendatang. Untuk itulah, pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan dengan memperhitungkan kebudayaan masyarakatnya akan lebih menjamin masa depan lebih baik.

 

Politik identitas dan kesadaran berbangsa

 

Pesta demokrasi tahun 2024 sebentar lagi akan kita rayakan. Berbagai persiapan untuk merayakan telah pula disiapkan. Dalam kontestasi, tidak jarang, untuk memobilisasi perolehan suara, politik identitas digunakan.

 

Isu perbedaan ras, etnis, agama dan kepercayaan lazim diangkat serta digunakan untuk menggalang kekuatan. Sebagian elite politik memakai politik identitas untuk menjatuhkan lawan politik. Praktik penggunaan politik identitas sudah lama dilakukan dalam setiap perhelatan pemilihan umum.

 

Pada Pemilu 1955, politik identitas juga digunakan untuk melakukan mobilisasi massa. Politik identitas digunakan dalam komunikasi politik elite hingga mencapai alam bawah sadar para pendukungnya. Propaganda dalam komunikasi politik sering kali menimbulkan segregasi yang semakin tajam di dalam kehidupan masyarakat, bahkan dapat menjurus kepada konflik sosial. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memecah kesatuan dan persatuan bangsa.

 

Dalam perkembangan politik saat ini, sering kali masyarakat lupa bahwa tanah air Indonesia lahir atas kontrak politik untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada ke dalam kerangka Tanah Air yang satu, yaitu Indonesia.

 

Seperti yang disampaikan Buya Syafii Maarif, politik identitas tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara apabila kita kembali ingat kepada tujuan masa depan kita, yakni menjadi cita-cita para pendiri bangsa untuk menyatukan Tanah Air dan bangsa dalam integrasi nasional.

 

Cita-cita yang didasarkan pada semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur rasa sentimen kesukuan, agama, ras, dan menjadi Pancasila sebagai dasar dari setiap langkah dalam berperilaku dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari, dengan rasa penuh tanggung jawab.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/28/politik-identitas-keindonesiaan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar