Senin, 31 Oktober 2022

 

Lebih Cerdas dalam Protes Perubahan Iklim

Lynda Ibrahim : Konsultan bisnis dan penulis

KOMPAS, 30 Oktober 2022

 

                                                

 

Akhir-akhir ini, beberapa insiden aksi mengagetkan dunia. Semua mengatasnamakan isu-isu penting sebagai landasannya.

 

Sekelompok aktivis membuangi isi botol susu di sejumlah supermarket di Inggris atas nama hak asasi hewan dan kesinambungan alam. Atas nama gerakan anti-energi fosil, sekelompok aktivis menyiramkan sup tomat ke lukisan Vincent van Gogh di Galeri Nasional di London, kelompok lainnya melempari lukisan Claude Monet di Museum Barberini di Potsdam, sedangkan kelompok yang berbeda lagi mengelem diri lalu menumpahkan sup tomat ke lukisan Johannes Vermeer di Den Haag.

 

Bukan cuma kaget, jujur saya bingung faedahnya di mana.

 

Saya sepakat bahwa perubahan iklim yang terjadi sekarang memerlukan perubahan drastis kebijakan pemerintahan dan perilaku individu. Saya juga sepakat kadang perlu protes keras. Tapi keras beda dengan sia-sia. Ketiga aksi di atas bukan hanya salah sasaran, melainkan juga berpotensi mengalienasi lapisan masyarakat yang harusnya dicerahkan.

 

Contoh, soal menumpahkan isi botol susu di supermarket. Inggris sedang dilanda inflasi tinggi yang menyulitkan rakyat biasa membeli bahan makanan, kenapa malah dibuang-buang? Yang akan mengepel lantai supermarket itu juga adalah pegawai terendah yang biasanya imigran. Sementara itu, apa dampak sensasi ini terhadap elite penguasa sistem peternakan modern yang merusak iklim, atau pejabat pemerintah? Tidak ada. Jadi sudahlah pesan tak sampai, penerima dampak aksi malah rakyat kecil.

 

Serupa dengan aksi vandalisasi karya seni. Betul memang kedua mahakarya dilindungi kotak kaca, tetapi aksi begini akan mendorong museum dunia bersiaga melindungi semua karya yang akhirnya menaikkan biaya asuransi dan operasional—berpotensi membuat museum lebih eksklusif saat arah seni sebenarnya lebih inklusif. Pasal kedua, membuang-buang makanan, saat harganya sedang mahal pula! Lebih konyolnya lagi, karena para aktivis ini mengelem tubuh ke dinding di sekitar lukisan, butuh orang lain untuk repot membebaskan mereka menggunakan cairan solusi yang, ironisnya, terbuat dari minyak.

 

Arogan, konyol, ironis, dan sia-sia

 

Sebenarnya banyak cara yang lebih simpatik, minimal tidak mengalienasi, dalam mengampanyekan cara hidup yang lebih berkesinambungan.

 

Dunia mode adalah salah satu yang dikecam pedas karena merayu konsumen untuk membeli pakaian baru setiap musim, padahal produksinya mengisap sumber daya seperti energi dan air. Beberapa tahun terakhir dunia mode bebenah dan mulai mencari metode produksi yang lebih berkesinambungan. Dalam buku Fashionopolis (2019), jurnalis Dana Thomas menjabarkan beberapa ikhtiar yang dilakukan, mulai dari desainer kelas dunia seperti Stella McCartney sampai industri denim Jepang di Kojima untuk menciptakan pakaian berumur panjang dan bergaya klasik demi meredam keinginan berbelanja pakaian baru tiap saat. Slow fashion, bukan fast fashion yang populer sejak awal 2000-an.

 

Di Indonesia, Toton Januar, satu-satunya desainer mode Indonesia yang pernah menang penghargaan Woolmark Asia, sejak 2017 berupaya mendayagunakan material yang sudah tersedia ketimbang memakai bahan baru.

 

Digelar pada Bazaar Fashion Festival baru-baru ini, 90 persen koleksi terbaru Toton menggunakan sisa material dari koleksi sebelumnya, denim bekas pakai yang direkonstruksi, dan bahkan barang bekas rumah tangga, seperti taplak, karpet, dan tirai jendela. Jenama ini juga berhenti memakai kulit binatang. Kepiawaian desain Toton membuat koleksi terbaru ini tetap berkelas dan bergaya, terlihat dari sambutan meriah para undangan saat di akhir pergelaran para model berdiri statis dan penonton diberi kesempatan mengamati desain dari dekat.

 

Sejauh Mata Memandang (SMM) melebarkan ikhtiar lebih jauh dengan mendukung konservasi Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh sejak akhir 2020 dengan berbagai kegiatan. Pada ArtJog 2022, SMM mendirikan instalasi multimedia dan interaktif menggunakan material bekas produksinya, di mana pengunjung digugah untuk meninggalkan pesan pribadi tentang kelangsungan Bumi. Pesan-pesan pengunjung ini dijahitkan ke busana pembuka pergelaran SMM minggu ini di Jakarta Fashion Week ke-15.

 

Di luar dunia mode, ada beberapa ikhtiar untuk kembali ke gaya hidup yang lebih menghargai proses pembuatan dan kualitas ketimbang kepuasan instan. Di bisnis wastra, ada Sekar Kawung, yang walau sempat terhambat pandemi, bersikukuh mengolah tenun dari benang ramah lingkungan melalui program pemberdayaan perempuan di, salah satunya, Tuban. Untuk Hari Batik kemarin, jenama baru Kelir dan ahli batik Zahir Widadi memperkenalkan kembali teknik pewarnaan alami indigo yang didasarkan dari metode lawas pembatik Pekalongan. Lebih jauh ke hulu ada Asia Pacific Rayon yang menawarkan viscose rayon, serat selulosa yang lebih ramah lingkungan dalam rantai produksinya.

 

Bukan hanya sandang, melainkan juga papan. Untuk lantai rumah, ada Tegel Kunci di Yogyakarta yang melestarikan proses produksi bertahap yang mengandalkan kerja tangan dan sinar matahari sebagai alternatif terhadap keramik modern pabrikan.

 

Tentu mudah menyinisi ini semua sebagai trik berjualan. Saya pun tak buta menjamurnya label eco-friendly yang acap dipakai sebagai dalih harga premium. Di sisi lain saya percaya keniscayaan skala dan momentum—mendukung ikhtiar seperti ini dalam jangka panjang akan menciptakan momentum dan menormalisasi kebiasaan baru, yang ujungnya membangun pasar. Walau tak dalam skala industri massal seperti sekarang, model bisnis berkesinambungan yang tetap terjangkau bagi khalayak ramai memungkinkan dibentuk dalam jangka panjang, semoga sebelum kerusakan Bumi kian parah. Kita bisa sinis dan mengalienasi, atau mendukung ikhtiar yang ada sambil mengubah praktik hidup pribadi.

 

Protes atas kerusakan iklim memang penting. Protes keras diperlukan di saat genting. Tapi ada pilihan jalan untuk protes tanpa merusak mahakarya seni atau membuangi makanan di saat inflasi atau paceklik. Please-lah.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/29/lebih-cerdas-dalam-protes-perubahan-iklim

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar