Senin, 31 Oktober 2022

 

Frans Seda, Pejuang Seumur Hidup

Baskara T Wardaya : Dosen Universitas Sanata Dharma, Pemangku Francis Wade Chair, Marquette University, AS

KOMPAS, 26 Oktober 2022

 

                                                

 

Menarik apa yang ditulis Stanley Adi Prasetyo tentang tokoh nasional Frans Seda baru-baru ini (Kompas, 3/10/2022).

 

Dikatakan Frans Seda (FS) berhasil dalam pengabdiannya untuk Indonesia karena memiliki konsep keilmuan yang unggul, memahami konteks, dan mampu membangun jaringan lintas batas.

 

Yang tak kalah penting, semua keunggulan itu menjadi operasional karena dilandasi semangat perjuangan untuk bangsanya. Dalam kasus FS, perjuangan itu adalah perjuangan seumur hidup.

 

Melayani bangsa

 

Sebagaimana ditulis, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, FS bertemu Bung Karno dan berpidato di hadapannya di Ende, Flores. Saat itu Bung Karno berada di Flores karena dibuang Belanda. Bagi FS, pertemuan itu momentum yang eksistensial dan transformatif.

 

Eksistensial karena pertemuan itu membuatnya berpikir tentang pilihan hidup. FS sadar, Bung Karno bukan orang asli Flores, melainkan rela dibuang ke Ende sebagai konsekuensi atas perjuangan bagi kemerdekaan bangsanya. FS kecil merasa terinspirasi untuk juga berjuang bagi kemerdekaan bangsanya. Transformatif karena pertemuan itu telah membuka wawasan FS. Ia, yang semula berwawasan kedaerahan, sejak itu mulai berwawasan kebangsaan.

 

Ketika usianya baru 15 tahun dan melanjutkan belajarnya di Kolese Xaverius Muntilan, Jawa Tengah, wawasan kebangsaan itu jadi terbuka lebar. Di sana, FS bertemu banyak siswa dari berbagai penjuru Nusantara. Sejumlah guru yang pastor Katolik keturunan Belanda memperkaya wawasan globalnya.

 

Di kolese itu pula, FS berhadapan langsung dengan kejamnya penindasan oleh bangsa lain, dalam hal ini bangsa Jepang. Menolak tunduk pada kuasa penjajah, FS menggunakan kekejaman penjajahan untuk berlatih bersiasat. Siasat FS dan teman-temannya untuk menyelundupkan semen di balik bendera Jepang adalah contohnya.

 

Ketika akhirnya Jepang mengusir semua penghuni Kolese Xaverius dari Muntilan, FS melanjutkan perjuangan di Yogyakarta. Di ”Kota Gudeg”, ia melibatkan diri melawan kekuasaan Belanda yang bermaksud menjajah kembali Indonesia. Di tengah kesulitan hidup yang ada, FS bergabung dengan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan berjuang di front Karawang-Bekasi, Jawa Barat.

 

Ia juga ikut mendirikan organisasi perlawanan Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (GRISK). Tentang semangat perjuangan FS, mantan ketua GRISK dan pahlawan nasional, Prof Dr Herman Johannes, pernah bersaksi, ”Dari tahun 1946 hingga 1948, meskipun masih berstatus sebagai seorang pelajar, Frans Seda sudah berperan sebagai penghubung antara GRISK dengan Laskar Sunda Kecil dan Biro Perjuangan Indonesia.”

 

Semangat perjuangan serupa ia tunjukkan ketika dari Yogyakarta FS berpindah ke Surabaya. Di sekolah HBS (Hoogere Burgerschool) yang kebanyakan siswanya anak keturunan Belanda, FS mendirikan organisasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI).

 

Ketika kemudian kuliah di Belanda, FS tak hanya menggunakan kesempatan yang ada untuk menekuni buku-buku. Ia juga melanjutkan perjuangan. FS, misalnya, bergabung dengan PPI di Belanda. Ia juga membangun jejaring dengan mahasiswa Asia lain yang negaranya juga baru bebas dari penjajahan.

 

Jejaring serupa ia bangun dengan orang-orang Eropa, berbekal pengalaman interaksinya dengan para pastor Belanda di Muntilan. Keberhasilan dalam membangun jejaring dengan orang-orang Eropa ini kelak akan dibutuhkan dalam melakukan lobi-lobi untuk membangkitkan kembali ekonomi Indonesia akhir 1960-an.

 

Ketika pada 1956 kembali ke Tanah Air, FS tetap kagum dan hormat kepada Bung Karno yang saat itu telah jadi Presiden RI. Suatu hari mereka berjumpa dan FS tetap menunjukkan kekagumannya. Gayung bersambut. Bung Karno teringat dan tetap terkesan akan kecakapan FS waktu kecil. Ia pun menunjuk FS menjadi salah seorang menterinya meski waktu itu usianya baru 38 tahun. FS menjalankan tugasnya dengan baik, bahkan menjadi salah satu menteri kepercayaan Presiden.

 

Apa yang disebut tentang FS meminta izin Bung Karno ketika ditunjuk untuk membantu dalam pemerintahan Soeharto menarik untuk dicermati. Apa yang dilakukan FS itu menunjukkan hormatnya kepada Bung Karno yang secara eksistensial dan transformatif telah memengaruhi hidupnya.

 

Pada saat yang sama benar pula tindakan itu menunjukkan bahwa bagi FS perjuangan dan pengabdiannya bukan terutama ditujukan kepada seorang individu, melainkan kepada bangsa yang ia cintai. Bung Karno menyadari hal itu dan ia mendukung keputusan FS.

 

Pada masa pemerintahan Soeharto, dalam kapasitas sebagai Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, dan Menteri Perhubungan, terlihat pula yang FS abdi bukan seorang individu atau pemerintahan, melainkan bangsanya. Tak heran, setelah Soeharto lengser, FS tetap setia mengabdi bangsa melalui pemerintahan-pemerintahan setelahnya, formal atau informal.

 

Kepada bangsa, negara, dan Tanah Airnya, FS tak hanya mengabdi melalui jabatan politis yang gemerlap dan bergaji tinggi. Ia juga mengabdi lewat pekerjaan di luar pemerintahan yang senyap dan tanpa iming-iming uang. Keterlibatan dalam membidani lahirnya harian Kompas, pendirian Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, pembentukan koperasi kopra di Flores, pembentukan koperasi hewan di Timor dan Sumba adalah beberapa contoh.

 

Jelas pula perjuangan FS melampaui batas-batas zaman. Ia berjuang sejak zaman Belanda, Jepang, perang kemerdekaan, pemerintahan Presiden Soekarno, pemerintahan Presiden Soeharto, periode reformasi, bahkan setelahnya. Ia pun melayani bangsanya melampaui batas-batas suku, ras, dan agama sehingga bisa diterima oleh semua pihak. Di dunia internasional, ia juga dengan mudah diterima banyak kalangan.

 

Besarnya peran FS dalam mendapatkan bantuan ekonomi untuk Indonesia tahun 1970-an berikut banyaknya penghargaan internasional yang ia terima menunjukkan FS dihormati tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional.

 

Pahlawan

 

Mengingat begitu tinggi dan konsistennya kiprah dan komitmen bagi bangsanya sejak usia muda hingga menjelang akhir hayat, rasanya pantas sang pejuang seumur hidup itu dianugerahi gelar pahlawan nasional.

 

Kita tahu gelar itu tak penting baginya. Ia tak membutuhkan, yang membutuhkan adalah kita. Gelar itu akan mengingatkan kita: sebagaimana Frans Seda, kita pun dipanggil untuk berjuang seumur hidup bagi bangsa, negara dan Tanah Air. Terpulang kepada kita bagaimana mau menjawabnya.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/25/frans-seda-pejuang-seumur-hidup-1

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar