Senin, 31 Oktober 2022

 

Menjaga Bahasa Indonesia

Manneke Budiman : Dosen Universitas Indonesia

KOMPAS, 28 Oktober 2022

 

                                                

 

Ketika Bahasa Indonesia dideklarasikan sebagai ‘bahasa nasional’ pada 28 Oktober 1928, motif utama- nya bukan kultural, yakni untuk mempromosikan atau meresmikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama kelompok -kelompok bangsa yang mendiami Hindia Belanda. Motifnya sangat politis, yaitu untuk menampar penguasa kolonial yang tidak menghendaki apapun yang berbau nasional dan berpotensi menjadi ancaman bagi mereka.

 

Tidak terlalu penting bagi para deklarator bahwa bahasa ‘baru’ itu belum punya sistem gramatika baku atau bahwa kosakatanya merupakan gado-gado berbagai bahasa kepulauan serta dunia.

 

Cukuplah bahwa aksi tersebut sudah mampu membuat Belanda berang sebab memang niatnya adalah subversif, yakni untuk mengusik rust en orde kolonial kala itu.

 

Perlu diingat bahwa hanya dua tahun sebelumnya, pada 1926, penguasa kolonial dihadapkan pada pemberontakan komunis yang tak lagi mengakui keabsahan kekuasaannya di Hindia. Meskipun pemberontakan itu berhasil ditumpas, Belanda menjadi lebih sensitif terhadap gerakan-gerakan perlawanan, baik yang sifatnya bersenjata maupun intelektual.

 

Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu

 

Akibat jangka panjang dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 jauh lebih dirasakan oleh Indonesia pascakolonial daripada oleh penguasa kolonial, yang riwayatnya berakhir secara de facto dengan kekalahannya atas Jepang.

 

Bahasa Indonesia, bagi banyak orang Indonesia, pada dasarnya adalah merupakan bahasa kedua yang proses pembelajarannya secara sistematik baru terjadi di sekolah, bukan di rumah yang pada umumnya masih menggunakan bahasa ibu sebagai sarana komunikasi antaranggota keluarga.

 

Gramatikanya yang tidak kunjung baku, kompleksitas sistem afiksasinya, formasi peristilahannya yang tak kunjung selesai, antara lain, menjadikan proses pemerolehan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, sangat menantang.

 

Saya pribadi merasakan, sewaktu di sekolah dasar dan menengah, sulitnya menguasai Bahasa Indonesia secara mantap, dan saya berkesimpulan bahwa bahasa-bahasa asing, seperti Bahasa Inggris, atau bahkan Bahasa Jerman dan Jepang, masih lebih mudah dipelajari.

 

Nilai-nilai yang saya peroleh untuk mata pelajaran bahasa-bahasa tersebut rata-rata masih lebih baik daripada nilai Bahasa Indonesia saya. Di rumah, orangtua saya berkomunikasi dalam Bahasa Belanda, yang dicampur aduk dengan bahasa China-Peranakan khas Pantura saat berbicara dengan anak-anak mereka.

 

Ketika terjadi lebih banyak perkawinan lintas-suku, dan di rumah sebagian keluarga tidak lagi berkomunikasi dengan bahasa ibu, proses pemerolehan Bahasa Indonesia mulai lebih bergeser menjadi pemerolehan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, tetapi yang mungkin masih hadir secara berbarengan dengan bahasa-bahasa daerah asal kedua orangtua.

 

"Tsunami" kosakata asing

 

Masalahnya, ketika situasinya sudah mulai mencair seperti ini, dunia menjadi kian global, dan arus masuk berbagai bahasa asing melalui media elektronik seperti radio dan televisi juga sulit dicegah.

 

Jadi, sejak usia muda, anak-anak Indonesia telah mengalami ekspose cukup intens pada multilingualitas, di mana Bahasa Indonesia hanyalah salah satunya.

 

Dengan asumsi bahwa, pada saat ini, sudah lebih banyak orang menguasai Bahasa Indonesia, situasinya boleh jadi jauh lebih kompleks daripada yang mungkin kita asumsikan.

 

Variasi derajat penguasaan Bahasa Indonesia bisa sangat beragam, dari yang sangat dominan kelisanannya sampai ke yang “baik dan benar”.

 

Demikian pula derajat konsistensi pemakaiannya dalam komunikasi sehari-hari, dari yang sepenuhnya ‘Indonesia’ sampai ke yang bercampur-baur dengan bahasa daerah dan bahasa asing dalam fenomena alih-kode dan campur-kode.

 

Kerja menanamkan penguasaan dan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar pada tataran pendidikan dasar dan menengah sampai pendidikan tinggi sungguh tidak mudah. Akan tetapi, jangan-jangan ini bukan persoalan khas Bahasa Indonesia saja, melainkan juga dihadapi oleh bahasa-bahasa dunia lain, termasuk Bahasa Inggris, yang telah menjadi bahasa internasional.

 

Para penjaga Bahasa Inggris yang militan merasa cemas bercampur gusar melihat munculnya versi-versi lokal Bahasa Inggris, khususnya di negara-negara Persemakmuran, yang mereka nilai sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan Bahasa Inggris versi resmi.

 

Di mata mereka, persoalannya bukan hidup atau matinya Bahasa Inggris melainkan mempertahankan kemurniannya yang, menurut mereka, tengah terancam oleh keberagaman. Akan tetapi, nyatanya tidak ada kekuasaan cukup besar dari pihak manapun yang sanggup menghentikan atau menghalangi berlanjutnya proses ‘lokalisasi’ Bahasa Inggris itu.

 

“Tsunami’ kosakata asing, serta praktik alih-kode dan campur-kode dalam suatu bahasa ini, tidak heran bila mudah dipahami sebagai semacam ‘pandemi’ yang, jika dibiarkan, akan bisa menyebabkan kematian suatu bahasa. Namun, saya agak skeptis dengan kekhawatiran semacam ini.

 

Sebuah bahasa hanya mati ketika tidak lagi digunakan di dalam situasi komunikasi lisan, seperti halnya yang terjadi pada Bahasa Latin atau Bahasa Sanskrit, misalnya. Matinya bahasa-bahasa kuno itu juga tidak disebabkan oleh banjir bandang pengaruh bahasa-bahasa lain yang menginfeksinya, melainkan lebih karena faktor-faktor politis pada eranya.

 

Bahasa Latin meredup bersamaan dengan jatuhnya kekuasaan imperial Romawi, sementara Bahasa Sanskrit tersingkir dengan datangnya kolonialisme Inggris di India.

 

Bahasa Inggris menjadi lingua franca dunia memang karena imperialisme, tetapi terus berkembang sebagai bahasa internasional sesudah usainya dekolonisasi karena kemampuannya menyerap banyak unsur dari berbagai bahasa. Bahasa Inggris yang ‘baik dan benar’ jangan-jangan kini hanya dipakai oleh siaran berita BBC dan keluarga kerajaan saja.

 

Dalam kenyataannya, Bahasa Inggris dituturkan dengan aneka ragam logat dan juga dalam banyak ‘versi’, yang memperlihatkan telah terjadinya perkawinan antara unsur-unsur global dan lokal.

 

Pekerjaan rumah kita

 

Untuk Bahasa Indonesia, situasinya di dunia pada saat ini justru membesarkan hati. Bahasa Indonesia masuk dalam daftar sepuluh besar bahasa dunia dengan jumlah penutur terbanyak, dan di Asia, Bahasa Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Bahasa Mandarin dan Bahasa Inggris.

 

Selain itu, Indonesia berada pada peringkat kedua negara dengan jumlah bahasa terbanyak di dunia sesudah Papua Niugini. Ke depan, bahasa-bahasa lokal ini, serta berbagai bahasa asing, akan terus memperkaya Bahasa Indonesia, dan hal ini tidak perlu disikapi sebagai pencemaran ataupun perusakan Bahasa Indonesia.

 

Berbagai serapan dan pinjaman, serta fenomena alih-kode dan campur-kode, akan terus mewarnai Bahasa Indonesia, yang jumlah penuturnya juga akan meningkat seiring bertambahnya populasi Indonesia. Namun, jelas bahwa perkembangan ini tidak akan berujung pada kepunahan atau kematian Bahasa Indonesia.

 

Vicky Prasetyo, dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi terkait kehebohan yang ia ciptakan karena caranya berbahasa yang unik, dengan percaya diri menyatakan bahwa hal itu ia lakukan untuk merayakan kemerdekaan, termasuk di dalamnya kemerdekaan berbahasa, yang selama masa penjajahan sangat dikekang.

 

Dalam hal ini, penjagaan berlebihan terhadap Bahasa Indonesia bisa diibaratkan sebagai reproduksi praktik kolonial dalam berbahasa.

 

Maka, Bahasa Indonesia perlu dibiarkan merdeka bertumbuh dari segi penuturnya dan berkembang dari segi kebahasaannya. Bahasa bukan barang statik ataupun stagnan melainkan aspek integral kebudayaan yang akan terus hidup selama komunitas yang menghidupinya tetap ada.

 

Alih-alih memeras otak bagaimana menjaga Bahasa Indonesia, lebih baik mencurahkan energi pada bagaimana cara mengajarkan Bahasa Indonesia dengan tepat di sekolah-sekolah agar penuturnya mampu menggunakannya dengan efektif di berbagai situasi.

 

Ini pekerjaan rumah besar kita semua yang sampai kini belum kunjung tuntas dan beres. Kapankah akan tuntas dan beres? Saat nilai pelajaran Bahasa Indonesia anak-anak kita di sekolah tidak lebih rendah daripada nilai pelajaran bahasa asing (atau bahasa daerah), walaupun mungkin Bahasa Indonesia akan tetap menjadi bahasa kedua bagi sebagian orang Indonesia.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/27/menjaga-bahasa-indonesia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar