Senin, 31 Oktober 2022

 

Ketahanan Bahasa Indonesia

E Aminudin Aziz : Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

KOMPAS, 28 Oktober 2022

 

                                                

 

Demam penggunaan kata-kata dan istilah asing di kalangan penutur bahasa Indonesia makin mewabah. Dalam banyak rangkaian teks, baik lisan maupun tulisan, selalu ada terselip kata atau istilah asing yang bukan merupakan kata serapan.

 

Gejala ini melanda hampir semua kalangan penutur, seolah-olah telah terjadi wabah istilah asing yang menjangkiti bahasa Indonesia.

 

Kondisi ini membawa pada pertanyaan mendasar: apakah hal itu menunjukkan rapuhnya daya tahan perangkat bahasa Indonesia, atau justru para penuturnya yang tidak memiliki daya tangkis? Pertanyaan lain adalah, apakah aturan bahasa dan penutur bahasa Indonesia justru sangat akomodatif terhadap kata atau istilah asing?

 

Penyerapan kata atau istilah dari bahasa asing tentu bukanlah sesuatu yang haram, bahkan sangat lazim. Sebuah bahasa akan tumbuh dan terus berkembang karena adanya pengayaan dari bahasa lain.

 

Pada masa lalu, penyerapan kata dan istilah ke dalam bahasa Indonesia diutamakan yang berasal dari bahasa resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

 

Belakangan, kebijakan ini berubah seiring dengan kuatnya pengaruh bahasa asing lainnya dan juga peran penting bahasa daerah. Kekuatan politik, ekonomi, dan budaya sebuah negara menjadi salah satu pertimbangannya.

 

Sementara itu, pergerakan warga dari satu wilayah ke wilayah lain telah meluaskan penggunaan kata dan istilah dari sebuah bahasa daerah.

 

Memasuki usianya yang ke-94 tahun, bahasa Indonesia telah berkembang menjadi bahasa modern. Selain sebagai alat komunikasi umum dan perdagangan, bahasa Indonesia telah sanggup menjadi bahasa ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kesusastraan.

 

Kelugasan konsep yang diperlukan dalam memaparkan gagasan dan temuan dapat difasilitasi oleh kekayaan kosakata yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Kosakata bahasa Indonesia juga telah menyediakan pilihan yang lebih dari cukup untuk digunakan dalam berkarya sastra untuk menampilkan puncak keindahan penggunaan bahasa.

 

Sayangnya, pertumbuhan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern yang maju itu sering kali tercemar oleh gairah berlebihan para penuturnya.

 

Pencemar bahasa

 

Pencemaran ini bisa dipastikan tidak dilakukan oleh para penutur awam, sebab mereka para pengguna bahasa yang akan lebih setia kepada bahasanya. Dalam berbahasa, mereka akan lebih banyak mengikuti bahasa kaum elite, seperti para cendekia dan birokrat.

 

Belakangan, perilaku berbahasa kaum awam juga banyak dipengaruhi oleh pesohor (termasuk politisi) dan pengusaha.

 

Sepanjang amatan saya, keempat kelompok ini, sampai titik tertentu, justru menjadi pihak-pihak yang banyak mencemari bahasa. Begitu banyak kata atau istilah asing yang mereka ciptakan kemudian ditiru penutur awam.

 

Mereka memiliki alasan masing-masing. Misalnya, para cendekia beralasan demi mempertahankan kadar keilmiahan dan keajekan konsep. Sementara itu, para birokrat melakukannya demi menjaga relasi kuasa yang bisa diciptakan terhadap warga masyarakat. Adapun bagi para pesohor dan pengusaha, penggunaan kata atau istilah asing menjadi keniscayaan demi mempertahankan popularitas dan keuntungan.

 

Memang benar para penutur muda juga memiliki potensi sebagai pencemar bahasa. Dengan bahasa gaulnya, mereka banyak menciptakan kata dan istilah baru yang sering kali melenceng dari kaidah baku.

 

Akan tetapi, berbeda dengan empat kelompok yang disebutkan di atas, bahasa anak muda hanya bahasa sesaat, bukan gejala permanen. Mereka akan menggunakan kata dan istilah itu pada periode tertentu saja yang kemudian menghilang seiring berjalannya waktu.

 

Para penutur muda itu akan beralih menjadi penutur bahasa yang lebih konservatif sejalan dengan bertambahnya usia dan berubahnya status serta lingkungan pergaulan profesionalnya. Mereka akan risi kalau tetap berbahasa gaul, padahal mereka sudah makin dewasa dengan peran baru yang lebih memerlukan penggunaan bahasa yang lebih baku.

 

Meski demikian, harus diakui peran penting semua kelompok penutur bahasa tersebut. Penutur awam layak diacungi jempol karena kukuh dengan kesetiaannya berbahasa. Sementara itu, yang lainnya berperan penting dalam mendorong timbulnya kreativitas berbahasa dan pengembangan bahasa. Kondisi dinamis seperti ini akan menjamin kelangsungan hidup sebuah bahasa.

 

Kerisauan yang saat ini sedang terjadi terhadap bahasa Indonesia pernah dialami juga oleh bahasa-bahasa besar lain, misalnya bahasa Inggris, Perancis, dan Jepang. Dalam bukunya, Verbal Hygiene, bahasawan Inggris Deborah Cameron mengupas perilaku berbahasa penutur bahasa Inggris yang tidak terlalu setia kepada bahasanya.

 

Cameron mengkhawatirkan perkembangan bahasa Inggris yang telah begitu banyak menerima pengaruh bahasa asing sehingga tidak kedengaran sebagai bahasa Inggris lagi.

 

Kondisi ini memicu munculnya gerakan untuk memurnikan bahasa. Gerakan pemurnian bahasa di mana pun nyatanya tidak pernah berhasil. Para pegiat terpaksa harus rela dan tunduk kepada gelombang kuat dan kekukuhan gaya berbahasa para penutur. Akibatnya, banyak penggunaan bahasa yang salah kaprah.

 

Memperkuat daya tahan

 

Tentu saja, di tengah gejala pandemi bahasa seperti saat ini, penguatan untuk meningkatkan daya tahan bahasa Indonesia perlu dilakukan. Vaksin bahasa sebetulnya sudah tersedia, yang meliputi regulasi, sistem ejaan, tata bahasa, dan perangkat kebahasaan lainnya.

 

Para pegiat bahasa berjuang untuk menyuntikkan vaksin bahasa ini kepada setiap penutur bahasa. Harapannya agar terbentuk kekebalan berupa kemampuan untuk menapis pengaruh negatif dari luar.

 

Meski demikian, vaksin terbaik yang akan mengukuhkan tatanan kebahasaan kepada para penutur sesungguhnya ada pada diri mereka sendiri, yaitu berupa sikap positif terhadap bahasanya. Penggerusan yang terjadi dalam sebuah bahasa selalu dimulai dari lemahnya sikap positif para penutur.

 

Para penutur bahasa merasa rendah diri ketika menggunakan bahasanya sendiri atau merasa lebih bergengsi ketika menggunakan bahasa gado-gado yang penuh dengan kata atau istilah asing. Bisa jadi, bahasa seperti ini bahkan tidak mudah dimengerti mitra tutur.

 

Keteladanan dari para pemengaruh memang sangat penting mengingat masyarakat kita akan lebih taat kepada para pemimpin atau tokoh yang dikaguminya. Mereka akan mengikuti contoh yang dilihat atau didengar dari para anutannya.

 

Oleh karena itu, pemartabatan dan kemartabatan bahasa negara terpulang kepada kita semua sebagai pengguna bahasa. Apakah kita akan menjadi anutan terbaik atau malah menjadi penyebar virus yang akan melanggengkan pandemi bahasa?

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/22/ketahanan-bahasa-indonesia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar