Tiga
Kerangka dari Tragedi Kanjuruhan Ashadi Siregar |
KOMPAS, 24 Oktober 2022
Begitulah untuk peristiwa Stadion Kanjuruhan,
Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022). Laga Arema FC melawan
Persebaya Surabaya yang digelar malam hari tidak prioritas untuk koran
esoknya. Siapa menyangka pertandingan itu berujung tragedi yang merenggut
ratusan jiwa. Hari berikutnya di koran Kompas edisi Minggu belum ada
beritanya. Namun, di kompas.id, sejak Minggu (2/10/2022) pukul
01.53, peristiwa itu terberitakan. Dalam sehari itu, 21 berita
terpublikasikan, belum termasuk ”Reportase Langsung” yang sudah keluar mulai
sekitar pukul 07.26 bersifat timeline setiap sekitar 10 menit diperbarui.
Pada rubrik ini, tidak kurang dari 47 informasi terpublikasikan sampai petang. Menyusul pada Senin (3/10/2022), koran Kompas terbit
dengan warna hitam di halaman depan, dengan daftar korban yang sudah
teridentifikasi (nama, umur, jender), berjudul utama ”Tragedi”. Berita utama
itu dilengkapi dua judul: ”Tragedi Kanjuruhan, Kala Sepak Bola Bersulih
Nestapa” dan ”Semoga Tragedi yang Terakhir”. Halaman dalam juga memuat berita
lainnya dan bahkan artikel opini dari penulis luar. Untuk ukuran manajemen keredaksian koran, item
berita dan opini Senin itu tergolong cepat. Namun, mengejar kecepatan dengan
ketergesaan, potensial menimbulkan ketidakpuasan. Menyebut suporter Aremania
tidak puas dan menyerbu ke lapangan, misalnya, oleh sebagian kalangan
dikesankan menyudutkan. Jika demikian yang terjadi, simpati Kompas yang besar
terhadap korban dengan menjadikan halaman depan sebagai perkabungan seolah
terabaikan. Ombudsman Kompas membahas peristiwa Kanjuruhan ini
bersama jajaran keredaksian, Jumat (21/10/2022), yang juga dihadiri Anton
Sanjoyo (Joy), mantan jurnalis olahraga Kompas yang dikenal kepakaran dalam
persepakbolaan dan kebetulan menjadi anggota Tim Gabungan Independen Pencari
Fakta (TGIPF). Ada baiknya tulisan Joy selama aktif di Kompas mengenai
statuta dan regulasi, standar pertandingan, pembinaan atlet, prinsip fair
play, dan lainnya dikumpulkan serta diterbitkan ulang guna dijadikan
referensi. Dapat dibilang Kompas sudah mengolah pemberitaan
dengan akurat dan lengkap, serta yang penting tidak terjerumus ke
sensasionalisme. Apalagi, jika khalayak tak cuma bertumpu pada edisi koran,
juga mengikuti kompas.id, ”rasa menyesal”atas judgement pemberitaan Senin itu
akan terobati. Begitu pula pemberitaan serial setidaknya sampai Jumat
(21/10/2022), saat catatan ini ditulis, menunjukkan Kompas (koran, e-paper,
dan kompas.id) memberikan perhatian pada peristiwa ini. Namun, banyaknya item berita tak menjamin khalayak
tercerahkan. Lengkap saja tidak cukup sebab khalayak dapat tertimbun dengan
item berita yang tidak terorganisasi. Peristiwa tragis yang dialami korban
penonton dan polisi di Stadion Kanjuruhan bukan peristiwa olahraga biasa.
Pemerintah menempatkannya dalam ranah politik, hukum, dan keamanan mengingat
tim pencari fakta diketuai Menko Polhukam. Bagi media tidak lagi semata
menjadi urusan Desk Olahraga. Pemerintah membentuk tim pencari fakta guna
mengungkap peristiwa di Stadion Kanjuruhan. Temuan TGIPF dapat menjadi bahan pemberitaan bagi
media, yaitu tentang penyebab jatuhnya korban, dan rekomendasi pelaksanaan
dan prosedur pengamanan pertandingan sepak bola. Namun, duduk perkara tentunya
tidak hanya di situ sebab Kompas bukan media humas TGIPF ataupun pemerintah.
Dukungan personel keredaksian yang kompeten dapat menghadirkan Kompas dengan
liputan komprehensif dalam kasus krusial sesuai dengan visi-misinya sebagai
media berorientasi kemanusiaan dan anti-kekerasan. Pemerintah, lembaga warga sipil, dan media
menabalkan sebutan tragedi pada peristiwa di Kanjuruhan. Maka, ungkapan
”Tragedi Kanjuruhan” akan menambah daftar panjang fenomena serupa di
Indonesia. Bagaimana nantinya penanganan Kanjuruhan ini mengusik ingatan pada
tragedi-tragedi lainnya. Kompas diharap tetap sejalan dengan warga sipil
dalam mengusut dan mengadvokasi korban dan keluarganya. Sebagai suatu tragedi tentu mengandung unsur drama
dengan aktor-aktor yang berperan baik sebagai pelaku maupun korban. Media
dapat terjerumus pada dramatisasi yang bertumpu pada sensasi. Mungkin seperti
kebiasaan industri media, berita besar akan terlupakan sebab ditimpa
peristiwa besar lainnya. Namun, untuk Kanjuruhan hendaknya Kompas menjadikannya
sebagai landasan penetapan strategi keredaksian dalam liputan ke depan. Untuk itu, diproyeksikan kerangka besar meliputi
tiga hal. Pertama, kesiagaan menghadapi berita besar. Kedua, ihwal
persepakbolaan itu sendiri. Ketiga, kekerasan pada massa. Pertama, redaksi senantiasa bersiaga menghadapi
berita besar yang datang sewaktu-waktu. Artinya, perlu ada prosedur kerja
yang menyangkut kriteria dan anatomi berita besar yang perlu strategi
pengerahan personel keredaksian ala ”pasukan” siap siaga, serta pasokan data
di markas. Kedua, ihwal persepakbolaan, mengingat Tragedi
Kanjuruhan merupakan fakta dari puncak gunung es dari fenomena persepakbolaan
Indonesia. Hal demikian mencakup dua sisi. Pertama, menyangkut fasilitas
fisik, atlet, dan pengorganisasian. Kedua, publik sebagai konsumen bagi
industri persepakbolaan. Untuk itu perlu ditumpukan perhatian terhadap
faktor-faktor pendukung, sebaliknya terhadap ancaman bagi terganggunya hak
publik mendapatkan pertandingan sepak bola berlandaskan fair play dan fasilitas
yang kondusif bagi aktivitas menikmati suatu event. Ketiga, fenomena kekerasan terhadap massa, mengingat
kericuhan yang melibatkan kerumunan (crowd) sering terjadi, bukan saja dalam
tontonan, juga dalam unjuk rasa. Cukup banyak kasus akibat penanganan aparat
keamanan yang eksesif. Pada satu sisi perlu didorong standar prosedur aparat
keamanan yang humanis. Di sisi lain, korban akibat kekerasan baik dari
Kanjuruhan maupun kekerasan aparat keamanan yang pernah terjadi perlu
mendapat perhatian Kompas. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/23/tiga-kerangka-dari-tragedi-kanjuruhan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar