Minggu, 30 Oktober 2022

 

Jejak Pengabdian Sunario Sastrowardoyo, Penasihat Kongres Pemuda II

Iswara N Raditya :   Jurnalis Tirto.id

TIRTO.ID, 27 Oktober 2022

 

 

                                                           

Jauh sebelum Indonesia berpeluang menjadi negara utuh yang berdiri sendiri dan berdaulat penuh, Sunario Sastrowardoyo sudah memikirkan konsep yang dirasanya paling tepat untuk wilayah luas yang dulu dikenal sebagai Nusantara itu. Mr. Sunario–begitu ia akrab disapa–berkeyakinan bahwa Indonesia tidak cocok dijadikan sebagai negara federal. Baginya, negara kesatuan adalah yang paling ideal.

 

Namanya dan perannya memang jarang diungkit, tapi Sunario sudah menguraikan pikirannya itu di momen penting Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta. Kala itu, dia diminta jasanya sebagai penasihat panitia dan diberi waktu khusus untuk berpidato.

 

Mengutip pemikiran filsuf Prancis, Ernest Renant, dalam artikel berjudul “Qu'est-ce Qu'une Nation”, Sunario tidak sepakat dengan konsep negara federal dengan memaparkan kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia.

 

Berbicara pada sesi terakhir di depan peserta kongres melalui pidatonya yang bertajuk "Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia”, Sunario berkeyakinan bahwa perbedaan ras, bahasa, agama, kepentingan, hingga melimpahnya sumber daya alam akan membuat bangsa ini lebih kuat jika punya keinginan untuk hidup bersama, atau dalam istilah Renant: le desir de vivre ensemble.

 

Menurut Sunario, sebuah bangsa merupakan hasil masa silam yang penuh usaha, pengorbanan, dan pengabdian. Dengan kata lain, bangsa adalah suatu solidaritas besar yang terbentuk karena adanya kesadaran bahwa orang telah berkorban banyak dan bersedia memberikan pengorbanan yang lebih besar lagi demi kepentingan bersama.

 

Bertolak dari Kongres Pemuda II yang kemudian menghasilkan ikrar Sumpah Pemuda dengan menyepakati “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” itu, apa yang dipaparkan Sunario akhirnya terwujud setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 kendati baru mendapatkan kedaulatan secara penuh sejak 27 Desember 1949.

 

Lalu, bagaimana riwayat dan jejak peran Sunario di alam Pergerakan Nasional hingga Indonesia merdeka?

 

Advokat Pembela Rakyat

 

Sunario Sastrowardoyo lahir di Madiun, Jawa Timur, pada 28 Agustus 1902. Ia anak tertua dari 14 bersaudara. Ditilik nama belakangnya, Sunario terpaut jalinan kekerabatan dengan Dian Sastrowardoyo, salah seorang pelaku seni peran wanita paling mumpuni di Indonesia saat ini. Ya, Dian Sastro merupakan cucu Sumarsono Sastrowardoyo yang tidak lain adalah saudara kandung Sunario, adiknya yang ke-11.

 

Sunario berasal dari keluarga Jawa yang terpandang. Ayahnya, Sutejo Sastrowardoyo, menjabat sebagai wedana (pembantu bupati yang membawahi beberapa camat). Maka tidak heran jika Sunario dan adik-adiknya berkesempatan mengenyam pendidikan yang cukup baik di masa kolonial.

 

Namun, ayah Sunario bukan abdi pemerintah Belanda yang setia. Sutejo Sastrowardoyo bahkan sering berurusan dengan aparat kolonial, terutama terkait krisis air yang kerap melanda Madiun sehingga menyengsarakan petani di daerah itu (Sagimun Mulus Dumadi, 90 Tahun Prof. Mr. Sunario: Manusia Langka Indonesia, 1992:28).

 

Sunario nantinya juga bertindak sama, berkaca dari upaya sang ayah membela rakyat. Seperti dituliskan Asvi Warman Adam dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah (2009:39), setelah memperoleh gelar Meester in de Rechten bidang ilmu hukum dari Universitas Leiden (Belanda) pada akhir 1925, ia pulang ke tanah air sebagai pengacara dan sering mengadvokasi rakyat yang berurusan dengan aparat kolonial.

 

Tak lama setelah kembali ke Indonesia dari Belanda, Sunario juga turut mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927 bersama tokoh-tokoh bangsa lainnya seperti Sukarno, Cipto Mangunkusumo, Raden Mas Sartono, dan Iskak Cokroadisuryo (Nyak Wali Alfa Tirta, Mr. Sartono: Karya dan Pengabdiannya, 1985:59).

 

Memikirkan Bangsa Sedari Muda

 

Sebelum tampil memukau di Kongres Pemuda II pada 1928, Sunario sebenarnya sudah menunjukkan kiprahnya semasa kuliah di Belanda. Ia aktif bersama Indische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia (PI), organisasi para pelajar/mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di negeri kincir angin.

 

Saat itu, Ketua PI adalah Nazir Datuk Pamoentjak (menjabat 1924-1925), Sunario Sastrowardoyo sebagai Sekretaris II, dan Mohammad Hatta –yang kemudian menjadi Ketua PI terlama dari 1926 sampai 1930– adalah Bendahara I (Abdul Rivai, Student Indonesia di Eropa, 2000:278).

 

Terkait konsep bentuk negara, Hatta ternyata berbeda pendapat dengan Sunario kendati keduanya berkarib. Sunario mengakui itu dengan mengungkapkan bahwa Hatta lebih cenderung memilih konsep federasi untuk negara Indonesia kelak, sementara dirinya tetap yakin terhadap negara kesatuan (Zulfikri Suleman, Demokrasi untuk Indonesia, 2010:203).

 

Pemikiran tentang kebangsaan sebenarnya sudah menjadi fokus Sunario semasa di Leiden dan aktif di Perhimpunan Indonesia itu, ketika usianya masih sangat muda, 23 tahun. Ia berandil besar dalam merumuskan Manifesto Politik yang dirilis PI dari Belanda pada 1925.

 

Manifesto Politik PI itu, menurut Sartono Kartodirdjo (dalam Asvi Warman Adam, 2009:38), sebenarnya lebih fundamental dari Sumpah Pemuda tahun 1928. Manifesto Politik 1925 pada intinya berisi prinsip-prinsip perjuangan yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan). Sementara Sumpah Pemuda “hanya” menonjolkan persatuan melalui slogan populer "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa".

 

Sunario Sastrowardoyo adalah satu-satunya tokoh yang terlibat sentral di dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional itu, yakni Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia tahun 1925 serta Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda.

 

Kongres Pemuda II itu sendiri bisa terlaksana berkat perjuangan Sunario. Ia ditugaskan meminta izin kepada pemerintah kolonial agar diperbolehkan menggelar kongres tersebut secara resmi. Meskipun sempat dipersulit dengan berbagai macam alasan, akhirnya izin berhasil didapatkan (Bambang Sularto, Wage Rudolf Supratman, 2012:131).

 

Sunario juga merupakan tokoh kepanduan, ia berusaha keras memupuk rasa kebangsaan kepada generasi muda meskipun masih hidup di alam penjajahan. Sunario memimpin Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (INPO), salah satu organisasi kepanduan yang berpusat di Batavia atau Jakarta (Umasih, Sejarah Pemikiran Indonesia Sampai dengan Tahun 1945, 2006:387).

 

Menlu, Dubes, Hingga Rektor

 

Sunario Sastrowardoyo turut menyangga berdirinya Republik Indonesia sejak awal kemerdekaan. Sempat menjadi anggota, lalu berhimpun di badan pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), ia kemudian dipercaya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) RI sejak 9 April 1957 hingga 10 Juli 1959.

 

Hatta adalah penggagas konsep politik luar negeri yang dianut Indonesia yakni bebas-aktif. Rekan Sunario sejak di Belanda saat sama-sama menjadi aktivis Perhimpunan Indonesia ini merangkap jabatan Wakil Presiden sekaligus Menlu selama masa Republik Indonesia Serikat (RIS) yakni dari 20 Desember 1949 hingga 6 September 1950.

 

Nah, saat giliran Sunario menjabat Menlu, politik bebas-aktif itu dijabarkannya secara nyata. Salah satunya ketika hubungan Indonesia-Australia sedikit memanas terkait persoalan Irian (Papua) Barat (lebih lanjut baca: P.J. Drooglever, Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, 2010).

 

Pada masa Sunario pula, Indonesia menghelat Kongres Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 18-24 April 1955. Selain itu, ia meneken kesepakatan dengan Perdana Menteri RRC, Chou En Lai, pada 22 April 1955, tentang masalah dwi-kewarganegaraan terkait perantauan Cina. Sebelumnya, orang Cina yang datang ke Indonesia bisa mengantongi kewarganegaraan ganda (Sunario Sastrowardoyo, Banteng Segitiga, 1988:89).

 

Setelah pensiun dari kancah politik usai masa tugasnya sebagai Duta Besar RI untuk Inggris purna pada 1961, Sunario mengabdikan dirinya ke dunia pendidikan. Ia adalah guru besar sekaligus rektor Universitas Diponegoro Semarang, juga rektor IAIN Al-Jami'ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah, cikal-bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

Tahun 1974, Sunario ditunjuk untuk ambil bagian dalam Panitia Lima bersama Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, dan A.G. Pringgodigdo. Panitia yang dibentuk oleh pemerintah RI pada masa Presiden Soeharto ini digagas karena saat itu muncul perdebatan mengenai siapa sebenarnya yang telah merumuskan Pancasila.

 

Kebanggaan Dian Sastro

 

Sunario dikaruniai panjang umur, sampai 94 tahun. Dian Sastrowardoyo, sang cucu meskipun bukan turunan langsung, mengaku pernah berjumpa dengan kakak sulung dari kakeknya itu saat dirinya masih anak-anak, dan pemeran sosok Kartini versi layar lebar terbaru ini merasa sangat bangga.

 

"Saya waktu kecil pernah ketemu Eyang Nario. Saya berumur 5 tahun dan beliau sudah tua sekali. Eyang kakung saya (Sumarsono Sastrowardoyo) adiknya yang ke-11, beda usianya jauh sekali," sebutnya melalui Instagram pada peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2016 lalu.

 

“Bangga dan terinspirasi sekali punya eyang seperti beliau. Rasanya ingin saya teruskan perjuangannya, perjuangan kaum muda di zaman mereka,” lanjut Dian Sastro.

 

Sunario Sastrowardoyo meninggal dunia di Jakarta pada 18 Mei 1997, hari ini tepat dua dasawarsa silam, dengan mewariskan jejak pengabdian untuk bangsa dan negara yang teramat panjang.

 

Sumber :   https://tirto.id/jejak-pengabdian-sunario-sastrowardoyo-penasihat-kongres-pemuda-ii-coZu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar