Senin, 31 Oktober 2022

 

Tiga Kerangka dari Tragedi Kanjuruhan

Ashadi Siregar

KOMPAS, 24 Oktober 2022

 

                                                

 

Begitulah untuk peristiwa Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022). Laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya yang digelar malam hari tidak prioritas untuk koran esoknya. Siapa menyangka pertandingan itu berujung tragedi yang merenggut ratusan jiwa. Hari berikutnya di koran Kompas edisi Minggu belum ada beritanya.

 

Namun, di kompas.id, sejak Minggu (2/10/2022) pukul 01.53, peristiwa itu terberitakan. Dalam sehari itu, 21 berita terpublikasikan, belum termasuk ”Reportase Langsung” yang sudah keluar mulai sekitar pukul 07.26 bersifat timeline setiap sekitar 10 menit diperbarui. Pada rubrik ini, tidak kurang dari 47 informasi terpublikasikan sampai petang.

 

Menyusul pada Senin (3/10/2022), koran Kompas terbit dengan warna hitam di halaman depan, dengan daftar korban yang sudah teridentifikasi (nama, umur, jender), berjudul utama ”Tragedi”. Berita utama itu dilengkapi dua judul: ”Tragedi Kanjuruhan, Kala Sepak Bola Bersulih Nestapa” dan ”Semoga Tragedi yang Terakhir”. Halaman dalam juga memuat berita lainnya dan bahkan artikel opini dari penulis luar.

 

Untuk ukuran manajemen keredaksian koran, item berita dan opini Senin itu tergolong cepat. Namun, mengejar kecepatan dengan ketergesaan, potensial menimbulkan ketidakpuasan. Menyebut suporter Aremania tidak puas dan menyerbu ke lapangan, misalnya, oleh sebagian kalangan dikesankan menyudutkan. Jika demikian yang terjadi, simpati Kompas yang besar terhadap korban dengan menjadikan halaman depan sebagai perkabungan seolah terabaikan.

 

Ombudsman Kompas membahas peristiwa Kanjuruhan ini bersama jajaran keredaksian, Jumat (21/10/2022), yang juga dihadiri Anton Sanjoyo (Joy), mantan jurnalis olahraga Kompas yang dikenal kepakaran dalam persepakbolaan dan kebetulan menjadi anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF). Ada baiknya tulisan Joy selama aktif di Kompas mengenai statuta dan regulasi, standar pertandingan, pembinaan atlet, prinsip fair play, dan lainnya dikumpulkan serta diterbitkan ulang guna dijadikan referensi.

 

Dapat dibilang Kompas sudah mengolah pemberitaan dengan akurat dan lengkap, serta yang penting tidak terjerumus ke sensasionalisme. Apalagi, jika khalayak tak cuma bertumpu pada edisi koran, juga mengikuti kompas.id, ”rasa menyesal”atas judgement pemberitaan Senin itu akan terobati. Begitu pula pemberitaan serial setidaknya sampai Jumat (21/10/2022), saat catatan ini ditulis, menunjukkan Kompas (koran, e-paper, dan kompas.id) memberikan perhatian pada peristiwa ini.

 

Namun, banyaknya item berita tak menjamin khalayak tercerahkan. Lengkap saja tidak cukup sebab khalayak dapat tertimbun dengan item berita yang tidak terorganisasi. Peristiwa tragis yang dialami korban penonton dan polisi di Stadion Kanjuruhan bukan peristiwa olahraga biasa. Pemerintah menempatkannya dalam ranah politik, hukum, dan keamanan mengingat tim pencari fakta diketuai Menko Polhukam. Bagi media tidak lagi semata menjadi urusan Desk Olahraga. Pemerintah membentuk tim pencari fakta guna mengungkap peristiwa di Stadion Kanjuruhan.

 

Temuan TGIPF dapat menjadi bahan pemberitaan bagi media, yaitu tentang penyebab jatuhnya korban, dan rekomendasi pelaksanaan dan prosedur pengamanan pertandingan sepak bola. Namun, duduk perkara tentunya tidak hanya di situ sebab Kompas bukan media humas TGIPF ataupun pemerintah. Dukungan personel keredaksian yang kompeten dapat menghadirkan Kompas dengan liputan komprehensif dalam kasus krusial sesuai dengan visi-misinya sebagai media berorientasi kemanusiaan dan anti-kekerasan.

 

Pemerintah, lembaga warga sipil, dan media menabalkan sebutan tragedi pada peristiwa di Kanjuruhan. Maka, ungkapan ”Tragedi Kanjuruhan” akan menambah daftar panjang fenomena serupa di Indonesia. Bagaimana nantinya penanganan Kanjuruhan ini mengusik ingatan pada tragedi-tragedi lainnya. Kompas diharap tetap sejalan dengan warga sipil dalam mengusut dan mengadvokasi korban dan keluarganya.

 

Sebagai suatu tragedi tentu mengandung unsur drama dengan aktor-aktor yang berperan baik sebagai pelaku maupun korban. Media dapat terjerumus pada dramatisasi yang bertumpu pada sensasi. Mungkin seperti kebiasaan industri media, berita besar akan terlupakan sebab ditimpa peristiwa besar lainnya. Namun, untuk Kanjuruhan hendaknya Kompas menjadikannya sebagai landasan penetapan strategi keredaksian dalam liputan ke depan.

 

Untuk itu, diproyeksikan kerangka besar meliputi tiga hal. Pertama, kesiagaan menghadapi berita besar. Kedua, ihwal persepakbolaan itu sendiri. Ketiga, kekerasan pada massa.

 

Pertama, redaksi senantiasa bersiaga menghadapi berita besar yang datang sewaktu-waktu. Artinya, perlu ada prosedur kerja yang menyangkut kriteria dan anatomi berita besar yang perlu strategi pengerahan personel keredaksian ala ”pasukan” siap siaga, serta pasokan data di markas.

 

Kedua, ihwal persepakbolaan, mengingat Tragedi Kanjuruhan merupakan fakta dari puncak gunung es dari fenomena persepakbolaan Indonesia. Hal demikian mencakup dua sisi. Pertama, menyangkut fasilitas fisik, atlet, dan pengorganisasian. Kedua, publik sebagai konsumen bagi industri persepakbolaan.

 

Untuk itu perlu ditumpukan perhatian terhadap faktor-faktor pendukung, sebaliknya terhadap ancaman bagi terganggunya hak publik mendapatkan pertandingan sepak bola berlandaskan fair play dan fasilitas yang kondusif bagi aktivitas menikmati suatu event.

 

Ketiga, fenomena kekerasan terhadap massa, mengingat kericuhan yang melibatkan kerumunan (crowd) sering terjadi, bukan saja dalam tontonan, juga dalam unjuk rasa. Cukup banyak kasus akibat penanganan aparat keamanan yang eksesif. Pada satu sisi perlu didorong standar prosedur aparat keamanan yang humanis. Di sisi lain, korban akibat kekerasan baik dari Kanjuruhan maupun kekerasan aparat keamanan yang pernah terjadi perlu mendapat perhatian Kompas.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/23/tiga-kerangka-dari-tragedi-kanjuruhan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar