Senin, 31 Oktober 2022

 

Muktamar Muhammadiyah dan Nasionalisme Indonesia

Erik Tauvani Somae : Dosen Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Ahmad Dahlan

KOMPAS, 29 Oktober 2022

 

                                                

 

Persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah akan menggelar muktamar yang ke-48 di Surakarta pada 18-20 November 2022. Permusyawaratan tertinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah ini sedianya dilaksanakan pada 2020, tetapi ditunda karena pandemi.

 

Sebagai tuan rumah, Surakarta tengah menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menyambut para muktamirin dan penggembira dari seluruh Indonesia, bahkan dunia. Umat Katolik se-Solo Raya pun menyampaikan kesiapannya untuk turut menyambut, membantu, dan melayani para tamu, saudara dalam kemanusiaan, sebangsa dan se-Tanah Air.

 

Tahun ini merupakan kali ketiga Surakarta menjadi tuan rumah Muktamar Muhammadiyah. Yang pertama, Muktamar tahun 1929, saat itu bernama Congres Moehammadijah dan yang kedua muktamar pada 1985. Surakarta telah menjadi saksi sejarah Muhammadiyah dalam bingkai keislaman dan keindonesiaan.

 

Muktamar dan nasionalisme

 

Muktamar Ke-18 Muhammadiyah di Surakarta diselenggarakan pada 30 Januari hingga 5 Februari 1929, hanya selisih sekitar tiga bulan dengan peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, yang memakai nama Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia itu. Meskipun Congres Moehammadijah 1929 dan Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia 1928 merupakan peristiwa yang berbeda, keduanya membawa napas dan spirit yang sama: nasionalisme Indonesia.

 

Buya Ahmad Syafii Maarif menyebutkan bahwa peristiwa Sumpah Pemuda merupakan upaya penyamaan bahasa dan penyatuan diri dengan meninggalkan nasionalisme lokal menuju nasionalisme Indonesia. Hal ini dipertegas dalam keputusan penting peristiwa tersebut yang menyatakan bahwa putra putri Indonesia bersatu dalam Tanah Air, bangsa, dan bahasa.

 

Sementara itu, nasionalisme Indonesia dalam Muktamar Muhammadiyah di Surakarta pada 1929, di antaranya secara teknis tertuang dalam aturan peserta muktamar agar memakai pakaian tradisional daerah masing-masing dengan tetap menjunjung nilai-nilai Islam. Selain menjadi lebih semarak dan bangga dengan adat budaya setiap daerah, bersaudara dalam perbedaan adalah bagian dari misi dakwah Muhammadiyah yang menggembirakan. Isi dari seruan itu adalah sebagai berikut:

 

”Menjetoedjoei seroean Comite Penerimaan Congres di Solo, kami harap soepaia oetoesan-oetoesan laki-laki memakai pakaian kebesaran tjara negerinja masing-masing jang tidak melanggar Sjara’. Pengoeroes Besar dan Comite poen akan menjamboet dengan gembira dan berpakaian kebesaran djoega, tjara Djogja dan Solo. Jang teroetama dipakai di waktoe Malam Penerimaan dan Hari Tamasj-sja” (Programma dan Agenda Congres Moehammadijah ke-XVIII jang terbesar di Solo 1929) (Najib Burhani).

 

Meskipun Muktamar 1929 dilaksanakan di Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, seruan itu dituliskan dalam bahasa Indonesia yang berbasis kepada kebudayaan Melayu sebagai bahasa pemersatu. Bukan satu hal yang mudah bagi wilayah kepulauan Nusantara yang belum merdeka, melainkan telah menggelorakan semangat nasionalisme Indonesia dengan menghalau sentimen kedaerahan. Pada saatnya, spirit inilah yang mengantarkan pada pintu gerbang kemerdekaan Indonesia.

 

Lantas, apakah spirit nasionalisme di Muktamar Muhammadiyah 1929 ini terpengaruh dengan peristiwa tiga bulan sebelumnya? Sejarah telah mencatat bahwa justru salah satu tokoh penting dalam peristiwa Sumpah Pemuda adalah Kasman Singodimedjo yang kader Muhammadiyah tulen itu. Maka, spirit nasionalisme di Muhammadiyah sebagai upaya integrasi nasional dan wujud cinta Tanah Air adalah bagian penting dari corak Islam berkemajuan di Muhammadiyah.

 

Pada Muktamar 1985, pemberlakuan asas tunggal Pancasila bagi semua ormas juga menjadi sejarah penting bagi Muhammadiyah. Gaya diplomasi kultural Pak AR Fakhruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah kala itu, mampu menembus hati kalangan elite dan alit. Meskipun ada saja yang menolak, jumlahnya tidak sebanding dengan yang setuju. Ibarat pengendara sepeda motor, kata Pak AR, wajib memakai helm. Setelah helm dipakai, kepalanya tidak berubah, kan?

 

Untuk bangsa dan dunia

 

Di atas 17.000 pulau yang membentang dari ujung Sumatera hingga ke ujung Papua dengan keragaman suku, adat, dan budaya, kemudian menyatukan diri menjadi sebuah bangsa besar bernama Indonesia adalah anugerah yang harus dirawat dengan penuh rasa syukur, kesadaran, dan ketulusan yang otentik. Butir ketiga Pancasila yang berada di tengah di antara lima sila lainnya memang mesti diposisikan sebagai penengah yang menyatukan semua golongan.

 

Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah, selain sebagai permusyawaratan akbar persyarikatan, sekaligus sebagai arena perjumpaan bagi jutaan warga Muhammadiyah dari seluruh penjuru Tanah Air, bahkan dunia. Selain warga Muhammadiyah pun turut serta bergembira dalam partisipasi yang bermanfaat. Muhammadiyah turut berperan dalam mempertemukan dan memperkenalkan ragam kebudayaan di tengah semangat kebersamaan. Sama-sama warga persyarikatan, warga Indonesia, dan warga dunia.

 

Selanjutnya, dalam Muktamar Ke-18 Muhammadiyah di Surakarta, tema yang diangkat adalah ”Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta”. Sementara Aisyiyah mengangkat tema ”Perempuan Berkemajuan Mencerahkan Peradaban Bangsa”. Keduanya sungguh kompak dan serasi. Muhammadiyah dan Aisyiyah adalah belahan jiwa yang berjalan seiring seia sekata untuk tujuan yang sama, baldatul thayyibatun wa rabbun ghafur.

 

Wawasan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal telah bersenyawa dalam spirit tema Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah. Di tengah persoalan bangsa dan dunia yang kian pelik, Muhammadiyah senantiasa hadir dan memberikan yang terbaik.

 

Peran di berbagai bidang di dalam negeri itu kini kian luas hingga ke negeri orang dengan pendirian lembaga pendidikan dari level dasar hingga perguruan tinggi. Tentu saja ini bukan hanya menjadi kebanggaan warga persyarikatan, melainkan juga bangsa dan negara. Meskipun jalan terjal dalam setiap perjuangan itu akan selalu ada, Muhammadiyah dan Aisyiyah telah kenyang asam dan garam.

 

Akhirnya, permusyawaratan akbar ini akan menghasilkan keputusan dan rumusan resmi persyarikatan yang membawa kepada pencerahan dan kemajuan bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan. Sejak didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan, memajukan dan menggembirakan adalah karakter khas Muhammadiyah. Selamat bermuktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah yang ke-48 dengan gembira. Semoga lancar, berkah, dan senantiasa mencerahkan. Muhammadiyah dan Aisyiyah, dari Islam untuk bangsa dan dunia.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/27/muktamar-muhammadiyah-dan-nasionalisme-indonesia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar