Senin, 31 Oktober 2022

 

Supremasi Konstitusi Bahasa Indonesia

Faizin : Dosen Pendidikan Bahasa Universitas Muhammadiyah Malang; Mahasiswa Program Doktor Pendidikan Bahasa Unesa

KOMPAS, 29 Oktober 2022

 

                                                

 

Keberadaan bahasa Indonesia memiliki peranan strategis dalam dinamika mempersatukan suku bangsa. Bahasa menjadi identitas, baik secara personal maupun sosial, sehingga dalam penggunaannya masyarakat akan berusaha mempertahankan identitasnya dengan cara berbahasa yang berbeda dari golongan lain.

 

Penentuan serta penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan menjadi gambaran bagaimana identitas keindonesiaan ini dimunculkan pada saat penjajahan. Hal ini tergambar dalam bait bagian ketiga Sumpah Pemuda yang diikrarkan 94 tahun silam.

 

Sayangnya, banyak di antara kita yang terjebak terhadap seremonial semata manakala masuk pada bulan bahasa ini. Seharusnya ukiran sejarah tersebut dijadikan sebagai refleksi berbagai perubahan perilaku pemuda saat ini.

 

Tema ”Bersatu Membangun Bangsa” untuk tahun ini sewajarnya menjadi kristalisasi semangat nasionalisme dan bentuk jalinan harmonisasi masyarakat Indonesia dengan berbagai perbedaan suku, adat istiadat, dan kebudayaan. Hal ini menjadi penting di tengah disrupsi modernisasi zaman yang menjadikan banyak pemarkah serta berpotensi menjadi pemecah belah antarmasyarakat.

 

Mengembalikan amanat konstitusi

 

Bahasa sebagai identitas menjadi jati diri bangsa sehingga rusaknya bahasa berarti juga rusaknya identitas bangsa. Bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa resmi. Bahasa nasional merujuk kepada fungsi penanda identitas serta sebagai pemersatu. Sementara bahasa resmi merujuk kepada fungsi bahasa sebagai alat dibandingkan sebagai simbol atau identitas.

 

Hal tersebut tertuang dalam Bab XV Pasal 36 UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pascaperistiwa Sumpah Pemuda dan kemerdekaan, negara membentuk konstitusi bahasa sebagai bentuk legitimasi terhadap penyelenggaraan proses kebahasaan. Wujud konstitusi tersebut meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden.

 

Proses pelaksanaan penggunaan bahasa Indonesia seharusnya mengikuti berbagai perwujudan konstitusi tersebut. Adanya UU 1945 yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara menjadi pemrakarsa lahirnya UU No 24/2009. Pasal 3 pada UU tersebut menjelaskan bahwa pengaturan terhadap penggunaan bahasa merupakan bentuk penciptaan terhadap ketertiban dan standardisasi penggunaan bahasa.

 

Sayangnya, dalam UU ini tidak ditegaskan bentuk sanksi pidana maupun sanksi lainnya terhadap pelanggarnya sehingga penerapannya menjadi lemah. Sebagai contoh penggunaan nama bangunan, pemukiman, serta perkantoran yang banyak menggunakan bahasa asing. Padahal, pada Pasal 36 diterangkan bahwa penggunaan nama berbagai hal di atas wajib menggunakan bahasa Indonesia.

 

Tidak cukup hanya itu, pemerintah juga menerbitkan PP No 57/2014 tentang Pengembangan Pembinaan dan Pelindungan Bahasa. Pada Pasal 27, pelindungan bahasa ini dilakukan untuk mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.

 

Sayangnya, wujud tersebut tidak dibarengi dengan pengawasan terhadap peningkatan mutu pengguna bahasa Indonesia di berbagai sektor. Terbukti dalam penelitian yang dilakukan oleh Yulian (2019) dengan temuan kesalahan berbahasa di berbagai media cetak, seperti undangan, spanduk, surat dinas, majalah, dan juga selebaran iklan, ataupun pengumuman di ruang publik. Dengan penyebab utama ialah maraknya penggunaan unsur bahasa asing.

 

Bahkan, pemerintah juga menerbitkan Perpres No 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Pada Pasal 2 ditegaskan bahwa penggunaan bahasa Indonesia harus memenuhi kriteria bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa Indonesia yang baik merujuk terhadap konteks berbahasa yang selaras dengan nilai sosial masyarakat, sedangkan yang benar merujuk terhadap kaidah bahasa Indonesia.

 

Jika hal itu dilakukan, nampaknya akan meminimalkan ujaran kebencian ataupun kejahatan berbahasa lainnya. Sayangnya, data Kementerian Kominfo pada 2018 saja (Siaran Pers No 143/2021) mencatat sebanyak 3.640 kasus ujaran kebencian. Tentu bukan angka yang kecil dalam dimensi kejahatan berbahasa yang dapat menimbulkan konflik di berbagai sektor. Lagi-lagi hal ini terjadi karena lemahnya pelaksanaan berbagai peraturan tersebut.

 

Sebagai bentuk supremasi hukum kebahasaan nampaknya pemerintah harus menerbitkan surat edaran melalui Kemendagri kepada pemerintah daerah atas asas ”Kegentingan yang Memaksa” ataupun perubahan terhadap Permen No 40/2007 tentang Pedoman Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara.

 

Dalam hal tersebut kepala daerah diminta menindak tegas dan menertibkan pelanggar berbagai peraturan kebahasaan. Supremasi konstitusi bahasa ini seharusnya dipahami sebagai bentuk pencegahan terhadap penyalahgunaan penggunaan bahasa sehingga berimplikasi menjaga masyarakat dalam batasan tertentu untuk menjalankan kewajiban penggunaan bahasa negara.

 

Politik bahasa

 

Berbagai kebijakan bahasa di atas dapat dijadikan sebagai bentuk politik bahasa. Hal tersebut sebagai pertimbangan konseptual yang dimaksudkan untuk memberikan berbagai perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan lain yang dapat digunakan sebagai dasar pengolahan dan pemecahan seluruh masalah kebahasaan ke depan.

 

Di Indonesia terdapat tiga jenis bahasa, yakni bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing. Kedudukan serta fungsi dari ketiga bahasa tersebut harus jelas agar penggunaan bahasa di masyarakat bergulir sesuai dengan fungsinya. Bahasa daerah sebagai wujud pelestarian kekayaan budaya Indonesia, bahasa Indonesia sebagai bentuk bahasa resmi, dan bahasa asing sebagai bahasa komunikasi antarbangsa.

 

Dalam hal ini politik bahasa harus mampu menjamin bahasa-bahasa yang berkembang sesuai dengan kedudukan dan fungsi masing-masing. Sampai akhirnya muncul kesadaran bersama di masyarakat Indonesia untuk menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan kedudukan dan fungsinya sehingga adaptasi perkembangan iptek tidak akan berdampak terhadap perubahan perilaku kebahasaan masyarakat.

 

Semoga langkah ini menjadikan refleksi nyata Sumpah Pemuda dan menjadikan bahasa Indonesia bermartabat di Indonesia serta di mata dunia.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/28/supremasi-konstitusi-bahasa-indonesia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar