Muktamar
Muhammadiyah dan Nasionalisme Indonesia Erik Tauvani Somae : Dosen
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Ahmad Dahlan |
KOMPAS, 29 Oktober 2022
Persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah akan
menggelar muktamar yang ke-48 di Surakarta pada 18-20 November 2022.
Permusyawaratan tertinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah ini sedianya dilaksanakan
pada 2020, tetapi ditunda karena pandemi. Sebagai tuan rumah, Surakarta tengah menyiapkan diri
dengan sebaik-baiknya untuk menyambut para muktamirin dan penggembira dari
seluruh Indonesia, bahkan dunia. Umat Katolik se-Solo Raya pun menyampaikan
kesiapannya untuk turut menyambut, membantu, dan melayani para tamu, saudara
dalam kemanusiaan, sebangsa dan se-Tanah Air. Tahun ini merupakan kali ketiga Surakarta menjadi
tuan rumah Muktamar Muhammadiyah. Yang pertama, Muktamar tahun 1929, saat itu
bernama Congres Moehammadijah dan yang kedua muktamar pada 1985. Surakarta
telah menjadi saksi sejarah Muhammadiyah dalam bingkai keislaman dan
keindonesiaan. Muktamar dan nasionalisme Muktamar Ke-18 Muhammadiyah di Surakarta
diselenggarakan pada 30 Januari hingga 5 Februari 1929, hanya selisih sekitar
tiga bulan dengan peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, yang memakai nama
Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia itu. Meskipun Congres Moehammadijah 1929
dan Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia 1928 merupakan peristiwa yang berbeda,
keduanya membawa napas dan spirit yang sama: nasionalisme Indonesia. Buya Ahmad Syafii Maarif menyebutkan bahwa peristiwa
Sumpah Pemuda merupakan upaya penyamaan bahasa dan penyatuan diri dengan
meninggalkan nasionalisme lokal menuju nasionalisme Indonesia. Hal ini
dipertegas dalam keputusan penting peristiwa tersebut yang menyatakan bahwa
putra putri Indonesia bersatu dalam Tanah Air, bangsa, dan bahasa. Sementara itu, nasionalisme Indonesia dalam Muktamar
Muhammadiyah di Surakarta pada 1929, di antaranya secara teknis tertuang
dalam aturan peserta muktamar agar memakai pakaian tradisional daerah
masing-masing dengan tetap menjunjung nilai-nilai Islam. Selain menjadi lebih
semarak dan bangga dengan adat budaya setiap daerah, bersaudara dalam
perbedaan adalah bagian dari misi dakwah Muhammadiyah yang menggembirakan.
Isi dari seruan itu adalah sebagai berikut: ”Menjetoedjoei seroean Comite Penerimaan Congres di
Solo, kami harap soepaia oetoesan-oetoesan laki-laki memakai pakaian
kebesaran tjara negerinja masing-masing jang tidak melanggar Sjara’.
Pengoeroes Besar dan Comite poen akan menjamboet dengan gembira dan
berpakaian kebesaran djoega, tjara Djogja dan Solo. Jang teroetama dipakai di
waktoe Malam Penerimaan dan Hari Tamasj-sja” (Programma dan Agenda Congres
Moehammadijah ke-XVIII jang terbesar di Solo 1929) (Najib Burhani). Meskipun Muktamar 1929 dilaksanakan di Surakarta
sebagai pusat kebudayaan Jawa, seruan itu dituliskan dalam bahasa Indonesia
yang berbasis kepada kebudayaan Melayu sebagai bahasa pemersatu. Bukan satu
hal yang mudah bagi wilayah kepulauan Nusantara yang belum merdeka, melainkan
telah menggelorakan semangat nasionalisme Indonesia dengan menghalau sentimen
kedaerahan. Pada saatnya, spirit inilah yang mengantarkan pada pintu gerbang
kemerdekaan Indonesia. Lantas, apakah spirit nasionalisme di Muktamar
Muhammadiyah 1929 ini terpengaruh dengan peristiwa tiga bulan sebelumnya?
Sejarah telah mencatat bahwa justru salah satu tokoh penting dalam peristiwa
Sumpah Pemuda adalah Kasman Singodimedjo yang kader Muhammadiyah tulen itu.
Maka, spirit nasionalisme di Muhammadiyah sebagai upaya integrasi nasional
dan wujud cinta Tanah Air adalah bagian penting dari corak Islam berkemajuan
di Muhammadiyah. Pada Muktamar 1985, pemberlakuan asas tunggal
Pancasila bagi semua ormas juga menjadi sejarah penting bagi Muhammadiyah.
Gaya diplomasi kultural Pak AR Fakhruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah kala itu,
mampu menembus hati kalangan elite dan alit. Meskipun ada saja yang menolak,
jumlahnya tidak sebanding dengan yang setuju. Ibarat pengendara sepeda motor,
kata Pak AR, wajib memakai helm. Setelah helm dipakai, kepalanya tidak
berubah, kan? Untuk bangsa dan dunia Di atas 17.000 pulau yang membentang dari ujung
Sumatera hingga ke ujung Papua dengan keragaman suku, adat, dan budaya,
kemudian menyatukan diri menjadi sebuah bangsa besar bernama Indonesia adalah
anugerah yang harus dirawat dengan penuh rasa syukur, kesadaran, dan
ketulusan yang otentik. Butir ketiga Pancasila yang berada di tengah di
antara lima sila lainnya memang mesti diposisikan sebagai penengah yang
menyatukan semua golongan. Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah, selain sebagai
permusyawaratan akbar persyarikatan, sekaligus sebagai arena perjumpaan bagi
jutaan warga Muhammadiyah dari seluruh penjuru Tanah Air, bahkan dunia.
Selain warga Muhammadiyah pun turut serta bergembira dalam partisipasi yang
bermanfaat. Muhammadiyah turut berperan dalam mempertemukan dan
memperkenalkan ragam kebudayaan di tengah semangat kebersamaan. Sama-sama
warga persyarikatan, warga Indonesia, dan warga dunia. Selanjutnya, dalam Muktamar Ke-18 Muhammadiyah di
Surakarta, tema yang diangkat adalah ”Memajukan Indonesia, Mencerahkan
Semesta”. Sementara Aisyiyah mengangkat tema ”Perempuan Berkemajuan
Mencerahkan Peradaban Bangsa”. Keduanya sungguh kompak dan serasi.
Muhammadiyah dan Aisyiyah adalah belahan jiwa yang berjalan seiring seia
sekata untuk tujuan yang sama, baldatul thayyibatun wa rabbun ghafur. Wawasan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan
universal telah bersenyawa dalam spirit tema Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dan
Aisyiyah. Di tengah persoalan bangsa dan dunia yang kian pelik, Muhammadiyah
senantiasa hadir dan memberikan yang terbaik. Peran di berbagai bidang di dalam negeri itu kini
kian luas hingga ke negeri orang dengan pendirian lembaga pendidikan dari
level dasar hingga perguruan tinggi. Tentu saja ini bukan hanya menjadi
kebanggaan warga persyarikatan, melainkan juga bangsa dan negara. Meskipun
jalan terjal dalam setiap perjuangan itu akan selalu ada, Muhammadiyah dan
Aisyiyah telah kenyang asam dan garam. Akhirnya, permusyawaratan akbar ini akan
menghasilkan keputusan dan rumusan resmi persyarikatan yang membawa kepada
pencerahan dan kemajuan bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan. Sejak didirikan
oleh Kiai Ahmad Dahlan, memajukan dan menggembirakan adalah karakter khas
Muhammadiyah. Selamat bermuktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah yang ke-48 dengan
gembira. Semoga lancar, berkah, dan senantiasa mencerahkan. Muhammadiyah dan
Aisyiyah, dari Islam untuk bangsa dan dunia. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/27/muktamar-muhammadiyah-dan-nasionalisme-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar