Selasa, 25 Oktober 2022

 

Mengapa Pemerintah Lamban Mendeteksi Gagal Ginjal Anak

Hussein Abri Dongoran :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 23 Oktober 2022

 

 

                                                           

MASUK ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada Rabu tengah malam, 17 Agustus lalu, Rayyan Zikra, langsung mendapatkan perawatan intensif. Didiagnosis mengalami gagal ginjal akut, bayi berusia 3 tahun 7 bulan itu langsung dirontgen untuk persiapan cuci darah. “Kondisinya memburuk, seluruh tubuhnya bengkak,” ujar ibu Rayyan, Nihlatu Zaidah, ketika dihubungi Tempo pada Kamis, 20 Oktober lalu.

 

Nihlatu bercerita, empat hari sebelumnya, putranya dirawat di salah satu rumah sakit di Bekasi, Jawa Barat. Rayyan dilarikan ke rumah sakit karena mengalami demam dan tubuhnya lemas. Ia sempat didiagnosis menderita tifus berdasarkan hasil pengecekan darah. Dokter meminta Nihlatu menghentikan pemberian obat yang pertama kali ia berikan kepada Rayyan.

 

Setelah putranya mengalami demam, Nihlatu membeli antibiotik dan obat sirop di salah satu apotek di Bekasi. Obat sirop yang baru pertama kali dibeli perempuan 31 tahun itu mengandung parasetamol, chlorpheniramine maleate (CTM), dan guaifenesin. Harganya tak sampai Rp 10 ribu.

 

Saat dirawat di Bekasi, Rayyan tak lagi kencing. Tubuhnya pun membengkak. Dokter kembali mengecek darahnya. Hasilnya, Rayyan didiagnosis mengalami gagal ginjal.

 

Rayyan baru bisa mengeluarkan urine setelah menjalani cuci darah pertama di RSCM. Namun badannya tetap lemas karena fungsi hati, ginjal, dan paru-paru tidak normal. “Semuanya rusak,” ucap Nihlatu. Dua hari dirawat di RSCM, Rayyan akhirnya berpulang.

 

Bersamaan dengan masuknya Rayyan ke RSCM, Nihlatu mengetahui ada anak-anak lain yang juga dirawat karena menderita gagal ginjal akut. Mereka mengalami kondisi yang sama dengan putranya, yaitu tak bisa mengeluarkan urine. Ia pun menerima kabar bahwa beberapa hari setelah Rayyan meninggal ada seorang anak yang juga mengalami gagal ginjal akut mengembuskan napas terakhir.

 

Bulan yang sama, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah mendapat laporan dari pengurus daerah bahwa ada sejumlah anak yang mengalami batuk, pilek, diare, dan tak bisa kencing. Ia meminta mereka menggunakan metode retrospektif dengan merunut kasus gagal ginjal akut dan melaporkan jika ada temuan lain.

 

Data IDAI menunjukkan 36 anak mengalami gagal ginjal akut pada Agustus lalu. Sebulan kemudian, jumlahnya melonjak jadi 78 kasus. “Kami melaporkan data ini ke Kementerian Kesehatan,” ujar Piprim, Selasa, 18 Oktober lalu.

 

Hingga Senin, 17 Oktober lalu, Kementerian Kesehatan tak kunjung memiliki data jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak. Hari itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menggelar rapat guna membahas persoalan tersebut. Dua pejabat pemerintah dan dua epidemiolog yang mengetahui isi rapat itu bercerita, Budi sempat marah ke tim surveilans karena tak kunjung mendapatkan data.

 

Kelemahan data juga terlihat dari laporan kasus per Kamis, 20 Oktober lalu. Tak ada laporan kasus dari Sulawesi Utara. Curie Mamonto Loho, ibu Cyrene Melody, mengatakan putrinya meninggal karena gagal ginjal akut pada 31 Juli lalu. Melody yang berusia 2 tahun 7 bulan sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Kandou, Kota Manado, Sulawesi Utara.

 

Melody dirawat di sana mulai 29 Juli lalu. Tiga hari sebelumnya, ia diopname di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Sam Ratulangi, Kabupaten Minahasa. “Sempat ada petugas pusat kesehatan masyarakat yang datang saat saya pergi. Sampai sekarang belum ada yang menghubungi saya,” tuturnya.

 

Pada Kamis, 20 Oktober lalu, tim surveilans Kementerian Kesehatan baru memiliki data lengkap 14 anak dari total 208 kasus gagal ginjal akut. Sehari kemudian, Kementerian merilis ada 241 pasien anak gagal ginjal, 133 di antaranya meninggal. Ini berarti tingkat kematian pada kasus gagal ginjal anak mencapai 55,18 persen.

 

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan jumlah anak yang menderita gagal ginjal akut jauh lebih banyak. “Bisa empat-lima kali lipat,” katanya. Mantan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara ini mengatakan pendataan oleh tim surveilans masih berjalan. Ia membantah jika timnya disebut lamban bekerja. “Untuk Covid-19, tim kami lumayan dibanding negara lain,” ujarnya berkilah.

 

Budi menyatakan lembaganya masih menginvestigasi penyebab maraknya kasus gagal ginjal pada anak. Titik terang muncul setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan menarik peredaran lima obat sirop pada Kamis, 20 Oktober lalu. Obat-obat itu adalah Termorex sirop produksi PT Konimex dan Flurin DMP sirop buatan PT Yarindo Farmatama.

 

BPOM juga melarang peredaran tiga obat bikinan Universal Pharmaceutical Industries, yaitu Unibebi Cough sirop, Unibebi Demam sirop, dan Unibebi Demam Drops. BPOM menengarai obat-obatan itu mengandung tiga senyawa berbahaya, yaitu etilena glikol (EG), dietilena glikol (DEG), dan etilena glikol butil eter (EGBE).

 

EG kerap dipakai sebagai bahan campuran pendingin mesin dan dietilena glikol digunakan untuk pelarut. Adapun etilena glikol butil eter kerap dipakai sebagai pelarut bahan kimia produksi industri. Ketiganya dapat berbahaya bagi organ tubuh, bahkan menyebabkan kematian, jika berlebihan masuk ke tubuh manusia.

 

Seorang kerabat Rayyan Zikra, anak balita 3 tahun 7 bulan yang meninggal di RSCM karena gagal ginjal akut, membenarkan bahwa ibu Rayyan menggunakan salah satu merek obat yang dilarang oleh BPOM. Adapun ibu Rayyan, Nihlatu Zaidah, mengaku sempat mencicipi obat tersebut. “Lebih kental, rasanya agak pahit dan manis getir,” katanya membandingkan dengan obat lain.

 

Sehari setelah BPOM merilis lima merek obat tersebut, Kementerian Kesehatan mengeluarkan daftar 102 obat yang dikonsumsi korban gagal ginjal akut. Menteri Kesehatan menyatakan bahwa obat-obatan itu dilarang digunakan sementara. “Kami mendatangi rumah 156 dari 241 korban. Dari 156 itu sudah ketemu 102 obat di keluarga ini yang jenisnya sirop,” ujar Budi.

 

•••

 

NUN jauh di barat Benua Afrika, sejumlah anak di Gambia juga mengalami gagal ginjal akut atau acute kidney injury mulai awal September lalu. Hingga Jumat, 14 Oktober lalu, 70 anak di sana meninggal karena gagal ginjal akut akibat mengkonsumsi obat asal India. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan soal kasus tersebut pada Rabu, 5 Oktober lalu.

 

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengklaim kasus kematian anak-anak usia balita telah dideteksi lembaganya awal September lalu. Tapi saat itu Kementerian Kesehatan belum mengetahui penyebabnya. Kementerian sempat mencurigai adanya serangan virus atau bakteri pada tubuh korban. “Kami melakukan tes patogen untuk mengetahui penyebabnya,” ujar Budi.

 

Hasilnya, tak ditemukan virus, bakteri, atau parasit apa pun di tubuh anak-anak penderita gagal ginjal akut. Budi menyatakan baru mencurigai penyebab penyakit itu setelah ada kasus di Gambia. Ia meminta perubahan tes patogen menjadi tes toksik untuk mengetahui penyebab racun masuk ke tubuh.

 

Pada 28 September lalu, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan mengeluarkan keputusan tentang tata laksana dan manajemen klinis gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak di fasilitas kesehatan. Kementerian juga mengedarkan formulir penelusuran epidemiologi setebal 21 halaman yang berisi 110 pertanyaan. Formulir itu diedarkan pada Selasa, 18 Oktober lalu.

 

Pemeriksaan mulai berubah menjadi tes toksik pada Senin, 17 Oktober lalu. Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian RI menguji sampel darah dan urine dari sebelas anak yang dirawat ataupun yang meninggal di RSCM. Hasilnya, tujuh dari sebelas anak terdeteksi mengkonsumsi etilena glikol, dietilena glikol, dan etilena glikol butil eter.

 

Hari yang sama, tim Kementerian Kesehatan mengumpulkan 32 obat yang dikonsumsi korban. Pengujian Puslabfor Polri menunjukkan 19 sampel mengandung tiga zat berbahaya. Tapi hasil itu masih perlu ditelusuri secara kuantitatif untuk menentukan kadar kandungannya. Batas aman tiga zat tersebut adalah 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari.

 

Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, menilai salah satu penyebab maraknya kasus gagal ginjal akut pada anak adalah lemahnya pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pengawasan lemah membuat zat-zat berbahaya pada obat telat dideteksi. “Kalau mereka menjalankan tugasnya dengan benar, kasus seperti ini tidak akan terjadi,” ucap Pandu.

 

Sepekan setelah WHO mengeluarkan peringatan ihwal kasus gagal ginjal akut, Badan Pengawas Obat dan Makanan merilis pernyataan publik bahwa empat obat asal India yang menjadi penyebab kasus di Gambia tak terdaftar di lembaga itu. Tiga hari kemudian, Kamis, 20 Oktober lalu, BPOM menyatakan saat registrasi obat, semua obat sirop dilarang menggunakan etilena glikol dan dietilena glikol.

 

Dalam rilisnya, BPOM juga menyatakan EG dan DEG dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilena glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan. BPOM telah menetapkan batas maksimal EG dan DEG pada kedua bahan tambahan tersebut sesuai dengan standar internasional.

 

Guru besar farmakologi dan farmasi klinik Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati, mengatakan EG dan DEG bisa dipakai dengan takaran tertentu. “Etilena glikol dan dietilena glikol biasa dipakai untuk radiator dan antibeku dan harganya lebih murah dibanding polietilena glikol,” ujarnya ketika dihubungi, Jumat, 21 Oktober lalu.

 

Polietilena glikol adalah zat pelarut yang aman dan biasa digunakan dalam obat. BPOM juga mengeluarkan pernyataan pada Rabu, 19 Oktober lalu. Salah satunya adalah meminta perusahaan farmasi menguji secara mandiri ihwal ada atau tidaknya kandungan etilena glikol dan dietilena glikol dalam produk mereka.

 

Sebelum rilis itu terbit, sejumlah perusahaan farmasi mengeluarkan pernyataan bahwa produknya tak mengandung EG dan DEG. Inspektur Utama BPOM Elin Herlina mengatakan keamanan serta mutu bahan baku adalah tanggung jawab industri farmasi yang dilaporkan ke lembaganya. “Ini bukan shifting, tapi memang tugas mereka,” ujarnya.

 

Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan dalam beberapa rapat dengan Kementerian Kesehatan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan salah satu penyebab merebaknya penggunaan EG dan DEG adalah kelangkaan polietilena glikol. “Menteri dalam introduksinya menyinggung informasi itu,” katanya.

 

Budi Gunadi mengaku sudah bertanya kepada sejumlah ahli tentang kemungkinan penyebab gagal ginjal adalah cemaran dari bahan baku. “Kalau dari dulu aman, kok sekarang bisa seperti ini?” ucapnya.

 

Elin Herlina menyebutkan BPOM selalu menilai bahan baku yang digunakan oleh industri farmasi. Dia menerangkan, perusahaan farmasi wajib melaporkan kepada BPOM jika terjadi perubahan bahan baku. “Seharusnya ada laporan kalau bahan baku berubah,” katanya.

 

Presiden Joko Widodo meminta pengawasan terhadap industri farmasi diperketat karena kasus gagal ginjal akut ini. “Yang paling penting, pengawasan industri obat harus diperketat lagi,” tuturnya, Jumat, 21 Oktober lalu. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/nasional/167251/mengapa-pemerintah-lamban-mendeteksi-gagal-ginjal-anak

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar