Senin, 31 Oktober 2022

 

Kongres Partai Komunis China dan Maknanya bagi Indonesia

Klaus Heinrich Raditio : Pengajar Politik China pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

KOMPAS, 25 Oktober 2022

 

                                                

 

Salah satu tugas utama kongres ini adalah memilih anggota Komite Pusat. Selanjutnya, Komite Pusat memiliki tanggung jawab memilih anggota Politbiro yang umumnya beranggotakan 25 orang, termasuk para pemimpin puncak di Komite Tetap Politbiro yang beranggotakan 7-9 orang.

 

Banyak analisis yang membahas kepemimpinan partai hasil kongres ke-20 ini, antara lain terkait dengan Xi Jinping yang akan mengamankan posisi puncaknya di partai. Demikian juga figur-figur yang akan menduduki posisi dalam Komite Tetap Politbiro. Meski demikian, tak banyak artikel yang membahas dampak dari hasil Kongres PKC tersebut.

 

Domestik: politik, ekonomi

 

Secara umum bisa dikatakan, kelanjutan kebijakan-kebijakan China satu dekade terakhir hendak diamankan dengan menempatkan kembali Xi di posisi puncak.

 

Kevin Rudd, Perdana Menteri Australia (2007-2010, 2013) yang kini menjadi peneliti politik China, dalam artikel di majalah Foreign Affairs (November/Desember, 2022) menggambarkan garis kebijakan Xi cenderung ke kiri (Marxis) untuk urusan politik-ekonomi dan cenderung ke kanan (nasionalistik) untuk kebijakan luar negeri.

 

Penulis sendiri lebih melihat kebijakan politik dan ekonomi Xi sebagai Marxis-Leninis. Melalui prinsip Marxis, kepemimpinan Xi bermaksud mengurangi ketimpangan kesejahteraan di masyarakat China, seperti dirumuskan dalam program ”Kesejahteraan Bersama” (Common Prosperity). Melalui inisiatif ini, PKC bermaksud untuk meningkatkan pendapatan masyarakat tertinggal, penggunaan energi ramah lingkungan, dan akses kesehatan.

 

Selain Marxisme, China juga berlandaskan pada Leninisme yang memberikan peran besar kepada PKC dalam semua aspek masyarakat. Jika pemerataan dan peran negara menjadi ide pokok Marxisme, kendali adalah kata yang dapat merangkum prinsip Leninisme.

 

Dalam dokumen Opini untuk Penguatan Front Kerja Bersatu dari Sektor Ekonomi Swasta di Era Baru yang diterbitkan Komite Pusat PKC, September 2020, ada kecenderungan kuat PKC untuk mengendalikan sektor swasta dalam hal pengelolaan SDM, kepatuhan industri terhadap garis kebijakan partai dan program pemerintah.

 

Singkat kata, dokumen itu berusaha mengendalikan industri swasta agar tak (semata-mata) bekerja berdasarkan sistem pasar, tetapi terutama mengindahkan arahan PKC dalam menjalankan usaha—yang akan berdampak pada menurunnya gairah investor asing menanamkan modal di China.

 

Adopsi sistem pasar dan integrasi ke dalam ekonomi global yang diinisiasi Deng Xiaoping melalui program Reformasi dan Keterbukaan di awal 1980-an tak serta-merta diikuti dengan reformasi politik. Secara fundamental, tak ada perubahan signifikan dalam perubahan sistem politik China.

 

Namun, harus diakui, juga ada perubahan yang cukup signifikan dalam ranah good governance, seperti penegakan hukum, reformasi birokrasi, dan pembangunan manusia.

 

Dari sudut pandang intern PKC, ditetapkan norma pembatasan masa jabatan, usia untuk menjabat, kepemimpinan kolektif dan suksesi yang mulus sejak masa Deng Xiaoping hingga Hu Jintao. Sayangnya, arah itu kurang tampak di periode Xi.

 

Kepemimpinan yang terpusat, pengawasan ketat terhadap pejabat dan masyarakat (seperti tampak dalam kebijakan zero Covid-19 case dan kontrol digital), ideologi politik sebagai panglima alih-alih hukum, dan ketidakjelasan suksesi kepemimpinan menjadi ciri-ciri kepemimpinan periode ini.

 

Setelah Kongres Ke-20 PKC, peran partai dalam mengendalikan semua aspek masyarakat akan kian menguat. Masyarakat China akan menjadi semakin konservatif, demikian juga kritik kepada PKC dan pemerintah akan kian tak ditoleransi.

 

Kebijakan luar negeri

 

Berbeda dengan kebijakan domestik, baik politik maupun ekonomi, yang cenderung semakin kiri (Marxis-Leninis), kebijakan luar negeri atau proyeksi citra China malah cenderung ke kanan (nasionalistik).

 

Selain itu, berbeda dengan kebijakan politik dan ekonomi yang mengalami pergeseran (atau bahkan pembalikan arah) pada masa Xi Jinping, kecenderungan ke kanan merupakan kontinuitas yang konsisten sejak dari era Deng Xiaoping.

 

Kecenderungan ke kanan ini tampak dari redefinisi peran partai sebagai penjaga kebudayaan dan peradaban China.

 

Sejak era Deng Xiaoping hingga sekarang, posisi filsafat Konfusianisme dan pemikiran tradisional semakin terkonsolidasi sebagai bagian dari peradaban China yang dilestarikan oleh PKC.

 

Selain itu, melalui pemikiran Komunitas Masa Depan Bersama untuk Umat Manusia yang diadopsi dalam Konstitusi PKC (2017) dan Konstitusi Negara China (2018), Xi menawarkan perspektif alternatif yang mengkritik pandangan Barat yang eksklusif, zero-sum dan bermentalitas Perang Dingin.

 

Xi berusaha menampilkan China sebagai kekuatan yang berhak menentukan masa depan dunia dengan modal kekayaan filosofis dan moral yang dimiliki peradaban China.

 

Profesor Yan Xuetong dari Tsinghua University dalam bukunya, Leadership and the Rise of the Great Powers, memberikan landasan teoretis untuk kebangkitan China yang dapat diwujudkan melalui kepemimpinan yang bermoral dan kredibel, bukan semata-mata kekuatan militer dan ekonomi. Dari sini, tampaknya China akan berangkat sebagai kekuatan baru yang memberikan keunggulan kompetitif dibandingkan dengan negara-negara Barat yang mapan, tetapi tidak memiliki peradaban panjang dan tidak memimpin dunia secara inklusif.

 

Antisipasi Indonesia

 

China di bawah Xi semakin percaya diri untuk mengambil bagian dalam kepemimpinan dunia.

 

Bagi China, daya tarik Indonesia terletak pada kekayaan sumber daya alam (terutama mineral untuk pengembangan energi terbarukan) dan peran kepemimpinan di ASEAN. Kedua hal ini menjadi sesuatu yang penting dalam hubungan bilateral kedua negara pada masa kepemimpinan Xi Jinping.

 

Indonesia harus berani menuntut komitmen China untuk bertanggung jawab pada pengelolaan lingkungan hidup terkait dengan industri mineral. Kepemimpinan yang bermoral dengan masa depan bersama bagi umat manusia, berarti China berhasil mencapai target 25 persen pembangkit listrik dari energi nonfosil pada 2030.

 

Demikian juga dengan pengolahan limbah pertambangan dari perusahaan China di Indonesia yang ramah lingkungan. Hal yang tak dapat diterima jika China berhasil menekan angka emisi karbon, tetapi Indonesia harus membayar harga kerusakan lingkungan hidup akibat pencemaran limbah industri pertambangan China.

 

Dari segi politik dan keamanan di kawasan, kepemimpinan yang bermoral berarti kepatuhan pada hukum internasional, terutama UNCLOS yang telah diratifikasi China. Kepatuhan terhadap UNCLOS ini harus diwujudkan dalam perilaku China di Laut China Selatan.

 

Perumusan Code of Conduct mesti segera difinalisasi untuk ditaati demi kestabilan dan perdamaian kawasan. Negara yang memiliki legitimasi kepemimpinan moral sewajarnya bertindak berdasarkan peraturan bukan kekuatan.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/24/kongres-partai-komunis-china-dan-maknanya-bagi-indonesia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar