Senin, 31 Oktober 2022

 

Sumpah Pemuda dan Paradoks ”Merdeka” dalam Pendidikan

Francis Wahono : Direktur Cindelaras Institute dan Pengamat Pendidikan.

KOMPAS, 28 Oktober 2022

 

                                                

 

Tiap tanggal 28 Oktober kita merayakan Hari Sumpah Pemuda. Sudah banyak sejarawan dan penulis yang mengulas, secara tuntas, inti, alasan, semangat, dan sumbangan yang diberikan Sumpah Pemuda pada pembentukan dan pemeliharaan kemerdekaan NKRI. Yang mana, pada saat menuju 2045, memang sudah merdeka, secara politik, militer, agama, dan sosial budaya, tetapi sedikit belum tuntas, masih berjuang menyelesaikannya, terutama dalam bidang ekonomi serta pendidikan-kesehatan.

 

Sumpah Pemuda 1928 yang 17 tahun kemudian akhirnya dengan gagah berani melahirkan Proklamasi Kemerdekaan RI, pada 17 Agustus 1945, adalah kemenangan kaum muda untuk dilanjutkan pada telatah diplomasi dan pertahanan, serta bekerja mengisinya. Semangat dan inspirasi yang sama hendak ditularkan sebagai warisan sejarah yang baik, kepada generasi penerus, utamanya lewat pendidikan.

 

Data BPS tahun 2021/2022 menyebutkan, di Indonesia ada 24,33 juta pelajar ditambah 8,97 juta mahasiswa, atau total 33,3 juta, yang berarti 19 persen dari total penduduk. Mereka berada di 394.708 unit sekolah (sebanyak 6.966 unit di antaranya swasta), 3.957 perguruan tinggi (3.115 perguruan tinggi negeri, 842 perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama, dan 2.990 perguruan tinggi swasta).

 

Adapun jumlah pendidik sebanyak 3,358 juta, paling banyak guru SD-SMA/SMK. Dari jumlah itu sebanyak 348.776 merupakan tenaga kependidikan/administrasi dan 311.642 dosen. Total anggaran pendidikan pada 2021 sebesar Rp 550 triliun atau 20 persen dari APBN. Dari jumlah itu, sebesar Rp 81,5 triliun (14,8 persen) dikelola Kemendikbudristek. Semua dalam rangka perhelatan besar menata dan memberi jiwa baru yang bernapas ”merdeka” dalam bidang pendidikan.

 

Tulisan ini hendak mencari jawab, pertama, sejauh mana semangat dan inspirasi Sumpah Pemuda dapat menjiwai usaha mentransformasi pendidikan, budaya, dan riset yang sudah dimulai dengan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka? Kedua, apakah RUU Sisdiknas, sebagai aturan dan kebijakan pendidikan, sungguh layak dan pantas menjadi realisasi cita-cita Sumpah Pemuda sebagaimana termaktub dalam Preambule, Pasal 30, 31, 32, dan 36 UUD 1945?

 

Semangat dan inspirasi

 

Bertolak dari kesadaran kolektif, sebagai akibat digiring oleh rasa terjajah, secara sosial-politik-ekonomi-budaya-agama (sospolekbuda) dari pemerintah kolonial saat itu, telah menurunkan derajat manusia Indonesia, merosot ke kelas dua dan tiga warga. Dan kesadaran akan kondisi merana tersebut telah menggumpalkan tekad bersama, kerinduan menyeruak, dan perjuangan menggebu, untuk merdeka. Di mana kesadaran sebagai satu bangsa masih sangat rapuh, mudah diadu domba, hanya dengan sanjungan kata, utang jabatan, dan umpan uang.

 

Tak pelak lagi, kesimpulan teguh dari kaum muda yang sudah terdidik dan tercerahkan, lebih dari rekan-rekannya yang belum beruntung, adalah: ”Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Singkat namun bulat jiwa: ”Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangwra” (berbeda-beda, tetapi satu, tiada langkah kata yang mendua).

 

Maka mereka, putra-putri dari berbagai suku, budaya, adat, bahasa, pulau, dan latar belakang sosial ekonomi berbeda-beda: Jong Java, Jong Sumatera, Jong Batakbond, Jong Islamietenbond, Jong Celebes, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Pelajar-Pelajar Indonesia, memanifestasikan: satu nusa atau tanah air archipelago, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia.

 

Ketiga kredo, satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia, tersebut terekam jelas dalam UUD 1945 sebagai cita-cita pendidikan, ”kemerdekaan ialah hak segala bangsa …memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” (Preambule), yang dijabarkan sebagai bela negara (Pasal 30), hak pengajaran dan kewajiban membuat sistem pengajaran (Pasal 31), memajukan kebudayaan (Pasal 32), dan bahasa Indonesia ialah bahasa negara (Pasal 36).

 

Indah sekali dan menggetarkan sanubari karena proses membangun bangsa sungguh dialami dengan tulang, daging, kulit, dan jantung hati, rindu akan kemerdekaan. Maka, sudah tepat dan layak tujuan kemerdekaan manusianya, pelajarnya, mahasiswanya, kaum mudanya yang dibantu melalui sistem pendidikan untuk merdeka: jiwa mental, nalar, raga, dan wawasannya (bdk Ki Hadjar Dewatara 1922).

 

Bukan hanya ”merdeka” belajar, yang ”sesuka hati ikut naluri”, tetapi juga dalam merancang kurikulum, mata pelajaran/kuliah, metode, ruang/kampus, maupun mendudukkan fungsi guru/dosen, pemerintah pusat-daerah, dan lembaga/yayasannya. Semua itu bertujuan demi membantu pelajar dan mahasiswa meraih kemerdekaan multidimensi tersebut.

 

Inilah paradoks ”merdeka” dari proses budaya/penghabitusan pendidikan yang memangku pengajaran. Yang harus dicamkan: pendidikan itu, yang utama, ialah bukan soal kecanggihan alat-alat, tetapi soal olah manusia dan memosisikan nilai-nilai kemanusiaan vis-a-vis lingkungan hidupnya. Maka, cara pendekatan dan kerja, perencanaan, dan eksekusi yang dipimpin Mas Menteri Nadiem Makarim, sebagai dirigen mewujudkan kemerdekaan di bidang pendidikan dan riset, inilah yang harus diwarisi dan ditiru, dari semangat dan inspirasi Sumpah Pemuda.

 

Hal itu juga berlaku bagi beliau dan komite resmi, para pakar, dan para suhu pendidikan dan riset terbaik representasi Indonesia, untuk merancang dan mengawal transformasi pendidikan, olah budaya, dan riset, termasuk memproses RUU Sisdiknas. Dalam komite itu, bijaksana ditambah perwakilan agama-agama, ahli difabel, perempuan, dan masyarakat adat, yang jumlahnya secara sangat terbatas, yang sudah lama berjasa menyelenggarakan lembaga pendidikan, budaya, dan riset. Diperlukan juga satu-dua ahli menata birokrasi administrasi pendidikan, budaya, dan riset, digital dan nondigital, yang punya semboyan ”kalau dapat dipermudah mengapa harus dipersulit”, ahli budgeting dan forecasting yang punya tabiat teliti-adil-inklusif, serta ahli drafting hukum.

 

Rumus wartawan plus

 

Dalam merangkai proses transformasi dan pembaruan pendidikan, budaya, dan riset yang memang kita tunggu-tunggu sudah lama, selain keberanian kaum muda, secara sederhana dituntun oleh kerja wartawan plus. Dalam setiap tahapan membuat kebijakan dan RUU Sisdiknas, jangan lupa, kalau draf pertama selesai, harus diujikan kepada pengguna dari bawah, baru berkulminasi pada draf akhir yang diajukan ke DPR.

 

Hal itu dilakukan dengan panduan proses rumus wartawan plus (5W+1H Plus), yaitu apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, bagaimana, dengan siapa, dari siapa, oleh siapa, dan untuk siapa. Dengan visi tujuan, dasar filsafat, latar sejarah pergulatan eksistensi negara dan bangsa, prinsip-prinsip nilai luhur yang diadopsi, pendekatan sosial psikologi, metode belajar-mengajar yang eksploratif, berbasis masalah, eksperiensial kontekstual, basis riset, dalam rangka pendidikan (bdk RUU Sisdiknas, penjelasan Pasal 81 Ayat 3).

 

Serial unsur-unsur pendidikan tersebut dilengkapi dengan kurikulum dan evaluasi/asesmen kependidikan serta proses pembelajaran, dari pelajar dan mahasiswa mengenali diri kemampuan dan potensi; tersedianya fasilitas keras-lunak infrastruktur, untuk pengayaan dan mengembangkan diri; kultur lingkungan dan partisipasi masyarakat/orangtua; serta ekosistem nasional/internasional. Di mana kapabilitas guru-dosen dan lembaga pendidikan dan pelatihannya, kemampuan dan keramahan lembaga/yayasan, dan dukungan serta kahadiran pegayom negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, menjadi utama.

 

Dari situlah akan dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etika moral. Dengan kata lain, apakah sistem pendidikan nasional kita sudah berdasar Pancasila, berpandukan UUD 1945, bersejarahkan perjuangan kemerdekaan, termasuk ajaran baik para pendiri serta pemikir bangsa dalam bidang pendidikan? Misalnya nama-nama KH Ahmad Dahlan, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, RA Kartini, HR Rasuna Said, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, Frans van Lith, dan Ki Hadjar Dewantara, mesti menjadi panutan.

 

RUU Sisdiknas

 

Beberapa hal krusial mendasar dari membaca draf RUU Sisdiknas, dapat saya sampaikan di sini.

 

Pertama, menilik alasan dikeluarkannya draf RUU Sisdiknas adalah karena UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No 12/2012 tentang Perguruan Tinggi perlu ”disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan pendidikan nasional” (draf RUU Sisdiknas, Agustus 2022). Ini menimbulkan pertanyaan mendasar.

 

Bukankah alasan yang lebih tepat ialah ”disesuaikan dengan jiwa Pancasila, semangat UUD 1945, dan perkembangan zaman”? Kalau ”tuntutan perkembangan pendidikan nasional”, ada kesan kebijakan pendidikan Merdeka Belajar dan Kampus Mereka seolah mencari pembenarannya pada RUU Sisdiknas, bukan karena diturunkan, seturut hierarki hukum, dari UUD 1945, termasuk di dalamnya Preambule dan Pancasila.

 

Kedua, penggunaan dan urutan nomenklatur 1950, ketika Dr Bahder Johan menjabat menteri, istilah ”pengajaran pendidikan dan kebudayaan” (PP dan K) dipakai. Itu sudah tepat, karena ”pengajaran” (didaktika) dilaksanakan dalam kerangka ”pendidikan” (pedagogika), bukan sebaliknya. Bab I Pasal 1 Ayat 1 perlu dibalik dan tegaskan karena ”pendidikan” seharusnya mengerangkai ”pengajaran”. Apalagi RUU ini dinamai RUU Sisdiknas, ”sistem pendidikan”, bukan ”sistem pengajaran”.

 

Ketiga, benar menurut pakar dunia pendidikan yang abad lalu sampai kini, seperti John Dewey, Maria Montessori, Jean Piaget, Paulo Freire, Lev Vygotsky, dan Howard Gardner, bahwa pelajar adalah pusat pendidikan dan pengajaran. Maka, rumusan RUU Sisdiknas Pasal 5 Ayat a harus lebih tegas lagi, bukan hanya ”berorientasi pada” pelajar dan mahasiswai, tetapi ”dari, oleh, dan untuk” mereka sehingga mampu bernalar, menganalisis untuk memecahkan masalah (RUU Sisdiknas, penjelasan Pasal 3). Di mana, dalam hal ini, guru dan dosen bersifat membantu (N Driyarkara) atau among/mengasuh (Ki Hadjar Dewantara), dengan welas asih/kasih sayang (YB Mangunwijaya).

 

Keempat, semestinya ke dalam seni mendidik dan mengajar, utamanya oleh guru dan dosen, dipergunakan segala media pembelajaran, bukan hanya mengandalkan kurikulum. Seumpama pertunjukan wayang, karakter wayang dan lakon pakem adalah kurikulumnya, sedangkan seorang dalang adalah yang membuatnya hidup dan berdaya makna dengan kreativitas seni dan keahlian sanggit (interpretasi)-nya.

 

Maka, guru dan dosenlah yang membuat kurikulum jadi hidup dan sukses membantu pelajar dan mahasiswa mencapai tujuan, dengan jiwa, semangat, dan cara pendekatan, wawasan keilmuan, dan seni olah psikologi sosialnya. Terutama, dalam hal seni soft mechanism (dialog, musyawarah) menginternalisasi nilai-nilai Pancasila, etika moral religiositas seturut iman agama masing-masing, berdialog dengan para pelajar dan mahasiswa.

 

Eksplisitasi langkah-langkah konkret dalam RUU Sisdiknas (penjelasan umum) terhadap para guru dan dosen di Indonesia yang majemuk, berlaut dan pulau, negeri dan swasta, baik yang tetap ataupun kontrak, dalam hal dana, pelatihan, pengayaan ilmu dan cara fasilitasi, dan penghargaan setimpal. Cara soft mechanism demikian, bagi tingkat SD, telah diberikan contoh dan praktiknya oleh Sutedja Brajanagara dan L Kartasubrata (1952), sebagai ”Sekolah Rakyat Pancasila” (lihat: Francis Wahono, 2021. Pendidikan yang Memerdekakan, Yogyakarta: Cinde Books, hlm 81-192).

 

Kelima, tujuan pendidikan tinggi janganlah sekadar ”memenuhi kepentingan nasional dan meningkatkan daya saing” (draf RUU Sisdiknas Agustus 2022, Pasal 32). Alangkah tepat dan layak, apabila rumusan yang berbau chauvinisme nasional dan neoliberalisme itu agar konsisten dengan ”menimbang” nomor a sampai d, bijak diganti dengan yang lebih Pancasila dan UUD 1945. Sehingga bunyi lengkap dari tujuan pendidikan tinggi lebih kurang begini: ”memenuhi, cita-cita kemerdekaan, kesejahteraan, keadilan, perdamian dunia, dan pencerdasan bangsa, sebagaimana termaktub dalam Preambule UUD 1945”.

 

Tak jauh berbeda dengan zaman Sumpah Pemuda, hadirnya politik kolonial penjajah Hindia Belanda, dalam menaklukkan bangsa ini, di bawah kaki pencari rente ekonomi, yang haus kuasa dan harta. Mereka cenderung mengadu domba dengan strategi devide et impera (dipecah belah dan kuasailah), hanya kali ini, kaum muda harus berjibaku menyiasati zaman digital, lebih murah, cepat, dan tanpa tedeng aling-aling. Mereka harus menyingkap algoritma hate and hoax dan kedok komoditas SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/26/sumpah-pemuda-dan-paradoks-merdeka-dalam-pendidikan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar