Selasa, 25 Oktober 2022

 

Jejaring Narkoba Sabu-Sabu Jenderal Teddy Minahasa

Linda Trianita :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 23 Oktober 2022

 

 

                                                           

KEPALA Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo baru saja menginjakkan kaki di Denpasar, Bali, pada Rabu pagi, 12 Oktober lalu. Di sana ia akan menghadiri peringatan dua dekade bom Bali. Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Mohammad Fadil Imran mendadak mengirim laporan: anak buahnya mengendus peran Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa dalam jaringan sabu-sabu Jakarta.

 

Jenderal Sigit tentu saja kaget bukan kepalang. Dua hari sebelumnya, ia menerbitkan telegram rahasia berisi promosi Teddy sebagai Kepala Polda Jawa Timur menggantikan Inspektur Jenderal Nico Afinta. Nico dianggap lalai menangani pertandingan sepak bola Arema FC-Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022 yang berujung pada tragedi tragedi Kanjuruhan, kematian 134 Aremania akibat tembakan gas air mata polisi.

 

Mendapat laporan Fadil Imran itu, Sigit memerintahkan anak buahnya menelurusi lebih jauh kebenaran informasi itu. “Kemarin Kepala Divisi Propam sudah diminta memeriksa Irjen TM,” ujar Sigit di Istana Negara pada Jumat, 14 Oktober lalu.

 

Tapi Teddy tak segera datang. Ia beralasan sudah mengatur janji dengan dokter gigi pada Kamis pagi. Lulusan Akademi Kepolisian tahun 1993 itu baru mendatangi Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dan langsung diperiksa pada Kamis malam sekitar pukul 19.00 WIB. Pemeriksaan maraton berlangsung hingga keesokan hari.

 

Pemeriksaan awal menyimpulkan Teddy melanggar kode etik. Ia langsung ditahan selama 30 hari di ruang tahanan Divisi Propam sejak Jumat, 14 Oktober lalu. Padahal, pada waktu yang bersamaan, Presiden Joko Widodo tengah memanggil semua kepala kepolisian resor dan kepolisian daerah serta pejabat Markas Besar Polri ke Istana Negara.

 

Teddy, 51 tahun, tak hadir dalam pertemuan itu. “Irjen TM ditetapkan terduga pelanggar dan dikenai penempatan khusus,” kata Sigit.

 

Bagaimana Fadil Imran melaporkan Teddy Minahasa ke Kapolri?

 

Menurut dia, Teddy menerima hasil penjualan 1 kilogram sabu sebesar Sin$ 241 ribu atau setara dengan Rp 300 juta beberapa hari sebelum ditangkap. Narkotik tersebut berasal dari sebagian barang bukti operasi penyitaan 41,4 kilogram sabu di Kepolisian Resor Bukittinggi pada Mei 2022. Teddy mencomot 5 kilogram untuk dijual lagi.

 

Saat pemeriksaan perdana, Teddy terlihat percaya diri. Ia yakin tak bersalah. Koordinator Pengamanan Joko Widodo saat menjadi calon presiden pada 2014 itu juga menyebar pernyataan tertulis. Ia membantah terlibat perdagangan sabu. “Saya bersumpah di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa bahwa saya tidak pernah sekali pun mengkonsumsi narkotik, apalagi menjadi pengedar narkotik,” tulis Teddy.

 

Jenderal Sigit dan Istana Negara dikabarkan kecele karena telanjur memilih Teddy menggantikan Nico Afinta. Sigit meneken telegram rahasia promosi Teddy pada Senin malam, 10 Oktober lalu. Esoknya, ia menghadap Presiden Joko Widodo untuk berkonsultasi tentang pemilihan figur Kepala Polda Jawa Timur pengganti Nico Afinta. Pada hari yang sama, Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Pusat mulai menangkap para tersangka jaringan sabu yang diduga terafiliasi kepada Teddy Minahasa.

 

Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah strategis karena jumlah penduduknya yang banyak. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, enggan mengomentari kabar yang menyebutkan Istana kebobolan atas penunjukan Teddy Minahasa sebagai Kapolda Jawa Timur. “Untuk isu ini, silakan ditanyakan ke Menteri Polhukam,” ucap Dini.

 

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. melalui Instagram pada Ahad, 16 Oktober lalu, menyitir “nasihat” pernyataan Teddy dengan nada menyindir. “Turuti nasihat yang Mulia Teddy Minahasa Putra yang beredar di publik, tapi jangan tiru tingkah lakunya,” ujar Mahfud.

 

•••

 

PERAN Inspektur Jenderal Teddy Minahasa terungkap setelah “nyanyian” Linda Pujiastuti alias Anita dan Kepala Bagian Pengadaan Biro Logistik Polda Sumatera Barat Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara. Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya meringkus Linda di rumahnya di kawasan Kedoya, Jakarta Barat, pada Rabu, 12 Oktober lalu.

 

Pada hari yang sama, penyidik turut mencokok Dody di rumahnya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. “Keterangan D dan L menyebutkan keterlibatan Irjen TM sebagai pengendali barang bukti 5 kilogram sabu,” tutur Direktur Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Mukti Juharsa kepada wartawan pada Jumat, 14 Oktober lalu.

 

Penangkapan Anita dan Dody merupakan pengembangan dari rangkaian operasi tim Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat sejak 10 Oktober lalu. Sebelum menangkap Dody dan Linda, mereka menciduk Kepala Kepolisian Sektor Kalibaru, Jakarta Utara, Komisaris Kasranto, dan anggota Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Barat, Ajun Inspektur Satu Janto Situmorang, atas kepemilikan 305 gram sabu.

 

Kasranto dan Janto diduga menjual sabu-sabu kepada Hendra dan Siska melalui Abeng dan anggota Polsek Kalibaru, Ajun Inspektur Dua Achmad Darmawan. Sebelum menangkap Kasranto dan Janto, polisi menahan Hendra, Siska, dan Abeng. Peran polisi di jaringan ini terungkap lewat kesaksian ketiganya.

 

Mendapati banyaknya personel polisi yang terlibat, Kepala Polres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Komaruddin lantas menghadap Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran. “Perintah Kapolda untuk menindak tegas dan mengungkap peredaran sampai ke akarnya,” katanya.

 

Komaruddin menggandeng Bidang Profesi dan Pengaman Polda Metro Jaya. Komisaris Kasranto mengaku memperoleh sabu dari Linda alias Anita. Selain menangkap Linda, polisi menggeledah rumahnya dan menemukan 1 kilogram sabu di lemari dapur.

 

Dari sinilah kongkalikong itu terungkap. Linda mengaku mendapatkan sabu-sabu itu dari Inspektur Jenderal Teddy Minahasa lewat Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara. Polisi juga menggeledah rumah Dody. Mereka menemukan 2 kilogram sabu yang disimpan di bawah laci kamar tamu di lantai dua rumahnya.

 

Menurut dua perwira tinggi dan seorang perwira menengah, Anita langsung bicara blakblakan saat diinterogasi polisi. Ia ditengarai sengaja mengungkap nama Teddy Minahasa dengan harapan kasus perdagangan sabu ini hanya ditutup sampai figur Komisaris Kasranto. Namun perkiraan Anita meleset. Kasus ini justru mendapat atensi khusus dari Irjen Fadil Imran.

 

Kepada penyidik, Anita dan Dody menjelaskan secara detail bagaimana memperoleh seluruh sabu hingga jatuh ke tangan Kasranto. Kasus ini bermula ketika Ajun Komisaris Besar Dody yang masih menjabat Kepala Polres Bukittinggi berhasil menggagalkan penyelundupan sabu-sabu 41,4 kilogram asal Malaysia pada pertengahan Mei 2022. Anak buahnya menangkap delapan pelaku dalam kasus ini.

 

Dody melapor kepada Teddy. Lantaran pengungkapan kasus ini merupakan tangkapan terbesar di wilayah Sumatera Barat, Teddy datang ke Bukittinggi untuk menghadiri konferensi pers pada 21 Mei 2022.

 

Keanehan muncul sehari sebelum Polres Bukittinggi menggelar rilis. Saat itu Teddy menginap di Hotel Santika. Ia memanggil Dody. Mereka bertemu di dalam kamar hotel.

 

Teddy memerintahkan Dody menyisihkan 10 kilogram barang bukti sabu. Biasanya, setelah dirilis ke publik, seluruh sabu yang menjadi barang bukti akan langsung dimusnahkan. “Mas, itu bisa enggak disisain? Disisihkan,” ujar Teddy kepada Dody.

 

Kepada penyidik, Dody mengklaim sempat menolak permintaan Teddy. Seusai negosiasi, ia hanya menjanjikan akan mengambil 5 kilogram sabu. Saat itu seluruh sabu tersimpan dalam peti kayu di ruangan penyimpanan barang bukti.

 

Pulang dari hotel, Dody memerintahkan anak buahnya memindahkan seluruh sabu ke ruangannya. Ia mengajak salah seorang kerabatnya, Samsul Maarif alias Arif. Keduanya diam-diam mengambil bungkusan berisi 5 kilogram sabu, lalu mengganti isinya dengan tawas.

 

Dody mengaku tak satu pun anak buahnya tahu penggelapan sabu itu. Pada hari konferensi pers, seluruh barang bukti sabu bersama tawas sempat dipajang ke hadapan wartawan. Setelah selesai, seluruh barang bukti dimasukkan ke peti, lalu dikubur di halaman Polres. Selama beberapa hari, Teddy meminta Dody menyimpan dadah tersebut.

 

Perdagangan sabu baru dimulai pada Juni lalu. Linda menghubungi Teddy. Dalam percakapan di akun WhatsApp tersebut, Linda meminta tiket ke Brunei Darussalam kepada Teddy. Ia hendak menjual keris antik.

 

Linda adalah sahabat lama Teddy. Keduanya saling mengenal saat Teddy masih berpangkat ajun komisaris besar dan bertugas di Satuan Penyelenggara Administrasi Surat Izin Mengemudi Daan Mogot, Jakarta Barat, pada 2005. Linda juga dikenal sebagai cepu (informan) yang mengenal banyak anggota kepolisian.

 

Linda menyimpan nomor telepon Teddy dengan nama “MY JENDRAL”. Dalam obrolan itu, Teddy menyampaikan memiliki sabu 5 kilogram. “Barang di tangan saya. Kamu jual saja,” kata Teddy kepada Linda. “Lho gitu, sabune neng ndi (sabunya di mana), Pak?” balas Linda. Bukti percakapan itu sudah dikantongi penyidik.

 

Teddy memerintahkan Dody menghubungi Linda. Karena gentar, Dody mengutus Arif untuk menemui Linda. Ia meminta Arif mengaku sebagai Dody. Percakapan itu berujung agar seluruh sabu “ilegal” itu dibawa ke Ibu Kota.

 

Pada Kamis, 22 September lalu, Dody bersama Arif membawa sabu 5 kilogram itu dengan menempuh jalur darat dari Bukittinggi ke Jakarta. Mereka tiba dua hari berikutnya. Hari itu pula Dody meminta mengantar 5 kilogram sabu ke rumah Anita di Kedoya. Anita sempat menolak mereka karena sabu yang akan dijual dianggap terlalu banyak.

 

Teddy meminta Linda menerima barang titipan tersebut. Linda luluh. Ia menghubungi Komisaris Kasranto, yang dikenal sejak tahun 2000. “Ini ada barang, Jenderal, mau enggak?” tutur Anita kepada Komisaris Kasranto. Kepala Polsek Kalibaru itu menyambut tawaran Anita dan setuju menghargai sabu tersebut Rp 400 juta per kilogram.

 

Kasranto hanya menyanggupi membeli 1 kilogram. Awalnya Teddy menolak. Ia berharap sabu itu dijual 5 kilogram sekaligus. Teddy akhirnya setuju sabu tersebut dijual secara eceran. Tapi pembayaran harus tunai.

 

Linda mengantarkan sabu itu ke Polsek Kalibaru. Ia menerima Rp 400 juta. Uang itu diserahkan sebanyak Rp 350 juta kepada Arif yang berpura-pura sebagai AKBP Dody. Linda mengambil komisi sebesar Rp 50 juta dari transaksi itu.

 

Arif turut mengambil komisi sebesar Rp 50 juta. Ia menukarkan uang Rp 300 juta menjadi Sin$ 241 ribu. Uang ini lantas diserahkan kepada Dody untuk selanjutnya diteruskan ke Teddy.

 

Dalam kesaksiannya, Dody mengatakan Teddy sempat marah karena hanya menerima setoran Rp 300 juta. Teddy menganggap upah kurir hanya 10 persen dari total harga atau dalam transaksi ini senilai Rp 40 juta. Teddy kemudian memerintahkan Dody mengambil sisa sabu sebanyak 4 kilogram dari tangan Linda.

 

Tak berani membantah, Dody meminta Arif mengambil sisa sabu 4 kilogram dari rumah Anita. Meski sabu sudah diambil, Arif kembali mengantar lagi 2 kilogram sabu itu kepada Anita pada 3 Oktober lalu. Kasranto ingin membeli sabu lagi dari Anita. Tapi ia hanya mengambil 1 kilogram karena cuma mengantongi uang Rp 200 juta.

 

Kasranto menjual sabu secara eceran. Sampai akhirnya sabu yang tersisa tinggal 305 gram. Saat itulah ia ditangkap oleh penyidik Polres Metro Jakarta Pusat.

 

Pengacara Teddy Minahasa, Henry Yosodiningrat, membantah jika kliennya disebut menjual sabu yang menjadi barang bukti kasus narkotik. Ia mengatakan Teddy menyisihkan sabu dari Polres Bukittinggi untuk kepentingan dinas.

 

Rencana buyar karena Dody Prawiranegara dimutasi ke Biro Logistik Polda Sumatera Barat pada awal Oktober lalu. “Mutasi ini membuat kecewa Kapolres karena ekspektasinya naik menjadi komisaris besar seiring dengan rencana kenaikan Polres Kota Bukittinggi menjadi tipe A,” ujar Henry pada Rabu, 19 Oktober lalu.

 

Henry mengklaim penjualan sabu melalui Anita itu sebagai bagian dari undercover dan delivery control alias operasi penjebakan. “Supaya nanti Kapolres dapat prestasi lagi,” ucapnya. Teddy, kata Henry, mengaku tak tahu ihwal wujud sabu yang disisihkan itu. Ia bahkan tak tahu jumlah beratnya.

 

Teddy tak membantah jika disebut mengenalkan Dody kepada Linda. Teddy juga mengaku pernah sakit hati kepada Linda. Teddy menuding Linda pernah memberi informasi yang salah mengenai rencana penyelundupan narkotik sebanyak 2 ton melalui jalur laut.

 

Teddy mengatakan sudah menghabiskan uang pribadi sebesar Rp 20 miliar untuk berburu penyelundup narkotik itu di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. “Saya merugi. Ketika dia menghubungi minta biaya operasional ke Brunei untuk jual keris pusaka, tidak saya berikan. Saya tawarkan berkenalan dengan Kapolres Bukittinggi karena yang bersangkutan ada barang sitaan narkoba,” ujar Teddy dalam rilisnya.

 

Pengacara Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara, Adriel Viari Purba, menuding Teddy Minahasa sebagai otak rentetan peristiwa perdagangan sabu itu. Dia membenarkan jika Dody disebut sempat menolak perintah Teddy untuk menyisihkan seperempat dari 41,4 kilogram sabu yang menjadi barang bukti. “Pihak TM tetap mendesak dan akhirnya dia terima menjalankan perintahnya agar loyal. Makanya dia meminta Arif, tangan kanannya, sampai menukar tawas dengan sabu,” tutur Adriel.

 

Atas berbagai perbuatan buruk anak buahnya, dari polisi rendahan hingga jenderal seperti Teddy Minahasa dan Ferdy Sambo dalam pembunuhan ajudannya, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan saat ini Korps Bhayangkara dalam proses pemurnian menjadi emas 24 karat. “Kita sedang diayak, kita sedang disaring,” ujar Sigit di akun Instagram pada Kamis, 20 Oktober lalu. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/167252/jejaring-narkoba-sabu-sabu-jenderal-teddy-minahasa

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar