Logika
Kompor Induksi Zainal Arifin : dosen
Program Studi Pasca Sarjana di Institut Teknologi PLN dan pengurus Indonesia
Strategic Management Society |
KOMPAS, 26 Oktober 2022
Pakar
manajemen perubahan Rhenald Khasali pernah menyatakan bahwa hanya ada dua
perubahan besar di Indonesia dalam dekade ini: Perjanjian Helsinki dan
konversi Minyak Tanah ke LPG. Perjanjian tahun 2005 tersebut menghentikan
pertumpahan darah berpuluh-puluh tahun antara Gerakan Aceh Merdeka dengan
pemerintah Indonesia sedangkan konversi LPG mematikan konsumsi minyak tanah
di Indonesia yang telah digunakan jutaan orang berpuluh-puluh tahun
sebelumnya. Konversi
LPG secara nasional tersebut dimulai pertengahan tahun 2006 untuk menurunkan
beban subsisi minyak tanah yang sudah mencapai Rp 30 triliun saat harga
minyak mentah 147 dollar AS per barel. Terlepas dari berbagai masalah terkait
distribusi, keamanan dan keselamatan serta efektivitas proses adopsi
teknologinya, program tersebut sukses. Perhitungan yang dilakukan pada kurun
waktu 2009 hingga 2016, diklaim telah berhasil menghemat hingga Rp 189
triliun dengan jumlah tabung LPG yang beredar lebih dari 140 juta unit. Saking
suksesnya adopsi LPG tersebut, pengunaannya meningkat tajam tidak hanya untuk
rumah tangga tapi juga UMKM terutama sejak diluncurkannya LPG tabung melon
3kg tahun 2007. Menjadi masalah saat pasokan di dalam negeri tak lagi
mencukupi. Impor LPG istiqamah naik dari hanya 69 ribu ton tahun 2006
melonjak lebih dari 6,3 juta ton tahun 2021. Nilai impornya tahun lalu mencapai
USD 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun. Celakanya lagi LPG –khususnya
tabung melon yang disubsidi- terus menguras kantong APBN sampai Rp 67,62
triliun tahun lalu. Ketergantungan
LPG terhadap asing adalah ironi bagi Indonesia yang diklaim kaya sumber
energi. Impor LPG yang sebagian besar (57 persen) dari Amerika Serikat itu
tentunya tidak menguntungkan Indonesia secara ketahanan nasional. Fluktuasi
harga Indonesia Crude Price (ICP) dan nilai tukar rupiah pasti akan menggerus
keuangan negara selain beban subsidi yang juga menggunung. ISMS Tentu
saja tidak mungkin mengurangi aktifitas pemakaian energi di masyarakat, yang
mungkin adalah mencari teknologi energi alternatif pengganti LPG yang
kompetitif berbasis sumber energi setempat. Muncullah
program dimethyl ether (DME) pada awal tahun ini. Bahan bakar buatan yang
kualitas dan harganya bersaing dengan LPG tersebut akan dibuat di pabrik
gasifikasi batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan berkapasitas 1,4 juta
ton DME atau setara dengan 1 juta ton LPG. Namun keterbatasan produksi serta
waktu konstruksinya, membuat DME masih belum bisa menjadi solusi cepat dan
tepat. Maka muncullah solusi kedua, kompor induksi. Berbeda
dengan DME, kompor induksi adalah teknologi lama yang sudah diadopsi di
berbagai negara terutama yang pasokan listriknya berkecukupan. Pertama kali
diperkenalkan di publik Amerika Serikat oleh General Motor pertengahan
1950-an, kompor induksi terus berkembang dengan nilai pasar global mencapai
USD 18,67 milliar atau setara dengan Rp 289 triliun di tahun 2020 dan terus
tumbuh dengan rata-rata 8,5 perse per tahun. Berbeda
dengan manajemen mata rantai dan logistik LPG maupun DME yang bersifat
sentralistik, kompor induksi lebih mengarah ke desentralisasi konsumsi
energi. Model bisnisnya lebih melibatkan peran konsumen dengan jaringan
pasokan yang sangat ramping dan menjangkau lebih dari 99 persen rumah tangga
di Indonesia. Distribusi
dan perilaku kompor induksi bisa dipantau dan dikendalikan, berbeda dengan
LPG yang tidak teridentifikasi transaksinya sehingga menimbulkan subsidi
salah sasaran, misalnya. Dengan tersedianya pasokan listrik yang berlebih
saat ini, teknologi ini potensial untuk menggantikan LPG. Harga listrik juga
lebih stabil karena ditentukan oleh Pemerintah, dibanding harga LPG yang
tergantung volatilitas ICP dan nilai kurs rupiah. Harga
satuan energi kompor induksi lebih murah dari LPG. Studi ESDM menyatakan
bahwa kompor induksi dengan efisiensi 80 persen (dibanding LPG 40 persen)
pada saat memasak air 10 liter, biayanya hanya Rp 1.426 dibanding biaya LPG
sebesar Rp 2.055. Studi PLN menambahkan bahwa 1 kg LPG setara dengan 7,19 kWh
listrik yang seharga Rp 4.000, dibandingkan biaya LPG subsidi sebesar Rp
4.250. Berdasarkan
data ini, jika target 15,3 juta orang penerima manfaat kompor induksi
tercapai maka pada 2025 akan terjadi penghematan biaya subsidi hingga Rp 8,13
triliun dan terus meningkat hingga Rp 17,13 triliun setiap tahunnya. Asumsi
dan perhitungan pengurangan impor LPG tidaklah rumit. Namun jika program
konversi mengarah ke penurunan subsisi sekaligus mengatasi kebocoran APBN
akibat subsidi tidak tepat sasaran, maka ada pekerjaan besar yaitu bagaimana
menggeser pemakaian tabung melon yang sejatinya diperuntukkan untuk kalangan
kurang mampu tersebut padahal daya terpasang listrik mereka sangat terbatas. Logika
Publik Logika
konversi ini terbagi menjadi dua; mengurangi impor LPG dan memangkas subsidi.
Karena itu perbandingan keekonomianya perlu dibuat atas empat skenario:
pertama adalah kompor induksi dengan tarif listrik non subsidi vs LPG non
subsidi; Kedua adalah kompor induksi tarif non subsidi vs LPG subsidi. Ketiga
adalah kompor induksi tarif subsidi vs LPG non subsidi dan keempat yaitu
kompor induksi tarif subsidi vs LPG subsidi. Jika
hanya sekedar mengurangi impor maka skenario 1 dan 3 sudah cukup. Strategi
konversi bisa menggunakan model Technology Acceptance Model (TAM) yang
diperkenalkan oleh Davis tahun 1989. TAM adalah salah satu model yang paling
banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku pengguna teknologi baru. Model
ini singkatnya menjelaskan bahwa keinginan untuk memakai suatu teknologi baru
sangat tergantung kepada tingkat keyakinan pengguna akan kebergunaan
teknologi itu dan seberapa mudah teknologi baru itu dipakai. Ini menjelaskan
kenapa restoran-restoran besar dan hotel-hotel Internasional di Indonesia
sudah beralih ke kompor induksi; mereka merasakan manfaatnya dan mudah
menggunakannya. Terkait
logika penurunan subsidi, pertanyaannya adalah pada pelanggan PLN yang
manakah konversi ini akan ditargetkan? Hal
ini yang sulit karena PLN punya 13 kelas pelanggan. Terkait pelanggan yang
disubsidi, PLN jelas ada angkanya; 24,5 juta orang pelanggan 450 VA dan 8
juta dari 35 juta pelanggan 900VA. Apakah pemakai tabung melon bersubsidi
persis sama dengan pelanggan PLN yang disubsidi? Bagaimana biaya investasi
kompor dan peralatan khusus baru untuk memasak? Kesulitan lainya adalah
konversi kompor induksi butuh daya di atas 1000 VA, lantas bagaimana dengan
pelanggan kelas 450 dan 900 VA? Selain
dukungan skenario 2 dan 4 di atas, dibutuhkan model bisnis baru; tarif
listrik tidak linier mengacu ke jenis tarifnya. Untuk pelanggan kompor
induksi 450 dan 900 VA misalnya, dayanya bisa dinaikkan sampai 2.200 VA
misalnya tapi tarifnya tetap tarif subsidi. Teknologi
Disruptif Mempertimbangkan
kerumitan tersebut maka logika konversi bisa didekati dengan model Disruptive
Innovation-nya Christensen (1995). Teknologi disruptif adalah teknologi yang
awalnya menciptakan pasar baru, dan pada saat berikutnya mengganggu atau
merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya bahkan menggantikan produk
atau teknologi terdahulu yang ada di pasar tersebut. Contohnya LPG saat
menggantikan minyak tanah dulu. Awalnya,
pelanggannya hanyalah segelintir orang yang melek teknologi dan mengutamakan
kenyamanandalam keseharian mereka termasuk memasak. Pada tahap awal ini,
mayoritas pemakai kompor minyak tanah belum terpengaruh sama sekali. Seiring
dengan berhembusnya berita tentang layanan yang lebih baik; harga lebih
murah, bisa antar ke rumah serta energinya lebih bersih, para pemakai minyak
tanah mulai ramai-ramai mencoba LPG. Di titik ini, pasar yang selama ini ada
mulai terganggu. Seiring dengan makin banyaknya pelanggan yang beralih ke LPG
saat itu, pangsa kompor minyak tanah makin tergerus bahkan akhirnya hilang. Kompor
induksi saat ini bisa jadi teknologi yang masih asing bagi kebanyakan
pengguna LPG. Sangat rumit dan harganya masih relatif tinggi sehingga tidak
semua orang berminat. Kompor induksi tidak bisa disebut sebagai teknologi
disruptif karena belum banyak orang yang punya, belum mengganggu pasar LPG.
Akan tetapi, ketika PLN dan perusahaan kompor membuat kompor induksi “baru”
yang praktis, murah, aman, bersih dan nyaman, maka ia akan banyak diminati
dan pada titik tertentu akan mengganggu pasar LPG yang sudah bertahan sekian
puluh tahun. Inovasi
disruptif mengembangkan suatu produk atau layanan dengan cara yang tak diduga
pasar, umumnya dengan menciptakan jenis konsumen berbeda pada pasar yang baru
dan menurunkan harga pada pasar yang lama. Caranya bukan hanya mengandalkan
keunggulan teknologi atau produk baru belaka namun melalui perubahan bisnis
model. Dalam kasus ini, bisnis model energy terdesentralisasi ala kompor
induksiberpotensi menganggu bisnis model energy tersentral di LPG. Akankah
kompor induksi menempuh jalur teknologi disruptif dan mengulangi kesuksesan
LPG saat menggantikan minyak tanah dulu? Kita lihat seberapa serius pemangku
kebijakan khususnya pemerintah untuk ikut mempercepat disrupsi ini melalui
regulasi yang mendukung model bisnis baru bagi kompor induksi ini. Bagaimana
pendapat Anda?● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/26/logika-kompor-induksi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar