Bonus Demografi Menjelang 100 Tahun
Sumpah Pemuda Reja Hidayat : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 26 Oktober 2022
Anak muda akan
menjadi tulang punggung yang menentukan nasib Indonesia. Enam tahun dari
sekarang--tepatnya 2028, Indonesia diprediksi mengalami puncak momen dari apa
yang disebut sebagai fenomena bonus demografi. Momen ini tentu sangat
menentukan perjalanan sebuah bangsa. Kondisi ini
mengingatkan kita pada peristiwa yang terjadi pada 1928 silam. Kala itu,
semangat membangun rasa kebangsaan terangkum dalam peristiwa Kongres Pemuda
Kedua yang dikenal sebagai “Sumpah Pemuda”. Kini menjelang 100 tahun
peringatannya, Indonesia sedang menghadapi sebuah puncak bonus demografi. Bonus
demografi terjadi kala formasi demografi penduduk berusia produktif
diperkirakan mencapai 70 persen dan yang takproduktif hanya 30 persen.
Berdasarkan kalkulasi Badan Pusat Statistik (BPS), tahapan bonus demografi
akan terjadi antara 2020 hingga 2030. Puncak bonus demografi akan terjadi
pada periode 2028-2030, saat 100 orang produktif menanggung 44 orang
nonproduktif. Melimpahnya
usia produktif ini bisa menjadi kabar baik karena akan membantu menggenjot
pertumbuhan ekonomi. Kabar buruknya, jumlah usia yang produktif itu juga
berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran dan segudang permasalahannya. Ini
jika pemerintah tidak bisa mempersiapkannya dengan baik. “Bonus
demografi ibarat pedang bemata dua. Satu sisi adalah berkah jika kita
berhasil mengambil manfaatnya. Satu sisi lain adalah bencana apabila kualitas
manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik," kata Presiden Joko
Widodo saat memperingati Hari Keluarga Nasional pada Agustus 2015 silam. Peta penduduk
Indonesia saat ini bisa dilihat dari data Proyeksi Penduduk Indonesia yang
disusun Bappenas dan BPS. Berdasarkan data tersebut, jumlah penduduk pada
2015 tercatat 255,5 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari penduduk usia di bawah
15 tahun sekitar 69,9 juta jiwa (27,4 persen) dan penduduk yang berumur 65
tahun ke atas sekitar 13,7 juta jiwa (5,4 persen). Total usia tak produktif
ini sebanyak 32,8 persen. Sedangkan penduduk usia produktif yang berusia
15-64 tahun sekitar 171,9 juta jiwa (67,3 persen). Begitu
memasuki 2020, persentasenya berubah dengan jumlah penduduk produktif 70
persen dan tak produktif 30 persen. Persentase akan semakin ideal begitu
memasuki masa puncak dalam periode 2028-2030. Setelah itu, komposisi bakal
mulai kembali menjauh dari persentase ideal. Oleh sebab itulah, bonus
demografi hanya akan terjadi sekali dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa. Lalu, apa yang
dimaksud dengan 100 orang produktif menanggung 44 orang tak produktif? Terkait dengan
analisa seputar bonus demografi, tak boleh diabaikan apa yang disebut dengan
rasio ketergantungan (dependency ratio) atau perbandingan antara penduduk
usia tak produktif dengan penduduk usia produktif. Nah, pada masa puncak
bonus demografi, rasio ketergantungan diprediksi mencapai titik terendah,
yakni 44 orang tak produktif ditanggung oleh 100 orang usia produktif. Sebenarnya,
angka rasio ketergantungan nasional terus menurun dan telah melewati ambang
50 persen pada 2012. Persentase terbaik rasio ketergantungan di saat puncak
bonus demografi muncul sebagai windows of opportunity. Menurut Guru
Besar Ekonomi Kependudukan Universitas Indonesia Sri Moertiningsih Adioetomo,
windows of opportunity merupakan puncak produktivitas. Pasalnya, 44 anak atau
lansia bakal ditanggung 100 pekerja. “Artinya,
sebuah rumah dengan jumlah empat orang, sebanyak tiga bekerja dan satu yang
ditanggung. Bandingkan tahun 1970, di mana satu orang bekerja untuk
menanggung satu orang," kata Profesor Tuning, panggilan akrabnya, kepada
Tirto.id, pada Senin (27/6/2016). Harus Siap Jumlah
penduduk usia produktif yang mencapai hingga 70 persen pada saat puncak bonus
demografi memang sangat menguntungkan dari sisi pembangunan. Ia tentu saja
bakal mendorong pertumbuhan ekonomi. “Sepertiga
dari pertumbuhan ekonomi itu disumbang oleh bonus demografi,” kata Razali
Ritonga, mantan Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS,
seperti dilansir dalam bps.go.id. Indonesia
bahkan berpotensi mendapatkan keuntungan berupa naiknya produk domestik bruto
(PDB). Hal itu sudah dirasakan oleh Korea Selatan dan Singapura yang sukses
memanfaatkan bonus demografinya. Berdasaran
data United Nation Population Prospect, pada tahun 1960-2000, kontribusi
bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonomi Korea Selatan mencapai 13,2
persen dan pertumbuhan PDB mencapai 7,3 persen per tahun. Sedangkan
Singapura, kontribusi bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonominya
mencapai 13,6 persen, serta pertumbuhan PDB mencapai 8,2 persen per tahun. Namun,
keuntungan bonus demografi itu bisa diperoleh dengan catatan sudah ada
persiapan lapangan kerja, pendidikan yang layak, serta pelayanan kesehatan
dan gizi yang memadai. Jika hal-hal itu tidak tersedia, akan muncul setumpuk
persoalan. Sebut saja tingkat pengangguran yang tinggi, meningkatnya angka
kriminalitas, serta meletusnya konflik sosial. Kini,
pertanyaan paling pentingnya, sudah siapkah Indonesia menghadapi bonus
demografi? Menurut
Profesor Tuning, pemerintah tampaknya baru sadar bahwa windows of opportunity
sudah di depan mata. “Pemerintah
baru sadar. Kesadaran itu karena ada yang mengingatkan, seperti saat
pengukuhan saya sebagai profesor soal bonus demografi. Jika tidak, mana ada
(peduli)," katanya. Tuning
kemudian menunjukkan fakta, di dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, hanya
menyebut satu paragraf soal demografi. Hal itu mengindikasikan pemerintah tak
memikirkan langkah-langkah yang diperlukan untuk menghadapi puncak bonus
demografi. Barulah pada
era Presiden Joko Widodo, pemerintah memasukkan bonus demografi ke dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Termasuk menjabarkan
kerangka pelaksanaannya. Hal itu
dibenarkan pihak Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). "Iya, baru disiapkan pada
2014. Sebelumnya proyeksi saja. Tidak ada terjemahannya mau buat apa
(instansi terkait)," kata Ismet M Suhut, Humas Bappenas kepada tirto.id,
di Jakarta, pada Jumat (15/7/2016). Sejatinya,
menurut Tuning, ada enam elemen yang harus disiapkan dan disinergikan agar
Indonesia siap ketika memasuki masa windows of opportunity. Pertama,
mencermati perubahan struktur penduduk. Kedua, menjaga kesehatan ibu dan
anak, sejak ibu mengandung hingga anak berusia sekitar dua tahun. Ketiga,
investasi di bidang pendidikan dengan keahlian dan kompetensi, guna
meningkatkan kualitas tenaga kerja. Keempat,
kebijakan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja. Kelima, good governance
serta prosedur investasi yang sederhana. Terakhir, pertumbuhan ekonomi yang
diindikasikan dengan jumlah produksi yang lebih besar daripada tingkat
konsumsi. “Enam elemen
ini harus bersinergi secara bersama-sama. Sebenarnya, elemen ini seperti roda
yang saling berhubungan. Mereka harus bergerak secara bersama. Jika salah
satu roda macet, maka yang lain juga macet," katanya. Sekarang mari
kita lihat faktanya di bidang pendidikan. Pada tahun 2014, para pekerja di
negeri ini ternyata persentase paling besar merupakan lulusan sekolah dasar
yakni 47,1 persen. Diikuti lulusan SMA dan SMK sebanyak 25,4 persen, SMP
sebesar 17,7 persen, serta diploma 2,6 persen. Sementara sarjana sebanyak 7,2
persen. “Saat ini, jumlah orang muda begitu banyak, tapi kebanyakan lulusan
sekolah dasar dan bekerja di sektor informal," kata Tuning. Dalam hal
jumlah penduduk yang berpendidikan sarjana, Indonesia ternyata sangat jauh
tertinggal dibading negeri jiran dan bahkan Korsel. Sebanyak 75 persen
penduduk Malaysia berpendidikan sarjana, sedangkan Korsel hampir 90 persen.
Adapun Indonesia, baru menargetkan memiliki 75 persen penduduk berpendidikan
sarjana pada tahun 2051. Padahal
menurut Direktur Eksekutif The United Nations Population Fund (UNFPA)
Babatunde Osotimehin, kualitas penduduk menjadi kunci keberhasilan Indonesia
dalam memanfaatkan puncak bonus demografi. “Indonesia butuh investasi di
edukasi formal dan vokasional, serta kesehatan," katanya. Pemerintah
harus benar-benar menyiapkan anak-anak muda yang berkualitas sebelum memasuki
2028-2030. Sehingga ketika perayaan sumpah pemuda yang keseratus tahun,
anak-anak muda Indonesia sudah siap memanggul beban perjalanan bangsa
Indonesia yang menentukan di masa mendatang. ● |
Sumber : https://tirto.id/bonus-demografi-menjelang-100-tahun-sumpah-pemuda-bYwY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar