Risiko Jika PT Bukit
Asam Membeli PLTU PLN Opini Tempo : Redaktur Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 30
Oktober 2022
BANYAKNYA badan usaha
milik negara yang bermasalah seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah
bahwa penugasan yang mengabaikan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang
baik hanya akan menghasilkan malapetaka. Namun, alih-alih belajar dari
kesalahan selama ini, pemerintah justru mengulangnya di program transisi
energi. PT Perusahaan Listrik
Negara (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk meneken perjanjian prinsip rencana
akuisisi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Palabuhanratu, Jawa Barat, pada
Selasa, 18 Oktober lalu. Akuisisi yang diperkirakan senilai Rp 12 triliun ini
akan menjadi transaksi perdana dalam energy transition mechanism, skema yang
dirancang pemerintah berupa kegiatan pengakhiran dini pembangkit batu bara
dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Dalam skema itu, Bukit
Asam akan membeli PLTU Palabuhanratu dari PLN dengan komitmen masa operasi
selama 15 tahun, lebih pendek dibanding usia pembangkit berkapasitas 3 x 350
megawatt tersebut yang tersisa 24 tahun. Sedangkan PLN dapat menggunakan dana
hasil pelepasan aset untuk menggeber proyek-proyek EBT. Sepintas kerja sama dua
perusahaan negara ini tampak brilian. Sekali mendayung, tiga urusan
terselesaikan. PLN butuh modal untuk mengembangkan energi ramah lingkungan.
Bukit Asam punya ceruk pendapatan baru sekaligus kepastian pasar penyerap
produksi batu bara dari konsesi tambangnya. Sedangkan pemerintah akhirnya
bisa membuktikan keseriusannya mengejar target net zero emission pada 2060,
janji terbaru Presiden Joko Widodo kepada gerakan internasional untuk meredam
kenaikan suhu bumi. Celakanya, aroma pencitraan
lebih kuat mengiringi rencana akuisisi ini ketimbang kalkulasi bisnis yang
matang. Majalah ini menemukan peran Kementerian BUMN yang memaksa Bukit Asam
menjadi pembeli, lantaran PLN gagal menarik minat investor lain. Sedangkan
pemerintah berangan-angan bisa memamerkan keberhasilan pelaksanaan program
transisi energi ini dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, November
nanti. Langkah serampangan ini
sangat berisiko bagi kedua perusahaan. Sebagai perusahaan publik, Bukit Asam
sudah kena getahnya. Harga sahamnya melorot lantaran pelaku pasar modal risau
terhadap dampak akuisisi dadakan yang tak pernah dirancang dalam rencana
kerja perseroan tersebut. Bursa Efek Indonesia ikut meneliti dugaan
pelanggaran aksi korporasi tersebut dengan regulasi pasar modal. Bagi PLN, bahayanya bisa
jauh lebih besar jika pelepasan aset PLTU batu bara tak disertai kalkulasi
yang komprehensif dan matang. Di satu sisi, penjualan pembangkit memang akan
menambah pundi-pundi perseroan. Namun, di sisi lain, PLN kelak juga harus
merogoh kocek untuk balik membeli pasokan setrum dari pembangkit yang beralih
ke tangan produsen listrik independen (IPP). Dengan masa pensiun pembangkit
yang diperpendek, sudah pasti harga listrik yang harus dibayarkan PLN dengan
skema take or pay tersebut akan lebih mahal. Pertanyaan besarnya kini,
bagaimana memastikan penjualan aset PLTU batu bara oleh PLN benar-benar akan
menghasilkan pembangkit ramah lingkungan di masa mendatang? Di tengah jawaban
yang serba tak pasti, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah gopoh
mengumumkan adanya minat investor swasta untuk memborong PLTU batu bara milik
PLN lain yang akan dipensiunkan. Sungguh merugi negara ini jika program
transisi energi terus-menerus hanya jadi bahan seremoni. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/167284/risiko-jika-pt-bukit-asam-membeli-pltu-pln |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar