Ketahanan
Bahasa Indonesia E Aminudin Aziz : Kepala
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi |
KOMPAS, 28 Oktober 2022
Demam penggunaan kata-kata dan istilah asing di
kalangan penutur bahasa Indonesia makin mewabah. Dalam banyak rangkaian teks,
baik lisan maupun tulisan, selalu ada terselip kata atau istilah asing yang
bukan merupakan kata serapan. Gejala ini melanda hampir semua kalangan penutur,
seolah-olah telah terjadi wabah istilah asing yang menjangkiti bahasa
Indonesia. Kondisi ini membawa pada pertanyaan mendasar: apakah
hal itu menunjukkan rapuhnya daya tahan perangkat bahasa Indonesia, atau
justru para penuturnya yang tidak memiliki daya tangkis? Pertanyaan lain
adalah, apakah aturan bahasa dan penutur bahasa Indonesia justru sangat
akomodatif terhadap kata atau istilah asing? Penyerapan kata atau istilah dari bahasa asing tentu
bukanlah sesuatu yang haram, bahkan sangat lazim. Sebuah bahasa akan tumbuh
dan terus berkembang karena adanya pengayaan dari bahasa lain. Pada masa lalu, penyerapan kata dan istilah ke dalam
bahasa Indonesia diutamakan yang berasal dari bahasa resmi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Belakangan, kebijakan ini berubah seiring dengan
kuatnya pengaruh bahasa asing lainnya dan juga peran penting bahasa daerah.
Kekuatan politik, ekonomi, dan budaya sebuah negara menjadi salah satu
pertimbangannya. Sementara itu, pergerakan warga dari satu wilayah ke
wilayah lain telah meluaskan penggunaan kata dan istilah dari sebuah bahasa
daerah. Memasuki usianya yang ke-94 tahun, bahasa Indonesia
telah berkembang menjadi bahasa modern. Selain sebagai alat komunikasi umum
dan perdagangan, bahasa Indonesia telah sanggup menjadi bahasa ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan kesusastraan. Kelugasan konsep yang diperlukan dalam memaparkan
gagasan dan temuan dapat difasilitasi oleh kekayaan kosakata yang tersedia
dalam bahasa Indonesia. Kosakata bahasa Indonesia juga telah menyediakan
pilihan yang lebih dari cukup untuk digunakan dalam berkarya sastra untuk
menampilkan puncak keindahan penggunaan bahasa. Sayangnya, pertumbuhan bahasa Indonesia menjadi
bahasa modern yang maju itu sering kali tercemar oleh gairah berlebihan para
penuturnya. Pencemar bahasa Pencemaran ini bisa dipastikan tidak dilakukan oleh
para penutur awam, sebab mereka para pengguna bahasa yang akan lebih setia
kepada bahasanya. Dalam berbahasa, mereka akan lebih banyak mengikuti bahasa
kaum elite, seperti para cendekia dan birokrat. Belakangan, perilaku berbahasa kaum awam juga banyak
dipengaruhi oleh pesohor (termasuk politisi) dan pengusaha. Sepanjang amatan saya, keempat kelompok ini, sampai
titik tertentu, justru menjadi pihak-pihak yang banyak mencemari bahasa.
Begitu banyak kata atau istilah asing yang mereka ciptakan kemudian ditiru
penutur awam. Mereka memiliki alasan masing-masing. Misalnya, para
cendekia beralasan demi mempertahankan kadar keilmiahan dan keajekan konsep.
Sementara itu, para birokrat melakukannya demi menjaga relasi kuasa yang bisa
diciptakan terhadap warga masyarakat. Adapun bagi para pesohor dan pengusaha,
penggunaan kata atau istilah asing menjadi keniscayaan demi mempertahankan
popularitas dan keuntungan. Memang benar para penutur muda juga memiliki potensi
sebagai pencemar bahasa. Dengan bahasa gaulnya, mereka banyak menciptakan
kata dan istilah baru yang sering kali melenceng dari kaidah baku. Akan tetapi, berbeda dengan empat kelompok yang
disebutkan di atas, bahasa anak muda hanya bahasa sesaat, bukan gejala
permanen. Mereka akan menggunakan kata dan istilah itu pada periode tertentu
saja yang kemudian menghilang seiring berjalannya waktu. Para penutur muda itu akan beralih menjadi penutur
bahasa yang lebih konservatif sejalan dengan bertambahnya usia dan berubahnya
status serta lingkungan pergaulan profesionalnya. Mereka akan risi kalau
tetap berbahasa gaul, padahal mereka sudah makin dewasa dengan peran baru
yang lebih memerlukan penggunaan bahasa yang lebih baku. Meski demikian, harus diakui peran penting semua
kelompok penutur bahasa tersebut. Penutur awam layak diacungi jempol karena
kukuh dengan kesetiaannya berbahasa. Sementara itu, yang lainnya berperan
penting dalam mendorong timbulnya kreativitas berbahasa dan pengembangan
bahasa. Kondisi dinamis seperti ini akan menjamin kelangsungan hidup sebuah
bahasa. Kerisauan yang saat ini sedang terjadi terhadap
bahasa Indonesia pernah dialami juga oleh bahasa-bahasa besar lain, misalnya
bahasa Inggris, Perancis, dan Jepang. Dalam bukunya, Verbal Hygiene,
bahasawan Inggris Deborah Cameron mengupas perilaku berbahasa penutur bahasa
Inggris yang tidak terlalu setia kepada bahasanya. Cameron mengkhawatirkan perkembangan bahasa Inggris
yang telah begitu banyak menerima pengaruh bahasa asing sehingga tidak
kedengaran sebagai bahasa Inggris lagi. Kondisi ini memicu munculnya gerakan untuk
memurnikan bahasa. Gerakan pemurnian bahasa di mana pun nyatanya tidak pernah
berhasil. Para pegiat terpaksa harus rela dan tunduk kepada gelombang kuat
dan kekukuhan gaya berbahasa para penutur. Akibatnya, banyak penggunaan
bahasa yang salah kaprah. Memperkuat daya tahan Tentu saja, di tengah gejala pandemi bahasa seperti
saat ini, penguatan untuk meningkatkan daya tahan bahasa Indonesia perlu
dilakukan. Vaksin bahasa sebetulnya sudah tersedia, yang meliputi regulasi,
sistem ejaan, tata bahasa, dan perangkat kebahasaan lainnya. Para pegiat bahasa berjuang untuk menyuntikkan
vaksin bahasa ini kepada setiap penutur bahasa. Harapannya agar terbentuk
kekebalan berupa kemampuan untuk menapis pengaruh negatif dari luar. Meski demikian, vaksin terbaik yang akan mengukuhkan
tatanan kebahasaan kepada para penutur sesungguhnya ada pada diri mereka
sendiri, yaitu berupa sikap positif terhadap bahasanya. Penggerusan yang
terjadi dalam sebuah bahasa selalu dimulai dari lemahnya sikap positif para
penutur. Para penutur bahasa merasa rendah diri ketika
menggunakan bahasanya sendiri atau merasa lebih bergengsi ketika menggunakan
bahasa gado-gado yang penuh dengan kata atau istilah asing. Bisa jadi, bahasa
seperti ini bahkan tidak mudah dimengerti mitra tutur. Keteladanan dari para pemengaruh memang sangat
penting mengingat masyarakat kita akan lebih taat kepada para pemimpin atau
tokoh yang dikaguminya. Mereka akan mengikuti contoh yang dilihat atau
didengar dari para anutannya. Oleh karena itu, pemartabatan dan kemartabatan
bahasa negara terpulang kepada kita semua sebagai pengguna bahasa. Apakah
kita akan menjadi anutan terbaik atau malah menjadi penyebar virus yang akan
melanggengkan pandemi bahasa? ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/22/ketahanan-bahasa-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar