Minggu, 30 Oktober 2022

 

Johannes Leimena, Kongres Pemuda II, & Ide Cikal Bakal Puskesmas

Petrik Matanasi :   Jurnalis Tirto.id

TIRTO.ID, 27 Oktober 2022

 

 

                                                           

Pada 29 Maret 1977, Johannes Leimena wafat di Jakarta. Dia adalah pahlawan nasional sekaligus menteri yang paling lama menjabat selama era Presiden Sukarno. Leimena duduk dalam 18 kabinet berbeda dengan masa jabatan yang merentang selama hampir 20 tahun.Sebelum jadi dokter, Leimena ikut terlibat aktif dalam Kongres Pemuda II 1928. Leimena yang dikenal sebagai eksponen Jong Ambon ini ikut dalam kepanitiaan kongres sebagai Pembantu IV. Selain di Jong Ambon, Leimena juga aktif dalam Christelijke Studentenvereniging (CSV).

 

Aktivisme Leimena tentu tak berhenti di momen itu saja. Dia l

ulus dari Sekolah Pendidikan Dokter Hindia atau School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) pada 1930. Setelah itu, dia melanjutkan ke Sekolah Tinggi Kedokteran atau Geneeskundig Hooge School (GHS) pada 1939.

 

Leimena pernah menjadi dokter zending di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Menurut Hans Pols dalam Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019, hlm. 281), agama Kristen dan cita-cita akan keadilan sosial adalah dua bibit motivasi yang menggerakkan Leimena.

 

Presiden Sukarno amat kagum pada karakter dan sangat percaya pada Leimena. Hal itu dia terangkan secara gamblang dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007) yang ditulis Cindy Adam.

 

“Ambilah misalnya Leimena...saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indra keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui,” aku Sukarno.

 

Apa yang dikatakan Sukarno bukanlah omongan seorang politisi. Leimena beberapa kali dipercaya oleh Presiden Sukarno untuk menjadi menteri kesehatan. Selama menjadi menteri, Leimena tertarik dengan bantuan dan saran ahli organisasi kesehatan soal pelayanan kesehatan.

 

Salah seorang kolega Leimena adalah Abdoel Patah (1898-1959), seniornya di STOVIA yang lulus pada 1921. Dokter kelahiran Majalaya, Jawa Barat itu kemudian melanjutkan belajar ilmu kedokteran di Belanda pada 1930-an. Disertasinya berjudul De Medische Zijde van de Bedevaart naar Mekka.

 

“Abdoel Patah beberapa kali mengikuti kapal haji dan tujuh tahun lamanya bekerja di perwakilan Belanda di Jeddah,” tulis Harry Poeze dalam Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950 (2008).

 

Setelah Revolusi Kemerdekaan, keduanya memikirkan bagaimana pengobatan modern ala kedokteran Barat bisa dinikmati masyarakat luas hingga ke pelosok desa. Mereka, seperti disebut Lucia Endang dan Linda Shield dalam Primary Health Care in Indonesia (1990), kemudian merumuskan konsep kesehatan masyarakat yang disebut sebagai Bandung Plan.

 

Konsep yang dipresentasikan Leimena pada 1952 ini meliputi pembangunan rumah sakit pusat di kota, rumah sakit pembantu di kabupaten, poliklinik di kecamatan, dan pos kesehatan di desa terpencil. Menurutnya, jika tidak teratasi di tingkat kecamatan, warga yang sakit bisa dialihkan ke rumah sakit pembantu atau rumah sakit kota.

 

“Leimena mengusulkan untuk mengintegrasikan pusat-pusat kesehatan masyarakat, pendidikan kesehatan masyarakat, dan perawatan kuratif pada empat tingkat tersebut,” imbuh Hans Pols.

 

Gagasan mereka membuat sistem kesehatan masyarakat menjadi komponen wajib dalam kurikulum ilmu kedokteran di Indonesia. Para dokter yang telah lulus kuliah, diminta bekerja di daerah terpencil selama tiga tahun agar terjadi penyebaran perawatan medis yang lebih merata di Indonesia.

 

“Sejarah mencatat, pola pemikiran Leimena kemudian diteruskan pula pada zaman Orde Baru," tulis Frans Hitipeuw dalam Dr. Johannes Leimena, Karya dan pengabdiannya (1996).

 

Puskesmas dalam Pelita Orde Baru

 

Setelah tampuk kekuasaan berganti, gagasan Leimena dan Abdoel Patah diangkat lagi oleh Gerrit Augustinus Siwabessy (1914-1982), seorang dokter berdarah Ambon yang menjadi Menteri Kesehatan di awal pemerintahan Orde Baru. Dia adalah kawan dr. Ibnu Sutowo (1914-2001) mantan Direktur Pertamina, dan Roebiono Kertopati (1914-1984) mantan kepala Sandi Negara, saat bersekolah di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) Surabaya.

 

Tahun 1968, Siwabessy mempresentasikan ide Leimena dan Abdoel Patah tentang pembangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di setiap Kecamatan. Usulannya diterima oleh presiden daripada Soeharto dan jadi bagian dari program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) Pemerintah Orde Baru.

 

Menurut Erlita dan kawan-kawan dalam Sang Upuleru: Peringatan 100 Tahun Prof. DR. GA Siwabessy (2014, hlm. 184), terdapat 2.000 puskesmas pada Pelita II dan setiap tahun jumlahnya bertambah. Sampai tahun 1992/1993, jumlah puskesmas sudah mencapai 6.749 unit.

 

Di tiap daerah rasio antara jumlah puskesmas dan jumlah penduduk yang harus dilayani berbeda-beda. Berdasarkan buku 30 Tahun Orde Baru Membangun (1995), di Jawa dan Bali satu Puskesmas melayani 30.000 penduduk dan didukung oleh 2 sampai 3 puskesmas pembantu. Sementara di luar dua daerah itu yang penduduknya tidak terlalu padat, rasionya adalah satu puskesmas diperuntukkan bagi 10.000 sampai 20.000 penduduk dengan didukung juga oleh 2 sampai 3 puskesmas pembantu. Secara keseluruhan, satu puskesmas rata-rata melayani 27.000 penduduk.

 

Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 1982, puskesmas perlu dibangun di kecamatan yang berpenduduk lebih dari 30.000 jiwa. Inpres tersebut menyebutkan bahwa puskesmas dibangun “untuk mempertinggi dan meningkatkan pelayanan kesehatan terutama kepada penduduk desa dan penduduk kota yang berpenghasilan rendah.” Selain itu, untuk melayani kebutuhan masyarakat diadakan juga puskesmas keliling.

 

Agar setiap puskesmas dilayani dokter, maka di era Siwabessy pun diadakan program Dokter Inpres. Para dokter muda didorong untuk menunaikan tugas wajib kerja sarjana (WKS). Selain membangun puskesmas, Orde Baru pun membuat pelbagai program kesehatan lain dan mengontrol tingkat pertumbuhan penduduk melalui Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan Keluarga Berencana (KB).

 

Pelayanan puskesmas di zaman Orde Baru bukan tanpa masalah. Menurut dokter Djanuar Achmad seperti dikutip Hans Pols, para dokter yang bertugas di puskesmas kebanyakan kurang antusias bekerja. Mereka sekadar menggugurkan kewajiban dengan hanya tiga tahun pertama menjadi dokter puskesmas. Bagi mereka, pekerjaan tersebut tidak ada artinya bagi perkembangan karier. Selain itu, waktu para dokter pun habis untuk urusan administrasi sehingga banyak layanan kesehatan dikerjakan oleh perawat yang kurang terlatih.

 

Dalam sejarah panjang pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dengan pelbagai kelebihan dan kekurangannya, Siwabessy dianggap sebagai Pelopor Puskesmas dan Leimena disebut Bapak Puskesmas Indonesia.

 

Sumber :   https://tirto.id/johannes-leimena-kongres-pemuda-ii-ide-cikal-bakal-puskesmas-ehyG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar