Basis
Moralitas Pemilihan Calon Presiden Syamsul Ma'arif : Guru
Besar, Dekan FPK UIN Walisongo; Pengasuh Pesantren Riset Al-Khawarizmi |
KOMPAS, 24 Oktober 2022
Meskipun
pemilu serentak 2024 masih cukup lama, tetapi telah disambut dengan antusias
oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Ingar bingar penyambutan pemilu untuk
memilih bakal calon ”presiden dan wakil presiden” sangatlah wajar sebab
pemilu masih dilihat masyarakat sebagai media yang mampu memberikan dampak
positif bagi perkembangan politik. Terutama sekali, karena akan memilih
presiden secara langsung, diyakini akan mampu mengantarkan terpilihnya
”seorang pemimpin” yang benar-benar sesuai dengan pilihan rakyat. Dengan
demikian, ia diharapkan akan dapat segera membawa pada perubahan kehidupan yang
lebih baik. Antusiasme
masyarakat Indonesia terhadap pemilu tersebut bisa dilihat dari intensnya
perbincangan-perbincangan di seputar ”pemilihan calon presiden”, baik itu
yang dilakukan dalam acara-acara formal, seperti seminar, diskusi, bahtsul
masail dan debat publik, maupun non-formal, seperti acara arisan RT/RW,
kondangan atau selamatan, pengajian, sampai pada ”obrolan-obrolan” di warung
kopi. Perbincangan
kebanyakan sudah mengarah pada perdebatan untuk menilai layak dan tidak
layaknya bakal calon presiden. Tak jarang, sebagian sudah mengarah kepada
pemberian kriteria dan justifikasi dengan menggunakan klaim-klaim keagamaan.
Berkaca pada pemilu sebelumnya, biasanya akan bermunculan fatwa politik yang
diberikan oleh sejumlah tokoh agama untuk mengunggulkan jagonya
masing-masing. Alangkah
lebih baiknya, dalam penentuan bakal calon presiden lebih didasarkan kepada
track record bakal calon selama memimpin, visioner, dan berkarakter.
Mengangkat program-program lebih humanis, bisa mencerdaskan dan menyadarkan
masyarakat untuk bergerak bersama demi masa depan yang dicita-citakan. Dengan
melihat pluralitas masyarakat Indonesia, agar senantiasa kondusif dan
damai—sebisa mungkin perlu menghindari penggunaan politik identitas dan
kekerasan sentimen SARA. Melongok
pemilu prespektif Islam Bagi
masyarakat yang mayoritas berpenduduk Muslim ini, sebenarnya kontroversi
mengenai penentuan kriteria siapa yang berhak menjadi seorang ”presiden” atau
tidak, yang didasarkan kepada perspektif masing-masing, bukanlah sesuatu hal
yang baru. Sebab, setelah kematian Rasulullah pun (pada tahun 11 H/632 M),
umat Islam juga pernah diguncangkan dengan isu yang hampir serupa seperti
ini. Kalau
kita menengok sejarah, pada saat Rasulullah wafat, sempat pula terjadi
ketegangan antara golongan Muhajirin dan Anshar (kalau sekarang mungkin
orsospol), sebagai dua kekuatan besar yang sama-sama menginginkan kursi
kekhalifahan, untuk mengganti kepemimpinan Rasulullah SAW. Perdebatan dan
ketegangan sempat terjadi ketika proses suksesi secara sederhana berlangsung
di Saqifah bani Saidah yang finalnya memunculkan nama Abu Bakar sebagai
khalifah I. Hal
yang paling menarik, pemilihan masyarakat Muslim dan pembaiatan kepada Abu
Bakar, secara tidak langsung dapat mengindikasikan legalitas kedaulatan rakyat.
Nilai-nilai yang diterapkan sudah mencerminkan suatu sistem demokratis
sekaligus menepis upaya ala monarki. Dengan demikian, meskipun belum diadakan
pemilu secara langsung, konsensus golongan Muhajirin dan Anshar—dalam
beberapa hal—memiliki hakikat yang tidak jauh berbeda dengan pemilu. Melihat
realitas sejarah tentang pemilihan seorang pemimpin yang pernah dilakukan
para sahabat sepeninggal rasul tersebut, dapatlah dijadikan semacam bukti
bahwa pemilu untuk memilih seorang presiden atau pemimpin dalam prespektif
Islam, merupakan sesuatu yang urgen. Hal itu disebabkan, kepemimpinan dalam
Islam dipandang sebagai instrumen penting bagi terlindungnya agama dan
kesuksesan mengatur dunia. Kevakuman
pemimpin akan mendatangkan kekacauan. Lebih dari itu, menurut Islam, pemimpin
adalah bayangan Allah di muka bumi. Enam puluh tahun di bawah pemimpin
congkak, lebih baik daripada semalam tanpa pemimpin. Wajar jika kemudian para
ulama sepakat bahwa pengangkatan pemimpin bagi kaum Muslim adalah wajib
syar’i. Mayoritas
ulama menyatakan bahwa al-Islam huwa al-din wa al-daulah (Islam adalah agama
dan negara). Al-Ghazali (w 1111 M) melukiskan hubungan antara agama dan
kekuasaan politik sebagai berikut: ”Sultan (kekuasaan politik) adalah wajib
untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama;
ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah sebenarnya tujuan
Rasul”. Jadi,
wajib adanya imam merupakan kewajiban agama yang tidak ada jalan untuk
meninggalkanya. Para pemikir politik seperti Abu al-Hasan al-Mawardi dalam
al-Ahkam al-Sulthaniyah, Ibn Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyah, Yusuf
Qardlawy dalam Fiqh al-Daulah, dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam
al-Khilafah au al-Imamah al-’Udhma juga berpendapat serupa. Kriteria
moralitas calon presiden Siapakah
sebenarnya orang yang berhak untuk menjadi seorang pemimpin (presiden)?
Sebenarnya terdapat beberapa ayat Al Quran dan hadis yang telah menunjukkan
secara jelas berkaitan dengan kriteria seorang pemimpin. Dalam
Surat Al-Maidah Ayat 42 dijelaskan, pemimpin adalah seorang yang penuh
kebijaksanaan dan keadilan serta mampu memberi manfaat bagi orang-orang yang
dipimpinnya. Begitu pula sebaliknya, kalau hendak menjadi pemimpin, ia harus
berani tampil ke depan, memberi contoh dalam ucapan dan perbuatan, menjadi
pembangkit semangat serta meningkatkan kemauan di tengah-tengah mereka,
mengikuti dan mengarahkan aspirasi serta tindakan yang dipimpin. Dalam
surat lain, pada Al-Baqarah Ayat 119 juga disebutkan, ”Sesungguhnya Kami
telah mengutus engkau (Muhammad) dengan kebenaran sebagai pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan dan engkau tidak akan diminta
pertanggungjawaban tentang penghuni-penghuni neraka”. Jadi, seorang pemimpin
yang diharapkan adalah seseorang yang di dalam dirinya mengandung unsur
kebenaran, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan. Berkaitan
dengan kriteria seorang pemimpin, Al-Mawardi memberikan tujuh syarat.
Pertama, keadilan (al-’adalah) atas syarat yang menyeluruh. Kedua, memiliki
pengetahuan yang memungkinkan untuk berusaha keras (ijtihad) dalam berbagai
persoalan termasuk hukum. Ketiga, sehat indranya, baik pendengaran,
penglihatan, dan lisan agar dapat secara benar apa yang didapatinya. Keempat,
sehat anggota badannya dari berbagai kekurangan yang dapat menghambat dari
kegiatan dan kecepatan bertindak. Kelima,
kreatif dalam mengatur rakyat dan mengupayakan kebaikan. Keenam, memiliki
keberanian dan keteguhan untuk memelihara dari berbagai hambatan, termasuk
serangan musuh. Ketujuh, nasab Quraisy, karena dalil yang disepakati
”al-aimmatu min Quraisy”. Untuk syarat yang terakhir, oleh Ibn Khaldun
ditafsirkan secara kontekstual, yang lebih menekankan pada kualifikasi
kapabilitas dan kompetensinya. Kriteria
seorang yang bakal dicalonkan sebagai presiden sebaiknya bertumpu pada akar
yang menghujam kuat pada prestasi, attitude, dan kemandirian. Sekaligus
berlaku asketis, merangkul perbedaan, memiliki sense of crisis, altruisme
tinggi demi keberlanjutan kemanusiaan dan ekosistem. Profil
ideal calon presiden meminjam ungkapan John Kotter dalam buku Leading Change
yang sangat mashur itu adalah seorang yang mampu membuat visi perubahan
dengan mudah dan jelas, kemudian mengomunikasikan pada semua pihak
(Communicating the Vision), dan kemudian mampu menginspirasi mereka untuk
mengatasi semua rintangan yang terjadi. Bakal
calon presiden efektif adalah mereka yang mampu menjelajahi kehidupan batin
dan mencari kedamaian jiwa masyarakat. Ia mempunyai pandangan mata kasih
sayang, keteduhan, dan kearifan. Pandangan ”ainu al-rahmah” ini, biasanya
mampu menyingkap kedalaman dan kebeningan hati yang sejati. Mungkin
masyarakat semakin bertanya-tanya, siapa kiranya orang yang memiliki
kualifikasi sehebat itu? Sebaiknya,
menurut hemat penulis, acuan-acuan normatif mengenai kepemimpinan, janganlah
dianggap sebagai beban bagi seseorang yang ingin memilih atau dipilih menjadi
presiden. Namun, semua acuan semacam itu bagi seorang calon pemimpin negeri
ini hendaknya dapat dijadikan guideline bahwa tugas pemimpin adalah sangat
berat. Dengan
demikian, tentang persoalan ini, rasul pun sudah wanti-wanti agar seseorang
itu tidak meminta jabatan: ”Janganlah kamu meminta jabatan, jika kamu diberi
jabatan karena meminta, maka akan menjadi (beban) berat, tetapi jika kamu
diberi jabatan bukan karena memintanya, maka Allah akan membantu kamu”.
Meskipun, harus kita akui, pemahaman tekstual hadis ini pada saat sekarang,
mungkin kurang populer. Karena pada kenyataannya, banyak orang yang
ditengarai sering menghalalkan segala cara demi memuluskan langkahnya menjadi
pemimpin. Sementara
bagi masyarakat Indonesia yang memiliki hak untuk memilih presiden akan dapat
menjadikan acuan normatif tersebut, sebagai standar moral untuk memilih figur
capres dan wapres yang dapat mencerminkan keterwakilan rakyat baik secara
moral, pengetahuan, dan komitmen kepada perbaikan dan kebaikan rakyat. Hanya
dengan memilih ”capres dan wapres” yang sesuai basis moralitas itulah harapan
bisa memilih pemimpin yang terbaik demi Indonesia di masa depan. Sosok
pemimpin populis, futuristik, dan ”memayu hayuning bawono, ambrasto dhur
angkoro”. Penguasa yang adil, penuh cinta kasih, melayani, dan memikirkan
kesejahteraan rakyat. Pendek
kata, semua bangsa Indonesia harus sepakat bahwa bakal calon presiden yang
terpilih siapa pun nanti adalah presiden yang dikehendaki rakyat dan secara
substantif dipercaya oleh rakyat. Pemimpin sejati yang memancarkan wibawa
karena memiliki komitmen, integritas, dan kapabilitas memadai. Seorang
presiden yang dipercaya mempunyai karakter amanah, fathanah, dan shidiq,
serta santun kepada rakyat. Melalui
Pemilu 2024 adalah momentum strategis untuk mewujudkan impian masyarakat
secara bersama. Sudah saatnya dalam pemilihan presiden harus mengedepankan
hati nurani, bukan karena uang dan paksaan. Meskipun berbeda pilihan, tetap
harus bersaudara dan saling menghormati. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/22/basis-moralitas-pemilihan-calon-presiden |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar