Nasib Planetarium di
Berbagai Kota Dian Yuliastuti : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
LAMPU ruangan bulat
planetarium di area Taman Pintar Yogyakarta mendadak padam. Suasana menjadi
temaram dan langit terlihat dipenuhi ribuan titik yang mengeluarkan cahaya
berpendar. Mereka seolah-olah menikmati suasana di dua waktu, yaitu malam di
dalam planetarium dan pukul 09.30 pagi di luar. “Wah!” demikian teriakan
anak-anak kelas V-VI Sekolah Dasar Negeri Jonggrangan 2, Kecamatan Girimulyo,
Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu, 12 Oktober lalu. Kursi-kursi empuk warna
cokelat yang mereka duduki setengah direbahkan dengan memencet tombol oranye
di sisi kiri-kanan kursi. Dengan duduk agak rebahan, semua mata memandang ke
langit bangunan yang penuh bintang itu. “Saat ini kita sedang menikmati
suasana langit Kota Yogyakarta, Rabu, 12 Oktober 2022, sekitar pukul 19.00
malam nanti,” operator menjelaskan. Tak hanya melihat bintang,
mereka menyaksikan planet-planet yang bertebaran di angkasa. “Planet yang
paling tampak nanti malam adalah Jupiter,” kata operator lagi. Semacam cursor
mengeklik planet kelima yang terdekat dengan matahari itu. Jupiter yang
semula tampak kecil menjadi besar. Anak-anak bisa melihat lekukan-lekukan
juga warna planet itu dengan jelas. Pengunjung juga dikenalkan
kepada penampakan beberapa planet lain, lalu menyaksikan tayangan simulasi
hujan meteor. Mereka juga dijelaskan mengenai perbedaan meteor, meteorit, dan
meteoroid. Dalam pertunjukan 30 menit itu, anak-anak mendapat penjelasan
tentang benda angkasa di tata surya. “Aku mau ke sini lagi,” ujar seorang
bocah kelas VI SD. Kepala Unit Pelaksana
Teknis Taman Budaya Kota Yogyakarta, pengelola Taman Pintar, Retno Yuliani
mengatakan wahana planetarium menjadi salah satu tujuan favorit di tempat
tersebut. Bangunan dome yang berdiameter 11 meter itu diharapkan menjadi
pelepas dahaga pengunjung, baik anak-anak maupun orang dewasa, yang ingin melihat
benda-benda langit pada malam hari. “Terus terang ini
terinspirasi Planetarium Taman Ismail Marzuki. Jadi kami anggap itu guru
kami,” ucap Retno saat ditemui Tempo, Rabu, 12 Oktober lalu. Planetarium
menjadi wahana mengajak anak-anak mencintai sains dengan cara yang
menyenangkan. Planetarium di Taman Pintar diresmikan Menteri Pendidikan
Mohammad Nuh pada 2012. Tempat ini juga pernah dikunjungi Presiden
Bacharuddin Jusuf Habibie bersama cucunya. “Kami pakai proyektor digital dan
itu yang pertama digunakan untuk planetarium di Indonesia,” ucap Retno. Retno menjelaskan, tak ada
program edukasi khusus di wahana ini. Mereka hanya menginformasikan agenda
astronomi terdekat. Pertunjukan biasanya menampilkan suasana langit real time
pada malam hari, berbagai bintang, rasi, planet, dan hujan meteor. Sebelum pandemi merebak,
jumlah pengunjung planetarium diperkirakan 10 persen dari total kunjungan ke
Taman Pintar yang mencapai satu juta pengunjung. Sejak Taman Pintar
dioperasikan kembali pada Oktober 2021, hingga September 2022, jumlah
pengunjung baru berkisar 500 ribu. Bangunan planetarium paling mencolok di
antara wahana edukasi lain di Taman Pintar. Sebelum masuk ke
planetarium, pengunjung diperkenalkan suasana stasiun ruang angkasa seperti
di film Star Trek. Di samping planetarium, terdapat observatorium mini di
seberang pintu wahana. Bangunan tinggi dengan atap setengah terbuka ini
dilengkapi teleskop untuk melihat benda langit di siang hari. “Ya, memang
cuma lihat matahari. Tapi bisa lihat jerawat matahari juga,” ujar Retno. Sejumlah teleskop masih
disimpan. Rencananya teleskop akan digunakan untuk melihat gerhana bulan pada
8 November nanti. Lokasinya di Embung Giwangan yang merupakan Taman Pintar
II, yang akan menjadi taman wisata budaya berbasis teknologi informasi dan
akan diresmikan pada 2024. Di Tenggarong, Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur, sebuah planetarium berdiri di tanah seluas
setengah hektare. Bangunan dua lantai itu mempunyai dua pintu masuk. Di
lantai dasar terdapat galeri foto benda-benda angkasa di tata surya.
Planetarium sendiri berada di lantai dua. Terdapat juga teropong bintang
untuk memantau peristiwa gerhana. Di dalam planetarium
terdapat 91 kursi yang ditata melingkar dalam tiga baris. Di tengahnya
terdapat dua mesin proyektor, yaitu peranti manual berjenis SkyMaster XKP3
dan proyektor otomatis Carl Zeiss yang didatangkan pada 2017 dengan harga per
set mencapai Rp 22 miliar. Sekarang server proyektor otomatis ini rusak
sehingga tak berfungsi. Kesulitan mendapatkan server serta kerusakan VGA dan
harddisk membuat planetarium ini belum bisa dibuka untuk pengunjung. Padahal
jumlah pengunjung tahun ini mencapai 1.000 orang, kebanyakan pelajar di
Kalimantan Timur. Kepala Bidang Pengembangan
Destinasi Pariwisata Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara Muhammad
Ridha mengungkapkan server proyektor rusak lantaran faktor usia dan sudah
saatnya diganti. “Saat ini kami masih mencari persamaan server itu karena
alat-alat itu memang ada lisensi dari Jerman,” ujar Ridha. Selama berdiri sejak 2003,
planetarium ini baru satu kali mengalami pergantian proyektor. “Ini
difungsikan untuk edukasi wisata pendidikan. Ada edukasi yang temanya tata
surya,” katanya. Ridha menjelaskan, tak difungsikannya proyektor selama masa
pandemi menyebabkan sejumlah komponen rusak. Sebelum pandemi menerjang,
beberapa komponen, seperti lensa, lampu, dan server, juga harus diganti
karena sudah uzur. Pihaknya telah menyiapkan anggaran pembelian server
seharga Rp 50 juta, tapi tipe mesinnya tak lagi diproduksi. Saat masih beroperasi,
planetarium ini memutar film tiga dimensi berdurasi 40 menit mengenai edukasi
tata surya dan bintang. Film yang diputar sendiri di antaranya mengenai
Galileo Galilei. Tiket masuk yang dikenakan Rp 15 ribu untuk orang dewasa dan
Rp 10 ribu untuk anak-anak. Dinas setempat berencana menjadikan planetarium
sebagai teater mini bekerja sama dengan perusahaan bioskop selama server
belum diperbaiki. Di Surabaya, planetarium
di Museum Loka Jala Crana, kompleks Akademi Angkatan Laut Bumimoro, selalu ramai
dikunjungi oleh para siswa sekolah. Mereka belajar tentang keantariksaan
dengan proyektor tua buatan Carl Zeiss pada 1968. Di dalam bola bintang ini
tertanam memori 88 rasi bintang. Planetarium ini sejatinya ditujukan sebagai
sarana belajar para taruna Akademi Angkatan Laut untuk mempelajari astronomi. “Meskipun proyektor
planetarium saat ini sudah serba digital, taruna tetap diwajibkan mempelajari
yang manual ini untuk ngeplot (mempelajari arah tujuan kapal dengan
astronomi),” ucap Kepala Bagian Museum Loka Jala Crana Letnan Kolonel
(Khusus) Suhendra, Selasa, 18 Oktober lalu. Mengingat usia proyektor
yang sudah uzur, perawatan setiap hari dilakukan dengan hati-hati oleh
instruktur ahli. Termasuk mengganti optik yang kurang berfungsi, meski
hasilnya tidak sebagus optik aslinya. Tapi hal itu tak mengurangi antusiasme
pengunjung yang rata-rata pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah
menengah atas. Rabu pagi, 19 Oktober lalu, terlihat dua rombongan siswa SMP
dari Surabaya dan Sidoarjo. Setiap rombongan datang mengunjungi museum dan
planetarium menggunakan tiga bus dan enam angkutan kota. “Keunikan proyektor
planetarium ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung,” ujarnya. Selain pelajar SMP dan
SMA, ada pula kalangan mahasiswa dari Institut Sepuluh Nopember dan
Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya. Mereka meneliti planetarium,
teknologi proyektor, dan peralatan lain atau mendalami ilmu falak. Tingkat kunjungan ke
tempat ini, Suhendra menjelaskan, cukup tinggi setiap hari. Bahkan saat sebelum
wabah corona datang jumlah pengunjung pernah mencapai seribu orang. Padahal
kapasitas Planetarium hanya 50 orang. “Akhirnya yang masuk bergiliran 50
orang. Instrukturnya harus berulang-ulang menjelaskan,” tutur Suhendra.
Begitu pandemi mereda, angka kunjungan mulai meningkat meski belum seramai
sebelumnya. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/167231/nasib-planetarium-di-berbagai-kota |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar