Senin, 31 Oktober 2022

 

Logika Kompor Induksi

Zainal Arifin : dosen Program Studi Pasca Sarjana di Institut Teknologi PLN dan pengurus Indonesia Strategic Management Society

KOMPAS, 26 Oktober 2022

 

                                                

 

Pakar manajemen perubahan Rhenald Khasali pernah menyatakan bahwa hanya ada dua perubahan besar di Indonesia dalam dekade ini: Perjanjian Helsinki dan konversi Minyak Tanah ke LPG. Perjanjian tahun 2005 tersebut menghentikan pertumpahan darah berpuluh-puluh tahun antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Indonesia sedangkan konversi LPG mematikan konsumsi minyak tanah di Indonesia yang telah digunakan jutaan orang berpuluh-puluh tahun sebelumnya.

 

Konversi LPG secara nasional tersebut dimulai pertengahan tahun 2006 untuk menurunkan beban subsisi minyak tanah yang sudah mencapai Rp 30 triliun saat harga minyak mentah 147 dollar AS per barel. Terlepas dari berbagai masalah terkait distribusi, keamanan dan keselamatan serta efektivitas proses adopsi teknologinya, program tersebut sukses. Perhitungan yang dilakukan pada kurun waktu 2009 hingga 2016, diklaim telah berhasil menghemat hingga Rp 189 triliun dengan jumlah tabung LPG yang beredar lebih dari 140 juta unit.

 

Saking suksesnya adopsi LPG tersebut, pengunaannya meningkat tajam tidak hanya untuk rumah tangga tapi juga UMKM terutama sejak diluncurkannya LPG tabung melon 3kg tahun 2007. Menjadi masalah saat pasokan di dalam negeri tak lagi mencukupi. Impor LPG istiqamah naik dari hanya 69 ribu ton tahun 2006 melonjak lebih dari 6,3 juta ton tahun 2021. Nilai impornya tahun lalu mencapai USD 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun. Celakanya lagi LPG –khususnya tabung melon yang disubsidi- terus menguras kantong APBN sampai Rp 67,62 triliun tahun lalu.

 

Ketergantungan LPG terhadap asing adalah ironi bagi Indonesia yang diklaim kaya sumber energi. Impor LPG yang sebagian besar (57 persen) dari Amerika Serikat itu tentunya tidak menguntungkan Indonesia secara ketahanan nasional. Fluktuasi harga Indonesia Crude Price (ICP) dan nilai tukar rupiah pasti akan menggerus keuangan negara selain beban subsidi yang juga menggunung.

ISMS

 

Tentu saja tidak mungkin mengurangi aktifitas pemakaian energi di masyarakat, yang mungkin adalah mencari teknologi energi alternatif pengganti LPG yang kompetitif berbasis sumber energi setempat.

 

Muncullah program dimethyl ether (DME) pada awal tahun ini. Bahan bakar buatan yang kualitas dan harganya bersaing dengan LPG tersebut akan dibuat di pabrik gasifikasi batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan berkapasitas 1,4 juta ton DME atau setara dengan 1 juta ton LPG. Namun keterbatasan produksi serta waktu konstruksinya, membuat DME masih belum bisa menjadi solusi cepat dan tepat. Maka muncullah solusi kedua, kompor induksi.

 

Berbeda dengan DME, kompor induksi adalah teknologi lama yang sudah diadopsi di berbagai negara terutama yang pasokan listriknya berkecukupan. Pertama kali diperkenalkan di publik Amerika Serikat oleh General Motor pertengahan 1950-an, kompor induksi terus berkembang dengan nilai pasar global mencapai USD 18,67 milliar atau setara dengan Rp 289 triliun di tahun 2020 dan terus tumbuh dengan rata-rata 8,5 perse per tahun.

 

Berbeda dengan manajemen mata rantai dan logistik LPG maupun DME yang bersifat sentralistik, kompor induksi lebih mengarah ke desentralisasi konsumsi energi. Model bisnisnya lebih melibatkan peran konsumen dengan jaringan pasokan yang sangat ramping dan menjangkau lebih dari 99 persen rumah tangga di Indonesia.

 

Distribusi dan perilaku kompor induksi bisa dipantau dan dikendalikan, berbeda dengan LPG yang tidak teridentifikasi transaksinya sehingga menimbulkan subsidi salah sasaran, misalnya. Dengan tersedianya pasokan listrik yang berlebih saat ini, teknologi ini potensial untuk menggantikan LPG. Harga listrik juga lebih stabil karena ditentukan oleh Pemerintah, dibanding harga LPG yang tergantung volatilitas ICP dan nilai kurs rupiah.

 

Harga satuan energi kompor induksi lebih murah dari LPG. Studi ESDM menyatakan bahwa kompor induksi dengan efisiensi 80 persen (dibanding LPG 40 persen) pada saat memasak air 10 liter, biayanya hanya Rp 1.426 dibanding biaya LPG sebesar Rp 2.055. Studi PLN menambahkan bahwa 1 kg LPG setara dengan 7,19 kWh listrik yang seharga Rp 4.000, dibandingkan biaya LPG subsidi sebesar Rp 4.250.

 

Berdasarkan data ini, jika target 15,3 juta orang penerima manfaat kompor induksi tercapai maka pada 2025 akan terjadi penghematan biaya subsidi hingga Rp 8,13 triliun dan terus meningkat hingga Rp 17,13 triliun setiap tahunnya.

 

Asumsi dan perhitungan pengurangan impor LPG tidaklah rumit. Namun jika program konversi mengarah ke penurunan subsisi sekaligus mengatasi kebocoran APBN akibat subsidi tidak tepat sasaran, maka ada pekerjaan besar yaitu bagaimana menggeser pemakaian tabung melon yang sejatinya diperuntukkan untuk kalangan kurang mampu tersebut padahal daya terpasang listrik mereka sangat terbatas.

 

Logika Publik

 

Logika konversi ini terbagi menjadi dua; mengurangi impor LPG dan memangkas subsidi. Karena itu perbandingan keekonomianya perlu dibuat atas empat skenario: pertama adalah kompor induksi dengan tarif listrik non subsidi vs LPG non subsidi; Kedua adalah kompor induksi tarif non subsidi vs LPG subsidi. Ketiga adalah kompor induksi tarif subsidi vs LPG non subsidi dan keempat yaitu kompor induksi tarif subsidi vs LPG subsidi.

 

Jika hanya sekedar mengurangi impor maka skenario 1 dan 3 sudah cukup. Strategi konversi bisa menggunakan model Technology Acceptance Model (TAM) yang diperkenalkan oleh Davis tahun 1989. TAM adalah salah satu model yang paling banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku pengguna teknologi baru.

 

Model ini singkatnya menjelaskan bahwa keinginan untuk memakai suatu teknologi baru sangat tergantung kepada tingkat keyakinan pengguna akan kebergunaan teknologi itu dan seberapa mudah teknologi baru itu dipakai. Ini menjelaskan kenapa restoran-restoran besar dan hotel-hotel Internasional di Indonesia sudah beralih ke kompor induksi; mereka merasakan manfaatnya dan mudah menggunakannya.

 

Terkait logika penurunan subsidi, pertanyaannya adalah pada pelanggan PLN yang manakah konversi ini akan ditargetkan?

 

Hal ini yang sulit karena PLN punya 13 kelas pelanggan. Terkait pelanggan yang disubsidi, PLN jelas ada angkanya; 24,5 juta orang pelanggan 450 VA dan 8 juta dari 35 juta pelanggan 900VA. Apakah pemakai tabung melon bersubsidi persis sama dengan pelanggan PLN yang disubsidi? Bagaimana biaya investasi kompor dan peralatan khusus baru untuk memasak? Kesulitan lainya adalah konversi kompor induksi butuh daya di atas 1000 VA, lantas bagaimana dengan pelanggan kelas 450 dan 900 VA?

 

Selain dukungan skenario 2 dan 4 di atas, dibutuhkan model bisnis baru; tarif listrik tidak linier mengacu ke jenis tarifnya. Untuk pelanggan kompor induksi 450 dan 900 VA misalnya, dayanya bisa dinaikkan sampai 2.200 VA misalnya tapi tarifnya tetap tarif subsidi.

 

Teknologi Disruptif

 

Mempertimbangkan kerumitan tersebut maka logika konversi bisa didekati dengan model Disruptive Innovation-nya Christensen (1995). Teknologi disruptif adalah teknologi yang awalnya menciptakan pasar baru, dan pada saat berikutnya mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya bahkan menggantikan produk atau teknologi terdahulu yang ada di pasar tersebut. Contohnya LPG saat menggantikan minyak tanah dulu.

 

Awalnya, pelanggannya hanyalah segelintir orang yang melek teknologi dan mengutamakan kenyamanandalam keseharian mereka termasuk memasak. Pada tahap awal ini, mayoritas pemakai kompor minyak tanah belum terpengaruh sama sekali. Seiring dengan berhembusnya berita tentang layanan yang lebih baik; harga lebih murah, bisa antar ke rumah serta energinya lebih bersih, para pemakai minyak tanah mulai ramai-ramai mencoba LPG. Di titik ini, pasar yang selama ini ada mulai terganggu. Seiring dengan makin banyaknya pelanggan yang beralih ke LPG saat itu, pangsa kompor minyak tanah makin tergerus bahkan akhirnya hilang.

 

Kompor induksi saat ini bisa jadi teknologi yang masih asing bagi kebanyakan pengguna LPG. Sangat rumit dan harganya masih relatif tinggi sehingga tidak semua orang berminat. Kompor induksi tidak bisa disebut sebagai teknologi disruptif karena belum banyak orang yang punya, belum mengganggu pasar LPG. Akan tetapi, ketika PLN dan perusahaan kompor membuat kompor induksi “baru” yang praktis, murah, aman, bersih dan nyaman, maka ia akan banyak diminati dan pada titik tertentu akan mengganggu pasar LPG yang sudah bertahan sekian puluh tahun.

 

Inovasi disruptif mengembangkan suatu produk atau layanan dengan cara yang tak diduga pasar, umumnya dengan menciptakan jenis konsumen berbeda pada pasar yang baru dan menurunkan harga pada pasar yang lama. Caranya bukan hanya mengandalkan keunggulan teknologi atau produk baru belaka namun melalui perubahan bisnis model. Dalam kasus ini, bisnis model energy terdesentralisasi ala kompor induksiberpotensi menganggu bisnis model energy tersentral di LPG.

 

Akankah kompor induksi menempuh jalur teknologi disruptif dan mengulangi kesuksesan LPG saat menggantikan minyak tanah dulu? Kita lihat seberapa serius pemangku kebijakan khususnya pemerintah untuk ikut mempercepat disrupsi ini melalui regulasi yang mendukung model bisnis baru bagi kompor induksi ini. Bagaimana pendapat Anda?

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/26/logika-kompor-induksi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar