Supremasi
Konstitusi Bahasa Indonesia Faizin : Dosen
Pendidikan Bahasa Universitas Muhammadiyah Malang; Mahasiswa Program Doktor
Pendidikan Bahasa Unesa |
KOMPAS, 29 Oktober 2022
Keberadaan
bahasa Indonesia memiliki peranan strategis dalam dinamika mempersatukan suku
bangsa. Bahasa menjadi identitas, baik secara personal maupun sosial,
sehingga dalam penggunaannya masyarakat akan berusaha mempertahankan
identitasnya dengan cara berbahasa yang berbeda dari golongan lain. Penentuan
serta penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan menjadi gambaran
bagaimana identitas keindonesiaan ini dimunculkan pada saat penjajahan. Hal
ini tergambar dalam bait bagian ketiga Sumpah Pemuda yang diikrarkan 94 tahun
silam. Sayangnya,
banyak di antara kita yang terjebak terhadap seremonial semata manakala masuk
pada bulan bahasa ini. Seharusnya ukiran sejarah tersebut dijadikan sebagai
refleksi berbagai perubahan perilaku pemuda saat ini. Tema
”Bersatu Membangun Bangsa” untuk tahun ini sewajarnya menjadi kristalisasi
semangat nasionalisme dan bentuk jalinan harmonisasi masyarakat Indonesia
dengan berbagai perbedaan suku, adat istiadat, dan kebudayaan. Hal ini
menjadi penting di tengah disrupsi modernisasi zaman yang menjadikan banyak
pemarkah serta berpotensi menjadi pemecah belah antarmasyarakat. Mengembalikan
amanat konstitusi Bahasa
sebagai identitas menjadi jati diri bangsa sehingga rusaknya bahasa berarti
juga rusaknya identitas bangsa. Bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa
nasional dan sebagai bahasa resmi. Bahasa nasional merujuk kepada fungsi
penanda identitas serta sebagai pemersatu. Sementara bahasa resmi merujuk
kepada fungsi bahasa sebagai alat dibandingkan sebagai simbol atau identitas. Hal
tersebut tertuang dalam Bab XV Pasal 36 UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Pascaperistiwa Sumpah Pemuda dan kemerdekaan, negara membentuk konstitusi
bahasa sebagai bentuk legitimasi terhadap penyelenggaraan proses kebahasaan.
Wujud konstitusi tersebut meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, dan
peraturan presiden. Proses
pelaksanaan penggunaan bahasa Indonesia seharusnya mengikuti berbagai
perwujudan konstitusi tersebut. Adanya UU 1945 yang menjadikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara menjadi pemrakarsa lahirnya UU No 24/2009.
Pasal 3 pada UU tersebut menjelaskan bahwa pengaturan terhadap penggunaan
bahasa merupakan bentuk penciptaan terhadap ketertiban dan standardisasi
penggunaan bahasa. Sayangnya,
dalam UU ini tidak ditegaskan bentuk sanksi pidana maupun sanksi lainnya
terhadap pelanggarnya sehingga penerapannya menjadi lemah. Sebagai contoh
penggunaan nama bangunan, pemukiman, serta perkantoran yang banyak
menggunakan bahasa asing. Padahal, pada Pasal 36 diterangkan bahwa penggunaan
nama berbagai hal di atas wajib menggunakan bahasa Indonesia. Tidak
cukup hanya itu, pemerintah juga menerbitkan PP No 57/2014 tentang
Pengembangan Pembinaan dan Pelindungan Bahasa. Pada Pasal 27, pelindungan
bahasa ini dilakukan untuk mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa
Indonesia. Sayangnya,
wujud tersebut tidak dibarengi dengan pengawasan terhadap peningkatan mutu
pengguna bahasa Indonesia di berbagai sektor. Terbukti dalam penelitian yang
dilakukan oleh Yulian (2019) dengan temuan kesalahan berbahasa di berbagai
media cetak, seperti undangan, spanduk, surat dinas, majalah, dan juga
selebaran iklan, ataupun pengumuman di ruang publik. Dengan penyebab utama
ialah maraknya penggunaan unsur bahasa asing. Bahkan,
pemerintah juga menerbitkan Perpres No 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa
Indonesia. Pada Pasal 2 ditegaskan bahwa penggunaan bahasa Indonesia harus
memenuhi kriteria bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa Indonesia yang
baik merujuk terhadap konteks berbahasa yang selaras dengan nilai sosial
masyarakat, sedangkan yang benar merujuk terhadap kaidah bahasa Indonesia. Jika
hal itu dilakukan, nampaknya akan meminimalkan ujaran kebencian ataupun
kejahatan berbahasa lainnya. Sayangnya, data Kementerian Kominfo pada 2018
saja (Siaran Pers No 143/2021) mencatat sebanyak 3.640 kasus ujaran
kebencian. Tentu bukan angka yang kecil dalam dimensi kejahatan berbahasa
yang dapat menimbulkan konflik di berbagai sektor. Lagi-lagi hal ini terjadi
karena lemahnya pelaksanaan berbagai peraturan tersebut. Sebagai
bentuk supremasi hukum kebahasaan nampaknya pemerintah harus menerbitkan
surat edaran melalui Kemendagri kepada pemerintah daerah atas asas
”Kegentingan yang Memaksa” ataupun perubahan terhadap Permen No 40/2007
tentang Pedoman Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa
Negara. Dalam
hal tersebut kepala daerah diminta menindak tegas dan menertibkan pelanggar
berbagai peraturan kebahasaan. Supremasi konstitusi bahasa ini seharusnya
dipahami sebagai bentuk pencegahan terhadap penyalahgunaan penggunaan bahasa
sehingga berimplikasi menjaga masyarakat dalam batasan tertentu untuk
menjalankan kewajiban penggunaan bahasa negara. Politik
bahasa Berbagai
kebijakan bahasa di atas dapat dijadikan sebagai bentuk politik bahasa. Hal
tersebut sebagai pertimbangan konseptual yang dimaksudkan untuk memberikan
berbagai perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan lain yang dapat
digunakan sebagai dasar pengolahan dan pemecahan seluruh masalah kebahasaan
ke depan. Di
Indonesia terdapat tiga jenis bahasa, yakni bahasa daerah, bahasa nasional,
dan bahasa asing. Kedudukan serta fungsi dari ketiga bahasa tersebut harus
jelas agar penggunaan bahasa di masyarakat bergulir sesuai dengan fungsinya.
Bahasa daerah sebagai wujud pelestarian kekayaan budaya Indonesia, bahasa
Indonesia sebagai bentuk bahasa resmi, dan bahasa asing sebagai bahasa
komunikasi antarbangsa. Dalam
hal ini politik bahasa harus mampu menjamin bahasa-bahasa yang berkembang
sesuai dengan kedudukan dan fungsi masing-masing. Sampai akhirnya muncul
kesadaran bersama di masyarakat Indonesia untuk menggunakan bahasa tersebut
sesuai dengan kedudukan dan fungsinya sehingga adaptasi perkembangan iptek
tidak akan berdampak terhadap perubahan perilaku kebahasaan masyarakat. Semoga
langkah ini menjadikan refleksi nyata Sumpah Pemuda dan menjadikan bahasa
Indonesia bermartabat di Indonesia serta di mata dunia. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/28/supremasi-konstitusi-bahasa-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar