Senin, 31 Oktober 2022

 

Basis Moralitas Pemilihan Calon Presiden

Syamsul Ma'arif : Guru Besar, Dekan FPK UIN Walisongo; Pengasuh Pesantren Riset Al-Khawarizmi

KOMPAS, 24 Oktober 2022

 

                                                

 

Meskipun pemilu serentak 2024 masih cukup lama, tetapi telah disambut dengan antusias oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Ingar bingar penyambutan pemilu untuk memilih bakal calon ”presiden dan wakil presiden” sangatlah wajar sebab pemilu masih dilihat masyarakat sebagai media yang mampu memberikan dampak positif bagi perkembangan politik. Terutama sekali, karena akan memilih presiden secara langsung, diyakini akan mampu mengantarkan terpilihnya ”seorang pemimpin” yang benar-benar sesuai dengan pilihan rakyat. Dengan demikian, ia diharapkan akan dapat segera membawa pada perubahan kehidupan yang lebih baik.

 

Antusiasme masyarakat Indonesia terhadap pemilu tersebut bisa dilihat dari intensnya perbincangan-perbincangan di seputar ”pemilihan calon presiden”, baik itu yang dilakukan dalam acara-acara formal, seperti seminar, diskusi, bahtsul masail dan debat publik, maupun non-formal, seperti acara arisan RT/RW, kondangan atau selamatan, pengajian, sampai pada ”obrolan-obrolan” di warung kopi.

 

Perbincangan kebanyakan sudah mengarah pada perdebatan untuk menilai layak dan tidak layaknya bakal calon presiden. Tak jarang, sebagian sudah mengarah kepada pemberian kriteria dan justifikasi dengan menggunakan klaim-klaim keagamaan. Berkaca pada pemilu sebelumnya, biasanya akan bermunculan fatwa politik yang diberikan oleh sejumlah tokoh agama untuk mengunggulkan jagonya masing-masing.

 

Alangkah lebih baiknya, dalam penentuan bakal calon presiden lebih didasarkan kepada track record bakal calon selama memimpin, visioner, dan berkarakter. Mengangkat program-program lebih humanis, bisa mencerdaskan dan menyadarkan masyarakat untuk bergerak bersama demi masa depan yang dicita-citakan. Dengan melihat pluralitas masyarakat Indonesia, agar senantiasa kondusif dan damai—sebisa mungkin perlu menghindari penggunaan politik identitas dan kekerasan sentimen SARA.

 

Melongok pemilu prespektif Islam

 

Bagi masyarakat yang mayoritas berpenduduk Muslim ini, sebenarnya kontroversi mengenai penentuan kriteria siapa yang berhak menjadi seorang ”presiden” atau tidak, yang didasarkan kepada perspektif masing-masing, bukanlah sesuatu hal yang baru. Sebab, setelah kematian Rasulullah pun (pada tahun 11 H/632 M), umat Islam juga pernah diguncangkan dengan isu yang hampir serupa seperti ini.

 

Kalau kita menengok sejarah, pada saat Rasulullah wafat, sempat pula terjadi ketegangan antara golongan Muhajirin dan Anshar (kalau sekarang mungkin orsospol), sebagai dua kekuatan besar yang sama-sama menginginkan kursi kekhalifahan, untuk mengganti kepemimpinan Rasulullah SAW. Perdebatan dan ketegangan sempat terjadi ketika proses suksesi secara sederhana berlangsung di Saqifah bani Saidah yang finalnya memunculkan nama Abu Bakar sebagai khalifah I.

 

Hal yang paling menarik, pemilihan masyarakat Muslim dan pembaiatan kepada Abu Bakar, secara tidak langsung dapat mengindikasikan legalitas kedaulatan rakyat. Nilai-nilai yang diterapkan sudah mencerminkan suatu sistem demokratis sekaligus menepis upaya ala monarki. Dengan demikian, meskipun belum diadakan pemilu secara langsung, konsensus golongan Muhajirin dan Anshar—dalam beberapa hal—memiliki hakikat yang tidak jauh berbeda dengan pemilu.

 

Melihat realitas sejarah tentang pemilihan seorang pemimpin yang pernah dilakukan para sahabat sepeninggal rasul tersebut, dapatlah dijadikan semacam bukti bahwa pemilu untuk memilih seorang presiden atau pemimpin dalam prespektif Islam, merupakan sesuatu yang urgen. Hal itu disebabkan, kepemimpinan dalam Islam dipandang sebagai instrumen penting bagi terlindungnya agama dan kesuksesan mengatur dunia.

 

Kevakuman pemimpin akan mendatangkan kekacauan. Lebih dari itu, menurut Islam, pemimpin adalah bayangan Allah di muka bumi. Enam puluh tahun di bawah pemimpin congkak, lebih baik daripada semalam tanpa pemimpin. Wajar jika kemudian para ulama sepakat bahwa pengangkatan pemimpin bagi kaum Muslim adalah wajib syar’i.

 

Mayoritas ulama menyatakan bahwa al-Islam huwa al-din wa al-daulah (Islam adalah agama dan negara). Al-Ghazali (w 1111 M) melukiskan hubungan antara agama dan kekuasaan politik sebagai berikut: ”Sultan (kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah sebenarnya tujuan Rasul”.

 

Jadi, wajib adanya imam merupakan kewajiban agama yang tidak ada jalan untuk meninggalkanya. Para pemikir politik seperti Abu al-Hasan al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, Ibn Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyah, Yusuf Qardlawy dalam Fiqh al-Daulah, dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam al-Khilafah au al-Imamah al-’Udhma juga berpendapat serupa.

 

Kriteria moralitas calon presiden

 

Siapakah sebenarnya orang yang berhak untuk menjadi seorang pemimpin (presiden)? Sebenarnya terdapat beberapa ayat Al Quran dan hadis yang telah menunjukkan secara jelas berkaitan dengan kriteria seorang pemimpin.

 

Dalam Surat Al-Maidah Ayat 42 dijelaskan, pemimpin adalah seorang yang penuh kebijaksanaan dan keadilan serta mampu memberi manfaat bagi orang-orang yang dipimpinnya. Begitu pula sebaliknya, kalau hendak menjadi pemimpin, ia harus berani tampil ke depan, memberi contoh dalam ucapan dan perbuatan, menjadi pembangkit semangat serta meningkatkan kemauan di tengah-tengah mereka, mengikuti dan mengarahkan aspirasi serta tindakan yang dipimpin.

 

Dalam surat lain, pada Al-Baqarah Ayat 119 juga disebutkan, ”Sesungguhnya Kami telah mengutus engkau (Muhammad) dengan kebenaran sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan dan engkau tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang penghuni-penghuni neraka”. Jadi, seorang pemimpin yang diharapkan adalah seseorang yang di dalam dirinya mengandung unsur kebenaran, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan.

 

Berkaitan dengan kriteria seorang pemimpin, Al-Mawardi memberikan tujuh syarat. Pertama, keadilan (al-’adalah) atas syarat yang menyeluruh. Kedua, memiliki pengetahuan yang memungkinkan untuk berusaha keras (ijtihad) dalam berbagai persoalan termasuk hukum. Ketiga, sehat indranya, baik pendengaran, penglihatan, dan lisan agar dapat secara benar apa yang didapatinya. Keempat, sehat anggota badannya dari berbagai kekurangan yang dapat menghambat dari kegiatan dan kecepatan bertindak.

 

Kelima, kreatif dalam mengatur rakyat dan mengupayakan kebaikan. Keenam, memiliki keberanian dan keteguhan untuk memelihara dari berbagai hambatan, termasuk serangan musuh. Ketujuh, nasab Quraisy, karena dalil yang disepakati ”al-aimmatu min Quraisy”. Untuk syarat yang terakhir, oleh Ibn Khaldun ditafsirkan secara kontekstual, yang lebih menekankan pada kualifikasi kapabilitas dan kompetensinya.

 

Kriteria seorang yang bakal dicalonkan sebagai presiden sebaiknya bertumpu pada akar yang menghujam kuat pada prestasi, attitude, dan kemandirian. Sekaligus berlaku asketis, merangkul perbedaan, memiliki sense of crisis, altruisme tinggi demi keberlanjutan kemanusiaan dan ekosistem.

 

Profil ideal calon presiden meminjam ungkapan John Kotter dalam buku Leading Change yang sangat mashur itu adalah seorang yang mampu membuat visi perubahan dengan mudah dan jelas, kemudian mengomunikasikan pada semua pihak (Communicating the Vision), dan kemudian mampu menginspirasi mereka untuk mengatasi semua rintangan yang terjadi.

 

Bakal calon presiden efektif adalah mereka yang mampu menjelajahi kehidupan batin dan mencari kedamaian jiwa masyarakat. Ia mempunyai pandangan mata kasih sayang, keteduhan, dan kearifan. Pandangan ”ainu al-rahmah” ini, biasanya mampu menyingkap kedalaman dan kebeningan hati yang sejati. Mungkin masyarakat semakin bertanya-tanya, siapa kiranya orang yang memiliki kualifikasi sehebat itu?

 

Sebaiknya, menurut hemat penulis, acuan-acuan normatif mengenai kepemimpinan, janganlah dianggap sebagai beban bagi seseorang yang ingin memilih atau dipilih menjadi presiden. Namun, semua acuan semacam itu bagi seorang calon pemimpin negeri ini hendaknya dapat dijadikan guideline bahwa tugas pemimpin adalah sangat berat.

 

Dengan demikian, tentang persoalan ini, rasul pun sudah wanti-wanti agar seseorang itu tidak meminta jabatan: ”Janganlah kamu meminta jabatan, jika kamu diberi jabatan karena meminta, maka akan menjadi (beban) berat, tetapi jika kamu diberi jabatan bukan karena memintanya, maka Allah akan membantu kamu”. Meskipun, harus kita akui, pemahaman tekstual hadis ini pada saat sekarang, mungkin kurang populer. Karena pada kenyataannya, banyak orang yang ditengarai sering menghalalkan segala cara demi memuluskan langkahnya menjadi pemimpin.

 

Sementara bagi masyarakat Indonesia yang memiliki hak untuk memilih presiden akan dapat menjadikan acuan normatif tersebut, sebagai standar moral untuk memilih figur capres dan wapres yang dapat mencerminkan keterwakilan rakyat baik secara moral, pengetahuan, dan komitmen kepada perbaikan dan kebaikan rakyat. Hanya dengan memilih ”capres dan wapres” yang sesuai basis moralitas itulah harapan bisa memilih pemimpin yang terbaik demi Indonesia di masa depan. Sosok pemimpin populis, futuristik, dan ”memayu hayuning bawono, ambrasto dhur angkoro”. Penguasa yang adil, penuh cinta kasih, melayani, dan memikirkan kesejahteraan rakyat.

 

Pendek kata, semua bangsa Indonesia harus sepakat bahwa bakal calon presiden yang terpilih siapa pun nanti adalah presiden yang dikehendaki rakyat dan secara substantif dipercaya oleh rakyat. Pemimpin sejati yang memancarkan wibawa karena memiliki komitmen, integritas, dan kapabilitas memadai. Seorang presiden yang dipercaya mempunyai karakter amanah, fathanah, dan shidiq, serta santun kepada rakyat.

 

Melalui Pemilu 2024 adalah momentum strategis untuk mewujudkan impian masyarakat secara bersama. Sudah saatnya dalam pemilihan presiden harus mengedepankan hati nurani, bukan karena uang dan paksaan. Meskipun berbeda pilihan, tetap harus bersaudara dan saling menghormati.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/22/basis-moralitas-pemilihan-calon-presiden

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar