Senin, 31 Oktober 2022

 

Rupiah Digital

A Prasetyantoko : Rektor Unika Atma Jaya.

KOMPAS, 25 Oktober 2022

 

                                                

 

Dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau RUU P2SK terdapat pasal yang mengatur keberadaan uang digital. Pasal ini merupakan tambahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang belum mengakomodasi keberadaan uang digital.

 

Dinyatakan bahwa nilai tukar terdiri dari rupiah kertas, logam, dan digital. Dengan demikian, nantinya Bank Indonesia bisa meluncurkan uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) yang tengah menjadi perhatian hampir semua bank sentral di seluruh dunia belakangan ini.

 

Sejauh ini baru dua negara yang telah meluncurkan CBDC, yaitu Bahama dengan sand dollar dan Jamaika dengan Jam-Dex. Beberapa negara sudah masuk fase percobaan, seperti Nigeria (e-Naira), China (e-CNY), dan Swedia (E-krona). Hingga Juli 2022 tercatat 15 bank sentral sudah melakukan uji coba, 15 lainnya di fase perancangan (proof of concept), dan 65 lagi, termasuk Indonesia, masih pada fase penelitian.

 

Urgensi penerbitan rupiah digital diperdebatkan di tengah banyaknya persoalan lain. Salah satunya adalah soal ketergantungan pada likuiditas asing yang diakibatkan dangkalnya pasar keuangan domestik.

 

Akibatnya, rupiah cenderung tidak stabil. Pekan lalu, Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan atau yang disebut sebagai BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 4,75 persen. Kebijakan yang tergolong progresif ini diambil terutama untuk mengantisipasi pelemahan nilai rupiah yang pada akhir minggu lalu mencapai Rp 15,600 per dollar AS.

 

Urgensi penerbitan CBDC tak bisa dilepaskan dari meningkatnya popularitas uang kripto yang bersifat anonim sehingga volatilitas sangat tinggi. Sejauh ini, uang kripto sulit menjadi mata uang karena tidak memenuhi syarat sebagai unit perhitungan (unit of account), alat penyimpanan (store of value), dan alat tukar (medium of exchange).

 

Belakangan ini dunia kripto terkoreksi sangat tajam, sekitar 60 persen dari tahun lalu, sehingga dinamai ”crypto winter”. Menyadari kekurangan ini, banyak pihak mengembangkan stablecoins atau uang kripto yang dikeluarkan oleh lembaga resmi, seperti Apple, Facebook, dan perusahaan digital lainnya atau dikaitkan dengan mata uang konvensional (fiat money). Dengan begitu, nilainya lebih stabil.

 

Kalaupun lebih stabil nilainya, stablecoins tidak bisa diakui secara luas karena terfragmentasi. Sifat ini menyulitkan jika digunakan sebagai mata uang dalam skala luas. Karena itu, uang digital yang dikeluarkan bank sentral menjadi solusi. Kehadiran CBDC penting di tengah lonjakan minat pada uang atau aset kripto.

 

Fokus pada stabilitas

 

Di Indonesia, investor pada aset kripto sudah mencapai 15 juta, jauh melebihi investor di pasar modal dan pasar utang. CBDC menjadi alternatif bagi penggunaan uang kripto yang sulit dibendung di era-Metaverse nanti. Di masa depan, ketergantungan pada uang kripto meningkat sehingga menciptakan shadow banking yang berpotensi menimbulkan instabilitas.

 

Meski tidak dalam waktu dekat, CBDC dibutuhkan sehingga perlu dipersiapkan infrastruktur, baik regulasi maupun teknologinya. Urgensi CBDC akan berbeda di tiap negara sehingga perlu dirumuskan dengan persis ruang lingkup kebutuhannya.

 

Sveriges Riksbank of Swedia, misalnya, berencana bermigrasi penuh pada CBDC. Sebagai salah satu bank sentral tertua di dunia yang berdiri pada 1668, bank sentral Swedia akan melayani sekitar 10 juta penduduk dengan tingkat pendapatan per kapita di atas 60.000 dollar AS. Selain itu, tingkat literasi keuangan dan teknologinya juga cukup baik sehingga siap untuk menggunakan E-krona secara penuh.

 

Situasi ini tentu saja sangat berbeda dengan kita. Namun, ketentuan tentang uang digital dalam RUU P2SK sangat membantu jika suatu saat diperlukan. Secara normatif, penerapan CBDC bisa meningkatkan transparansi, aksesibilitas yang mendorong kedalaman finansial, dan kecepatan operasi moneter yang mendukung stabilitas sistem keuangan. Dengan kata lain, uang digital bisa menjadi bagian solusi dari berbagai persoalan struktural di sektor keuangan kita.

 

Intervensi politik

 

Meski demikian, ada pasal lain yang perlu mendapat perhatian dalam RUU P2SK ini. Pertama, terkait hilangnya pasal yang mengatur independensi Bank Indonesia dari intervensi politik. Bisa jadi dihilangkannya pasal itu mengandaikan pihak yang terafiliasi politik otomatis tidak bisa dicalonkan sebagai gubernur dan anggota Dewan Gubernur. Sama seperti Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan yang tak secara khusus diatur dalam persyaratan pimpinannya harus bebas dari afiliasi politik.

 

Namun, ambiguitas segera muncul karena dalam persyaratan sebagai Dewan Pengawas OJK ataupun Badan Supervisi Perbankan justru disebut secara eksplisit larangan pihak dengan afiliasi politik. Jika untuk posisi, baik Dewan Komisioner maupun Dewan Gubernur tidak dituliskan larangan itu, bisa diinterpretasikan sebagai hal yang dimungkinkan. Guna memastikan independensi bank sentral, diperlukan pasal yang lugas.

 

Kedua, terkait dengan perubahan tugas Bank Indonesia. Sebagaimana diatur dalam UU No 23/1999, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam rancangan omnibus law sektor keuangan, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

 

Formulasi tujuan Bank Indonesia ini membingungkan. Dalam rumusan tersebut ada dua tugas utama Bank Indonesia, yaitu menjaga stabilitas nilai rupiah dan memelihara stabilitas sistem pembayaran. Tugas tambahan adalah turut menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menyebutkan konteksnya, yaitu dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

 

Mengapa aspek stabilitas sistem pembayaran harus secara eksplisit ditulis? Apakah karena ruang lingkup kebijakan Bank Indonesia sekarang hanya pada sistem pembayaran dengan berdirinya OJK? Jika demikian, penyebutan tersebut justru mengerdilkan peran BI.

 

Jika dengan tujuan tunggal Bank Indonesia dianggap terasing dari kompleksitas persoalan ekonomi, memberi berbagai tugas kepada Bank Indonesia juga tidak efektif kalau tidak mau dibilang tak realistis. Setiap tujuan memerlukan perangkat kebijakan yang bisa jadi bertentangan satu sama lain dalam pelaksanaannya.

 

Jalan tengahnya, memperluas tugas Bank Indonesia untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan, selain tugas utama menjaga stabilitas nilai rupiah. Stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan merupakan fondasi utama dari seluruh dinamika dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/24/rupiah-digital

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar