Kongres
Partai Komunis China dan Maknanya bagi Indonesia Klaus Heinrich Raditio : Pengajar
Politik China pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta |
KOMPAS, 25 Oktober 2022
Salah satu tugas utama kongres ini adalah memilih anggota
Komite Pusat. Selanjutnya, Komite Pusat memiliki tanggung jawab memilih
anggota Politbiro yang umumnya beranggotakan 25 orang, termasuk para pemimpin
puncak di Komite Tetap Politbiro yang beranggotakan 7-9 orang. Banyak analisis yang membahas kepemimpinan partai
hasil kongres ke-20 ini, antara lain terkait dengan Xi Jinping yang akan
mengamankan posisi puncaknya di partai. Demikian juga figur-figur yang akan
menduduki posisi dalam Komite Tetap Politbiro. Meski demikian, tak banyak
artikel yang membahas dampak dari hasil Kongres PKC tersebut. Domestik: politik, ekonomi Secara umum bisa dikatakan, kelanjutan
kebijakan-kebijakan China satu dekade terakhir hendak diamankan dengan
menempatkan kembali Xi di posisi puncak. Kevin Rudd, Perdana Menteri Australia (2007-2010,
2013) yang kini menjadi peneliti politik China, dalam artikel di majalah
Foreign Affairs (November/Desember, 2022) menggambarkan garis kebijakan Xi
cenderung ke kiri (Marxis) untuk urusan politik-ekonomi dan cenderung ke
kanan (nasionalistik) untuk kebijakan luar negeri. Penulis sendiri lebih melihat kebijakan politik dan
ekonomi Xi sebagai Marxis-Leninis. Melalui prinsip Marxis, kepemimpinan Xi
bermaksud mengurangi ketimpangan kesejahteraan di masyarakat China, seperti
dirumuskan dalam program ”Kesejahteraan Bersama” (Common Prosperity). Melalui
inisiatif ini, PKC bermaksud untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
tertinggal, penggunaan energi ramah lingkungan, dan akses kesehatan. Selain Marxisme, China juga berlandaskan pada
Leninisme yang memberikan peran besar kepada PKC dalam semua aspek
masyarakat. Jika pemerataan dan peran negara menjadi ide pokok Marxisme,
kendali adalah kata yang dapat merangkum prinsip Leninisme. Dalam dokumen Opini untuk Penguatan Front Kerja
Bersatu dari Sektor Ekonomi Swasta di Era Baru yang diterbitkan Komite Pusat
PKC, September 2020, ada kecenderungan kuat PKC untuk mengendalikan sektor
swasta dalam hal pengelolaan SDM, kepatuhan industri terhadap garis kebijakan
partai dan program pemerintah. Singkat kata, dokumen itu berusaha mengendalikan
industri swasta agar tak (semata-mata) bekerja berdasarkan sistem pasar,
tetapi terutama mengindahkan arahan PKC dalam menjalankan usaha—yang akan
berdampak pada menurunnya gairah investor asing menanamkan modal di China. Adopsi sistem pasar dan integrasi ke dalam ekonomi
global yang diinisiasi Deng Xiaoping melalui program Reformasi dan
Keterbukaan di awal 1980-an tak serta-merta diikuti dengan reformasi politik.
Secara fundamental, tak ada perubahan signifikan dalam perubahan sistem
politik China. Namun, harus diakui, juga ada perubahan yang cukup
signifikan dalam ranah good governance, seperti penegakan hukum, reformasi
birokrasi, dan pembangunan manusia. Dari sudut pandang intern PKC, ditetapkan norma
pembatasan masa jabatan, usia untuk menjabat, kepemimpinan kolektif dan
suksesi yang mulus sejak masa Deng Xiaoping hingga Hu Jintao. Sayangnya, arah
itu kurang tampak di periode Xi. Kepemimpinan yang terpusat, pengawasan ketat
terhadap pejabat dan masyarakat (seperti tampak dalam kebijakan zero Covid-19
case dan kontrol digital), ideologi politik sebagai panglima alih-alih hukum,
dan ketidakjelasan suksesi kepemimpinan menjadi ciri-ciri kepemimpinan
periode ini. Setelah Kongres Ke-20 PKC, peran partai dalam
mengendalikan semua aspek masyarakat akan kian menguat. Masyarakat China akan
menjadi semakin konservatif, demikian juga kritik kepada PKC dan pemerintah
akan kian tak ditoleransi. Kebijakan luar negeri Berbeda dengan kebijakan domestik, baik politik
maupun ekonomi, yang cenderung semakin kiri (Marxis-Leninis), kebijakan luar
negeri atau proyeksi citra China malah cenderung ke kanan (nasionalistik). Selain itu, berbeda dengan kebijakan politik dan
ekonomi yang mengalami pergeseran (atau bahkan pembalikan arah) pada masa Xi
Jinping, kecenderungan ke kanan merupakan kontinuitas yang konsisten sejak
dari era Deng Xiaoping. Kecenderungan ke kanan ini tampak dari redefinisi
peran partai sebagai penjaga kebudayaan dan peradaban China. Sejak era Deng Xiaoping hingga sekarang, posisi
filsafat Konfusianisme dan pemikiran tradisional semakin terkonsolidasi
sebagai bagian dari peradaban China yang dilestarikan oleh PKC. Selain itu, melalui pemikiran Komunitas Masa Depan
Bersama untuk Umat Manusia yang diadopsi dalam Konstitusi PKC (2017) dan
Konstitusi Negara China (2018), Xi menawarkan perspektif alternatif yang
mengkritik pandangan Barat yang eksklusif, zero-sum dan bermentalitas Perang
Dingin. Xi berusaha menampilkan China sebagai kekuatan yang
berhak menentukan masa depan dunia dengan modal kekayaan filosofis dan moral
yang dimiliki peradaban China. Profesor Yan Xuetong dari Tsinghua University dalam
bukunya, Leadership and the Rise of the Great Powers, memberikan landasan
teoretis untuk kebangkitan China yang dapat diwujudkan melalui kepemimpinan
yang bermoral dan kredibel, bukan semata-mata kekuatan militer dan ekonomi.
Dari sini, tampaknya China akan berangkat sebagai kekuatan baru yang
memberikan keunggulan kompetitif dibandingkan dengan negara-negara Barat yang
mapan, tetapi tidak memiliki peradaban panjang dan tidak memimpin dunia
secara inklusif. Antisipasi Indonesia China di bawah Xi semakin percaya diri untuk
mengambil bagian dalam kepemimpinan dunia. Bagi China, daya tarik Indonesia terletak pada
kekayaan sumber daya alam (terutama mineral untuk pengembangan energi
terbarukan) dan peran kepemimpinan di ASEAN. Kedua hal ini menjadi sesuatu
yang penting dalam hubungan bilateral kedua negara pada masa kepemimpinan Xi
Jinping. Indonesia harus berani menuntut komitmen China untuk
bertanggung jawab pada pengelolaan lingkungan hidup terkait dengan industri
mineral. Kepemimpinan yang bermoral dengan masa depan bersama bagi umat
manusia, berarti China berhasil mencapai target 25 persen pembangkit listrik
dari energi nonfosil pada 2030. Demikian juga dengan pengolahan limbah pertambangan
dari perusahaan China di Indonesia yang ramah lingkungan. Hal yang tak dapat
diterima jika China berhasil menekan angka emisi karbon, tetapi Indonesia
harus membayar harga kerusakan lingkungan hidup akibat pencemaran limbah
industri pertambangan China. Dari segi politik dan keamanan di kawasan,
kepemimpinan yang bermoral berarti kepatuhan pada hukum internasional,
terutama UNCLOS yang telah diratifikasi China. Kepatuhan terhadap UNCLOS ini
harus diwujudkan dalam perilaku China di Laut China Selatan. Perumusan Code of Conduct mesti segera difinalisasi
untuk ditaati demi kestabilan dan perdamaian kawasan. Negara yang memiliki
legitimasi kepemimpinan moral sewajarnya bertindak berdasarkan peraturan
bukan kekuatan. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/24/kongres-partai-komunis-china-dan-maknanya-bagi-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar