Mengapa Pemerintah
Lamban Mendeteksi Gagal Ginjal Anak Hussein Abri Dongoran : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
MASUK ke Rumah Sakit Umum
Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada Rabu tengah malam, 17
Agustus lalu, Rayyan Zikra, langsung mendapatkan perawatan intensif.
Didiagnosis mengalami gagal ginjal akut, bayi berusia 3 tahun 7 bulan itu
langsung dirontgen untuk persiapan cuci darah. “Kondisinya memburuk, seluruh
tubuhnya bengkak,” ujar ibu Rayyan, Nihlatu Zaidah, ketika dihubungi Tempo
pada Kamis, 20 Oktober lalu. Nihlatu bercerita, empat
hari sebelumnya, putranya dirawat di salah satu rumah sakit di Bekasi, Jawa
Barat. Rayyan dilarikan ke rumah sakit karena mengalami demam dan tubuhnya
lemas. Ia sempat didiagnosis menderita tifus berdasarkan hasil pengecekan
darah. Dokter meminta Nihlatu menghentikan pemberian obat yang pertama kali
ia berikan kepada Rayyan. Setelah putranya mengalami
demam, Nihlatu membeli antibiotik dan obat sirop di salah satu apotek di
Bekasi. Obat sirop yang baru pertama kali dibeli perempuan 31 tahun itu
mengandung parasetamol, chlorpheniramine maleate (CTM), dan guaifenesin.
Harganya tak sampai Rp 10 ribu. Saat dirawat di Bekasi,
Rayyan tak lagi kencing. Tubuhnya pun membengkak. Dokter kembali mengecek
darahnya. Hasilnya, Rayyan didiagnosis mengalami gagal ginjal. Rayyan baru bisa
mengeluarkan urine setelah menjalani cuci darah pertama di RSCM. Namun
badannya tetap lemas karena fungsi hati, ginjal, dan paru-paru tidak normal.
“Semuanya rusak,” ucap Nihlatu. Dua hari dirawat di RSCM, Rayyan akhirnya
berpulang. Bersamaan dengan masuknya
Rayyan ke RSCM, Nihlatu mengetahui ada anak-anak lain yang juga dirawat
karena menderita gagal ginjal akut. Mereka mengalami kondisi yang sama dengan
putranya, yaitu tak bisa mengeluarkan urine. Ia pun menerima kabar bahwa
beberapa hari setelah Rayyan meninggal ada seorang anak yang juga mengalami
gagal ginjal akut mengembuskan napas terakhir. Bulan yang sama, Ketua
Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah mendapat laporan dari
pengurus daerah bahwa ada sejumlah anak yang mengalami batuk, pilek, diare,
dan tak bisa kencing. Ia meminta mereka menggunakan metode retrospektif dengan
merunut kasus gagal ginjal akut dan melaporkan jika ada temuan lain. Data IDAI menunjukkan 36
anak mengalami gagal ginjal akut pada Agustus lalu. Sebulan kemudian,
jumlahnya melonjak jadi 78 kasus. “Kami melaporkan data ini ke Kementerian
Kesehatan,” ujar Piprim, Selasa, 18 Oktober lalu. Hingga Senin, 17 Oktober
lalu, Kementerian Kesehatan tak kunjung memiliki data jumlah kasus gagal
ginjal akut pada anak. Hari itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin
menggelar rapat guna membahas persoalan tersebut. Dua pejabat pemerintah dan
dua epidemiolog yang mengetahui isi rapat itu bercerita, Budi sempat marah ke
tim surveilans karena tak kunjung mendapatkan data. Kelemahan data juga
terlihat dari laporan kasus per Kamis, 20 Oktober lalu. Tak ada laporan kasus
dari Sulawesi Utara. Curie Mamonto Loho, ibu Cyrene Melody, mengatakan
putrinya meninggal karena gagal ginjal akut pada 31 Juli lalu. Melody yang
berusia 2 tahun 7 bulan sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Kandou, Kota
Manado, Sulawesi Utara. Melody dirawat di sana
mulai 29 Juli lalu. Tiga hari sebelumnya, ia diopname di Rumah Sakit Umum
Daerah Dr Sam Ratulangi, Kabupaten Minahasa. “Sempat ada petugas pusat
kesehatan masyarakat yang datang saat saya pergi. Sampai sekarang belum ada
yang menghubungi saya,” tuturnya. Pada Kamis, 20 Oktober
lalu, tim surveilans Kementerian Kesehatan baru memiliki data lengkap 14 anak
dari total 208 kasus gagal ginjal akut. Sehari kemudian, Kementerian merilis
ada 241 pasien anak gagal ginjal, 133 di antaranya meninggal. Ini berarti
tingkat kematian pada kasus gagal ginjal anak mencapai 55,18 persen. Menteri Kesehatan Budi
Gunadi Sadikin memperkirakan jumlah anak yang menderita gagal ginjal akut
jauh lebih banyak. “Bisa empat-lima kali lipat,” katanya. Mantan Wakil Menteri
Badan Usaha Milik Negara ini mengatakan pendataan oleh tim surveilans masih
berjalan. Ia membantah jika timnya disebut lamban bekerja. “Untuk Covid-19,
tim kami lumayan dibanding negara lain,” ujarnya berkilah. Budi menyatakan lembaganya
masih menginvestigasi penyebab maraknya kasus gagal ginjal pada anak. Titik
terang muncul setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan menarik peredaran lima
obat sirop pada Kamis, 20 Oktober lalu. Obat-obat itu adalah Termorex sirop
produksi PT Konimex dan Flurin DMP sirop buatan PT Yarindo Farmatama. BPOM juga melarang
peredaran tiga obat bikinan Universal Pharmaceutical Industries, yaitu
Unibebi Cough sirop, Unibebi Demam sirop, dan Unibebi Demam Drops. BPOM
menengarai obat-obatan itu mengandung tiga senyawa berbahaya, yaitu etilena
glikol (EG), dietilena glikol (DEG), dan etilena glikol butil eter (EGBE). EG kerap dipakai sebagai
bahan campuran pendingin mesin dan dietilena glikol digunakan untuk pelarut.
Adapun etilena glikol butil eter kerap dipakai sebagai pelarut bahan kimia
produksi industri. Ketiganya dapat berbahaya bagi organ tubuh, bahkan
menyebabkan kematian, jika berlebihan masuk ke tubuh manusia. Seorang kerabat Rayyan
Zikra, anak balita 3 tahun 7 bulan yang meninggal di RSCM karena gagal ginjal
akut, membenarkan bahwa ibu Rayyan menggunakan salah satu merek obat yang
dilarang oleh BPOM. Adapun ibu Rayyan, Nihlatu Zaidah, mengaku sempat
mencicipi obat tersebut. “Lebih kental, rasanya agak pahit dan manis getir,”
katanya membandingkan dengan obat lain. Sehari setelah BPOM
merilis lima merek obat tersebut, Kementerian Kesehatan mengeluarkan daftar
102 obat yang dikonsumsi korban gagal ginjal akut. Menteri Kesehatan
menyatakan bahwa obat-obatan itu dilarang digunakan sementara. “Kami
mendatangi rumah 156 dari 241 korban. Dari 156 itu sudah ketemu 102 obat di
keluarga ini yang jenisnya sirop,” ujar Budi. ••• NUN jauh di barat Benua
Afrika, sejumlah anak di Gambia juga mengalami gagal ginjal akut atau acute
kidney injury mulai awal September lalu. Hingga Jumat, 14 Oktober lalu, 70
anak di sana meninggal karena gagal ginjal akut akibat mengkonsumsi obat asal
India. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan soal kasus
tersebut pada Rabu, 5 Oktober lalu. Menteri Kesehatan Budi
Gunadi Sadikin mengklaim kasus kematian anak-anak usia balita telah dideteksi
lembaganya awal September lalu. Tapi saat itu Kementerian Kesehatan belum
mengetahui penyebabnya. Kementerian sempat mencurigai adanya serangan virus
atau bakteri pada tubuh korban. “Kami melakukan tes patogen untuk mengetahui
penyebabnya,” ujar Budi. Hasilnya, tak ditemukan
virus, bakteri, atau parasit apa pun di tubuh anak-anak penderita gagal
ginjal akut. Budi menyatakan baru mencurigai penyebab penyakit itu setelah
ada kasus di Gambia. Ia meminta perubahan tes patogen menjadi tes toksik
untuk mengetahui penyebab racun masuk ke tubuh. Pada 28 September lalu,
Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan mengeluarkan
keputusan tentang tata laksana dan manajemen klinis gangguan ginjal akut progresif
atipikal pada anak di fasilitas kesehatan. Kementerian juga mengedarkan
formulir penelusuran epidemiologi setebal 21 halaman yang berisi 110
pertanyaan. Formulir itu diedarkan pada Selasa, 18 Oktober lalu. Pemeriksaan mulai berubah
menjadi tes toksik pada Senin, 17 Oktober lalu. Pusat Laboratorium Forensik
Markas Besar Kepolisian RI menguji sampel darah dan urine dari sebelas anak
yang dirawat ataupun yang meninggal di RSCM. Hasilnya, tujuh dari sebelas
anak terdeteksi mengkonsumsi etilena glikol, dietilena glikol, dan etilena
glikol butil eter. Hari yang sama, tim
Kementerian Kesehatan mengumpulkan 32 obat yang dikonsumsi korban. Pengujian
Puslabfor Polri menunjukkan 19 sampel mengandung tiga zat berbahaya. Tapi
hasil itu masih perlu ditelusuri secara kuantitatif untuk menentukan kadar
kandungannya. Batas aman tiga zat tersebut adalah 0,5 miligram per kilogram
berat badan per hari. Epidemiolog dari
Universitas Indonesia, Pandu Riono, menilai salah satu penyebab maraknya
kasus gagal ginjal akut pada anak adalah lemahnya pengawasan Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Pengawasan lemah membuat zat-zat berbahaya pada obat telat
dideteksi. “Kalau mereka menjalankan tugasnya dengan benar, kasus seperti ini
tidak akan terjadi,” ucap Pandu. Sepekan setelah WHO
mengeluarkan peringatan ihwal kasus gagal ginjal akut, Badan Pengawas Obat
dan Makanan merilis pernyataan publik bahwa empat obat asal India yang
menjadi penyebab kasus di Gambia tak terdaftar di lembaga itu. Tiga hari
kemudian, Kamis, 20 Oktober lalu, BPOM menyatakan saat registrasi obat, semua
obat sirop dilarang menggunakan etilena glikol dan dietilena glikol. Dalam rilisnya, BPOM juga
menyatakan EG dan DEG dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau
propilena glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan. BPOM telah
menetapkan batas maksimal EG dan DEG pada kedua bahan tambahan tersebut
sesuai dengan standar internasional. Guru besar farmakologi dan
farmasi klinik Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati, mengatakan EG dan
DEG bisa dipakai dengan takaran tertentu. “Etilena glikol dan dietilena
glikol biasa dipakai untuk radiator dan antibeku dan harganya lebih murah
dibanding polietilena glikol,” ujarnya ketika dihubungi, Jumat, 21 Oktober
lalu. Polietilena glikol adalah
zat pelarut yang aman dan biasa digunakan dalam obat. BPOM juga mengeluarkan
pernyataan pada Rabu, 19 Oktober lalu. Salah satunya adalah meminta
perusahaan farmasi menguji secara mandiri ihwal ada atau tidaknya kandungan
etilena glikol dan dietilena glikol dalam produk mereka. Sebelum rilis itu terbit,
sejumlah perusahaan farmasi mengeluarkan pernyataan bahwa produknya tak
mengandung EG dan DEG. Inspektur Utama BPOM Elin Herlina mengatakan keamanan
serta mutu bahan baku adalah tanggung jawab industri farmasi yang dilaporkan
ke lembaganya. “Ini bukan shifting, tapi memang tugas mereka,” ujarnya. Epidemiolog dari
Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan dalam beberapa rapat dengan
Kementerian Kesehatan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan
salah satu penyebab merebaknya penggunaan EG dan DEG adalah kelangkaan
polietilena glikol. “Menteri dalam introduksinya menyinggung informasi itu,”
katanya. Budi Gunadi mengaku sudah
bertanya kepada sejumlah ahli tentang kemungkinan penyebab gagal ginjal
adalah cemaran dari bahan baku. “Kalau dari dulu aman, kok sekarang bisa
seperti ini?” ucapnya. Elin Herlina menyebutkan
BPOM selalu menilai bahan baku yang digunakan oleh industri farmasi. Dia
menerangkan, perusahaan farmasi wajib melaporkan kepada BPOM jika terjadi
perubahan bahan baku. “Seharusnya ada laporan kalau bahan baku berubah,”
katanya. Presiden Joko Widodo
meminta pengawasan terhadap industri farmasi diperketat karena kasus gagal
ginjal akut ini. “Yang paling penting, pengawasan industri obat harus diperketat
lagi,” tuturnya, Jumat, 21 Oktober lalu. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/nasional/167251/mengapa-pemerintah-lamban-mendeteksi-gagal-ginjal-anak |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar