Senin, 31 Oktober 2022

 

Menjunjung Bahasa Kesetaraan

Saifur Rohman :  Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta

KOMPAS, 27 Oktober 2022

 

                                                

 

Hingga menjelang akhir bulan Oktober 2022, lagu ”Ojo Dibandingke” masih dinyanyikan di sekolah-sekolah di daerah.

 

Sebelumnya, lagu ini dipopulerkan oleh Farel Prayogo dalam peringatan HUT Ke-77 Indonesia di Istana Merdeka, 17 Agustus 2022. Puncak perayaan kebangsaan Indonesia itu diisi dengan lagu berbahasa lokal dengan tema cinta yang bertepuk sebelah tangan.

 

Beberapa bulan sebelumnya seorang anggota Dewan pernah mengusulkan pemecatan kepala Kejaksaan Tinggi karena berbicara dalam bahasa lokal dalam rapat. Alasannya, rapat merupakan forum resmi sehingga perlu menggunakan bahasa Indonesia.

 

Kasus pertama mencerminkan adanya harmoni antara keindonesiaan dan kedaerahan. Kasus kedua mencerminkan disharmoni. Ketika di Indonesia terdapat 652 bahasa daerah dan 11 di antaranya terancam punah, bagaimana praktik menjunjung tinggi bahasa persatuan?

 

Kenapa politik kebahasaan yang diterapkan pemerintah justru mematikan bahasa daerah? Apa solusi untuk tarik-menarik bahasa Indonesia dan bahasa daerah?

 

Harmoni dan disharmoni

 

Penutur bahasa Indonesia 199 juta orang di antara jumlah penduduk Indonesia yang 273,5 juta jiwa. Biasanya penutur bahasa daerah juga penutur bahasa Indonesia, tetapi pada masa kini penuturan bahasa Indonesia tak memiliki kefasihan yang sama dengan penuturan bahasa ibunya.

 

Pendeknya, lebih mudah berbicara dalam bahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Problem harmoni dan disharmoni antara lokalitas dan keindonesiaan ini perlu diidentifikasi sebab musababnya.

 

Harmoni kedaerahan dan keindonesiaan dapat terjadi melalui dua cara, yakni komunikasi estetis dan komunikasi massa. Pertama, perihal komunikasi estetis, ketika Farel yang menyanyikan bahasa daerah, pengguna bahasa Jawa saat ini 84,3 juta.

 

Demikian pula Farel Prayogo bukanlah penyanyi terkenal. Dia hanyalah penyanyi cilik dari Banyuwangi, Jawa Timur.

 

Pencipta lagu Agus Purwanto mengaku menulis lagu itu sebagai hiburan lokal yang disebut dengan genre koplo di Boyolali, Jawa Tengah.

 

Purwanto sendiri tak menyangka lagu koplo itu akan jadi materi hiburan di Istana Merdeka, Jakarta. Biasanya lagu ini dinyanyikan di lingkaran pergelaran dangdut pantai utara (pantura) atau disetel di bus antarkota-antarprovinsi.

 

Kosakata kedaerahan pun bermunculan dalam keindonesiaan. Media estetis ini juga terjadi ketika Didi Kempot memperkenalkan kata ambyar dalam lagunya.

 

Sejak itu, kata ini mulai populer digunakan untuk menyebut kumpulan fans dengan ”sobat ambyar”. Dalam iklan juga menggunakan ”ambyar angine”

 

Tayangan acara televisi baru-baru ini juga menggunakan istilah lokal untuk ”Pagi-pagi Ambyar”. Empat tahun lalu, kata itu belum masuk lema bahasa Indonesia pada Kamus Besar yang ditulis oleh Ahmad A Karimuda tahun 2008 (terbitan Gitamedia Press).

 

Pada masa kini, kata ambyar telah dimasukkan ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan ditulis sebagai bahasa percakapan sehari-hari, tetapi belum dianggap sebagai bahasa baku.

 

Kedua, dalam praktik komunikasi massa, penyerapan bahasa daerah menjadi bahasa Indonesia dimulai dari komunikasi publik. Ambil contoh kata sangar. Pada awalnya adalah kosakata lokal. Buktinya dalam kamus Purwadarminta (1986: 866), kata itu masih dicatat sebagai kata lokal.

 

Dalam pergelaran sabung manusia di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 22 Oktober 2022 lalu, misalnya, para petarung disebut dengan kata sangar untuk menyebut berbahaya. Kata sangar sekarang ini sudah masuk ke dalam bahasa Indonesia.

 

Orientasi yang tak pasti

 

Harmonisasi kedaerahan dan keindonesiaan merupakan kondisi ideal yang selaras dengan cita-cita kebangsaan. Dalam bahasa Hussein Jayadiningrat, inlander yang menjadi doktor pertama pada masa kolonial, pernah menulis dalam De Voertalkwestie.

 

Katanya, ”Een der hoofdstrevingen van ons, bewust of onbewust, is sinds jaar en dag gericht op verwerving van gelijkwaardigheid”.

 

Artinya, salah satu cita-cita kami yang utama adalah mencapai kesetaraan. Apabila direfleksikan pada masa kini, kondisi tak setara atau disharmoni itu berasal dari tiga penyebab.

 

Pertama, bahasa Indonesia jadi satu penyebab kepunahan bahasa daerah. Penggunaan bahasa Indonesia mengakibatkan penggunaan bahasa daerah berkurang.

 

Data Kemendikbudristek 2022 menunjukkan, sebelas bahasa daerah terancam punah. Bahasa itu hidup di Indonesia bagian timur, seperti bahasa Tandia dan Mawes di Papua; Kaiely, Piru, Moksela, Palumata, Hukumina, dan Hoti di Maluku.

 

Kedua, terjadinya konflik identitas dalam kelas-kelas sosial bahasa Indonesia semu.

 

Dalam komunikasi antaranggota kelompok sosial sering kali terjadi peralihan ke bahasa Indonesia gado-gado.

 

Latar belakangnya perubahan kultural, urbanisasi, asimilasi, serta kontak kultural lain di seluruh Indonesia. Contohnya, bahasa Jaksel yang keinggris-inggrisan memberikan ruang baru dalam berkomunikasi sebagai eksistensi identitas kelompok.

 

Ketiga, sistem patron-klien dalam berbahasa. Para tokoh publik menggunakan bahasa yang kurang tepat untuk menjaga kelas sosial mereka. Pada saat yang sama, para tokoh adalah model yang ditiru dalam praktik komunikasi sehari-hari di masyarakat.

 

Fakta-fakta ini membawa pada kenyataan bahwa politik bahasa Indonesia tak memiliki orientasi yang pasti dan terarah. Selama ini, pemerintah melalui Badan Bahasa memberikan apresiasi terhadap para pengguna bahasa Indonesia di media massa setiap tahun.

 

Penghargaan ini tak membawa manfaat terhadap cita-cita untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan.

 

Hal tersebut karena tidak diimbangi dengan penghargaan terhadap penggunaan bahasa daerah di tingkat nasional. Suka atau tidak, program itu tidak mendukung kelestarian bahasa daerah yang makin langka.

 

Frasa ”Menjunjung tinggi bahasa persatuan” bukanlah menjadikan bahasa Indonesia sebagai penjajah bagi penutur bahasa daerah.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/25/menjunjung-bahasa-kesetaraan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar