Minggu, 30 Oktober 2022

 

Mengapa Terjemahan Al-Quran Bahasa Indonesia Kaku

Qaris Tajudin :  Wartawan Tempo, Sarjana Hadis dari Universitas Al Azhar Kairo

MAJALAH TEMPO, 30 Oktober 2022

 

 

                                                           

BEBERAPA waktu lalu saya membuat utas di Twitter tentang pengalaman membaca terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris. Menurut saya, terjemahan bahasa Inggris lebih mudah dipahami, kadang lebih puitis, dan lebih terasa kedalaman maknanya.

 

Utas itu disukai oleh lebih dari 20 ribu akun, dicuitkan ulang sebanyak 5.000 kali, dan mendapat ratusan komentar. Sebagian besar merasakan hal yang sama. Hanya satu-dua komentar yang mengatakan sebaliknya.

 

Sebagian komentar menganggap perbedaan ini terjadi karena bahasa Inggris lebih “matang” dan memiliki kosakata lebih banyak hingga mampu menerjemahkan Al-Quran dari bahasa Arab lebih baik. Saya tidak setuju.

 

Tentu saja faktor kekayaan bahasa itu berpengaruh. Tapi, dalam kasus ini, ada masalah lain yang lebih mendasar, yaitu terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia yang kaku itu mencerminkan cara beragama kita yang juga kaku. Artinya, terjemahan dalam bahasa Indonesia sebenarnya berpotensi jauh lebih enak.

 

Ada sejumlah faktor di luar kekayaan bahasa yang berperan. Pertama, ada banyak kata bahasa Arab yang tidak diterjemahkan oleh penerjemah Indonesia. Contohnya, dalam terjemahan Indonesia, kata ghaib dan takwa tidak diterjemahkan. “Kan, kita sudah tahu maknanya karena keduanya sudah menjadi bahasa Indonesia?”

 

Betul. Tapi, meski sudah masuk kosakata Indonesia, makna kata-kata itu (dan banyak kata lain) masih samar untuk banyak orang. Ghaib, misalnya, dalam benak umum ini terkait dengan hal-hal mistis. Kesan ini tidak muncul dalam terjemahan bahasa Inggris yang memakai kata unseen (yang tak terlihat).

 

Contoh lain, kata takwa. Kata ini juga tidak diterjemahkan. Akibatnya, banyak salah persepsi. Selama ini kita menyamakan takwa dengan iman atau bahkan saleh. Dalam terjemahan bahasa Inggris, takwa diartikan mindful. Dalam bahasa Indonesia, kata itu semestinya bisa diterjemahkan dengan “kesadaran” atau “menyadari”. Lebih sederhana dan jelas, bukan?

 

Kadang, dalam terjemahan Inggris, takwa juga diartikan fear (takut), tergantung konteksnya. Jadi arti kata itu memang bisa luas dan beragam. Kedalaman dan keberagaman itu tak muncul saat takwa tidak diterjemahkan.

 

Kedua, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para ulama yang bersusah payah menerjemahkan Al-Quran, ada sejumlah kata yang penerjemahannya berpotensi terasa lebih baik.

 

Misalnya kata muflihun. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, kata ini diterjemahkan sebagai “orang-orang yang beruntung”. Dalam terjemahan bahasa Inggris, kata ini diterjemahkan “who are successful” (mereka yang berhasil/sukses). Beruntung dan sukses bisa memiliki jarak yang jauh. Berhasil atau sukses itu karena ada usaha, sedangkan beruntung lebih karena mendapat luck.

 

Ketiga, soal gaya bahasa yang juga terkesan kaku dan kuno. Beberapa terjemahan, misalnya, masih memakai kata dari masa lalu, seperti “barang siapa”. Hal ini terjadi mungkin karena pendekatan yang dipakai dalam menerjemahkan Al-Quran ke bahasa Indonesia adalah pendekatan hukum (fikih), bukan sastrawi.

 

Akibatnya, banyak hal lolos dari perhatian, misalnya soal bunyi dan rima. Padahal Al-Quran adalah kitab sastra. Al-Quran, sebagai mukjizat, diwahyukan untuk mengalahkan keunggulan karya sastra Arab yang saat itu berada di salah satu puncaknya.

 

Artinya, pendekatan yang dipakai seharusnya adalah pendekatan sastrawi. Pendekatan yang sama diharapkan dipakai saat menerjemahkannya. Tentu tidak ada terjemahan yang bisa menyamai teks aslinya. Karya sastra apa pun, apalagi puisi, tidak bisa “diterjemahkan”. Dalam arti, ada jarak antara teks asli dan terjemahan karena perbedaan bahasa dan budaya. Meski demikian, bukan berarti tidak ada upaya yang bisa dilakukan untuk mendekatkan keduanya.

 

Sebenarnya upaya ini pernah dilakukan, tapi mendapat banyak tentangan. Pada 1977, terjemahan Al-Quran karya H.B. Jassin diterbitkan oleh penerbit Djambatan dan diberi nama Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia.

 

Tapi, kita tahu, Bacaan Mulia ditentang banyak orang. Jassin dianggap tak berhak menerjemahkan karena tidak terlalu paham bahasa Arab dan tidak mengerti ilmu alat. Bahkan judul Bacaan Mulia yang terjemahan dari Al-Quran Al-Karim juga dipermasalahkan.

 

Menurut Mukhtar Luthfi al-Anshari dari Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta, polemik ini muncul karena kebanyakan ulama hanya berpegang pada sebagian kitab tafsir, terutama mengacu pada tafsir Ibnu Katsir. Karena itu, mereka terkejut sewaktu ada terjemahan yang tidak sama dengan aliran standar mereka.

 

Tentu terjemahan Jassin perlu sejumlah perbaikan, tapi polemik puluhan tahun lalu itu membuat banyak orang takut memberi napas pada terjemahan yang lebih lentur. Jadi, sekali lagi, soal terjemahan Al-Quran bukan (hanya) soal kekayaan bahasa, tapi lebih pada kekakuan kita dalam beragama. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/bahasa/167261/mengapa-terjemahan-al-quran-bahasa-indonesia-kaku

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar