Catatan Pinggir
Sejarah Bahasa
Indonesia: Hibriditas Goenawan Mohamad : Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
BAHASA Indonesia tak punya
pangkal yang jelas, tak punya asal-usul yang pasti—dan saya bersyukur karena
itu. Kita mungkin tak perlu, dan tak akan pernah, tahu kapan bahasa itu
lahir. Mungkin ia dilahirkan berkali-kali. Yang pasti bukan 28 Oktober 1928. Ada sepotong pantun: Dunia
ini pang mantaganta Ibarat
Noraka pakkasiatta Hidup
tersiksa ri tomo butta Terombang-ambing
ri jene matta Dunia
tempat kita ada Serasa
ibarat neraka Hidup
yang di dunia ini tersiksa Terombang-ambing
berair mata Bait murung itu separuhnya
dalam bahasa Makassar, ditulis mungkin pada 1920-an, oleh Ang Bang Tjiong,
penyair yang meninggal pada usia muda di tahun 1938. Ia dikenal sebagai
penulis pantun “Melayu-Makassar”. Karyanya dimasukkan ke kategori “budaya
Tionghoa”, tapi kita tahu, kategori tak pernah memadai. Bahasa yang dipakai
Ang Bang Tjiong menunjukkan ciri utama apa yang kemudian diberi nama “bahasa
Indonesia”: hibriditas. Ketika masih bernama
bahasa “Melayu”, ia tak berasal di sebuah negeri. Dalam sebuah buku yang
terbit pada abad ke-17, orang Jerman yang bekerja untuk VOC dan menjelajah ke
pelbagai bagian Asia Timur, Johan Nieuhof, menulis bahwa ia menemukan sebuah
bahasa di Malaka; bahasa itu “tersusun dari kata yang terbaik dan terpilih
dari banyak bahasa”. Tentu saja ia salah. Yang
membentuk bahasa itu bukan “kata yang terbaik dan terpilih” dari
bahasa-bahasa lain. Tak ada ukuran yang jelas dan konsisten untuk menentukan
“yang terbaik”. Bahasa terbentuk tanpa kriteria; ia tumbuh melalui ujaran
yang paling efektif. Tapi Nieuhof juga benar. Ia telah melihat: yang kemudian
disebut “bahasa Indonesia” terbangun dari banyak penjuru. Sampai hari ini. Bahasa Melayu itu kuat dan
juga lemah, tulis Henk Maier, ilmuwan Belanda yang menelaah sastra dan bahasa
di dua sisi Nusantara sejak Sejarah Melayu sampai dengan Pramoedya Ananta
Toer. Bahasa itu “kuat dalam kesanggupannya menarik minat yang aktif dari
mereka yang juga menggunakan ‘bahasa’ lain”. Tapi juga “lemah”. Saya kutip
Maier dari “Stammer and the Creaking Door” dalam Clearing a Space yang
disusun Keith Foulcher dan Tony Day: bahasa ini lemah karena ia “kurang
memiliki titik berat yang dapat menjadi satu standar dan satu kanun”. Dengan kata lain, dalam
sejarah sosial-politik bahasa ini, kita tak menemukan pusat yang bisa
memberinya satu acuan. Tak ada sebuah istana, misalnya, di mana berlaku
ketentuan cara bertutur yang memperlihatkan tinggi-rendahnya kelas seseorang,
di mana “bahasa menunjukkan bangsa”. Tak ada lapisan pakar, akademikus, dan
pujangga yang memberi tata dan arah, meskipun pernah dicoba ditegakkan. Dalam bahasa Indonesia,
Revolusi 1945 telah mengguncang tata dan arah—menghantam hierarki. Di
Malaysia, misalnya, seorang menteri di depan Sultan akan menyebut diri
“patik”—bahasa merendah tanda beradab—sedangkan dalam bahasa Indonesia dengan
tanpa terkejut kita temukan Chairil Anwar menulis, pasca-Agustus 1945: Ayo!
Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji Aku
sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang
atas apimu, digarami oleh lautmu Chairil bukan orang
pertama yang memanggil sang pemimpin “bung”. Kata ini menandai getar
kemerdekaan: revolusi adalah événement ketika subyek lahir bak sebuah
letupan. Sebuah dunia yang egaliter pun terbangun. “Aku”, “kau”, “bung”.… Kata “bung” berkembang
dari broer, dari bahasa Belanda yang berarti “saudara lelaki”, yang jadi
sengau sebagaimana diucapkan dalam dialek Ambon di Jakarta. Ia diadopsi dalam
kebebasan ketika sebuah identitas tak mau menutup diri: sebuah proses
hibrida. Chairil Anwar menegaskan
ini. Dalam sajak “Buat Gadis Rasid”, misalnya: Mari
kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati Terbang mengenali
gurun, sonder ketemu, sonder mendarat – the only possible
non-stop flight Ketika sang penyair tak
canggung menyelipkan kiasan Inggris di sajaknya, ia membangun hibriditas
dengan leluasa. Dalam arti tertentu,
hibriditas memang menandai pembebasan dari wacana yang membatasi dan
menegaskan identitas sosial dan hierarkinya—sebuah narasi penjajahan. Seperti
disimpulkan Homi Bhabha dari pengalaman kolonialisme di India: kekuatan
hibriditas membuat mereka yang terjajah sanggup menantang perbatasan wacana,
“the boundaries of discourse”. Wacana penjajahan telah membatasi “aku” dan
“yang lain”, memisahkan “Ambon” dan “bukan-Ambon”, politik divide et impera
yang membagi-bagi kita agar mudah dikuasai. Syahdan: 28 Oktober 1928,
sejumlah pemuda dengan gagah memilih bahasa Indonesia—nama baru yang melintas
batas untuk bahasa “Melayu”—sebagai bahasa persatuan. Di saat itu, mereka
tunjukkan kekuatan hibriditas. Syahdan: Maret 1932, di
Kutaraja, orang berhimpun memprotes keputusan pemerintah Hindia Belanda yang
menetapkan agar sekolah menggunakan bahasa daerah, bukan bahasa Indonesia;
juga di Padang dan di Surakarta. Kita sering melupakan itu.
● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/catatan-pinggir/167209/sejarah-bahasa-indonesia-hibriditas |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar