Minggu, 30 Oktober 2022

 

Bagaimana Saham Bukit Asam Karam Karena PLTU PLN

Khairul Anam :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 30 Oktober 2022

 

 

                                                           

KESEPAKATAN di Nusa Dua, Bali, pada Selasa, 18 Oktober lalu, membuat saham PT Bukit Asam Tbk melorot. Ibarat terperosok ke sumur yang dalam, saham berkode PTBA ini masih sulit bangkit dari zona merah. Pada penutupan perdagangan, Jumat, 28 Oktober lalu, saham PTBA berada di level Rp 3.790, turun 10,8 persen dibanding pada Senin, 17 Oktober lalu.

 

Rupanya, investor di pasar modal masih terpengaruh kesepakatan antara PTBA dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN tentang jual-beli pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Palabuhanratu di Sukabumi, Jawa Barat. Pada 18 Oktober itu, PTBA meneken pokok-pokok kerja sama atau principal framework agreement tentang pembelian PLTU ini dari PLN.

 

Masalahnya, pemegang saham publik PTBA tak pernah mengetahui rencana ini. Padahal nilai pembelian PLTU itu cukup tinggi. Rumor yang beredar menyebutkan nilai transaksi ini mencapai Rp 12 triliun, sepertiga dari total aset PTBA pada 2021 yang mencapai Rp 36,1 triliun dan separuh dari ekuitas yang sebesar Rp 24,2 triliun.

 

Hal ini yang membuat investor resah dan beramai-ramai melepas saham PTBA. Bahkan, sesaat setelah pengumuman transaksi itu, saham PTBA anjlok hingga mendekati batas bawah atau auto rejection bawah. "Muncul kekhawatiran dan isu bahwa pembagian dividen akan menipis gara-gara akuisisi yang diproyeksikan menggunakan kas internal," kata Manager Research and Consulting Infovesta Nicodimus Kristiantoro kepada Vindry Florentin dari Tempo pada Senin, 24 Oktober lalu. 

 

Jelas saja investor waswas kas PTBA bakal tergerus untuk mengongkosi pembelian PLTU Palabuhanratu. Jika kas terkuras, akan ada laba yang ditahan dan pemegang saham urung meraih dividen besar. Padahal pada 2021 PTBA mampu membagikan 100 persen laba yang saat itu mencapai Rp 7,5 triliun. 

 

Sejatinya, principal framework agreement antara PTBA dan PLN belum bersifat mengikat. Dalam keterangan yang disampaikan kepada Bursa Efek Indonesia, manajemen PTBA menyatakan akan melakukan uji tuntas atau due diligence secara komprehensif atas aksi korporasi tersebut. “Di antaranya untuk menentukan nilai kewajaran dan dampak terhadap transaksi," tutur Sekretaris Perusahaan PTBA Apollonius Andwie pada Jumat, 21 Oktober lalu.

 

Pembelian PLTU berkapasitas 3 x 350 megawatt itu adalah bagian dari rencana transisi energi di sektor kelistrikan. Setelah pembangkit listrik berbahan bakar batu bara itu dibeli PTBA, masa operasinya akan dipangkas dari 24 tahun menjadi 15 tahun. Program pensiun dini PLTU ini bertujuan mengejar target nol emisi karbon pada 2060. Skema ini pun sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik.

 

Dalam hitungan PTBA, masih ada keuntungan dari pembelian PLTU Palabuhanratu yang masa operasinya dipangkas. Kementerian Badan Usaha Milik Negara juga menyebutkan tak semua ongkos transaksi ini ditanggung PTBA karena ada peluang masuknya investor yang sudah berkomitmen terlibat dalam program pensiun dini PLTU di Indonesia.

 

Dalam persiapan pertemuan State Owned Enterprise International Conference pada Ahad, 16 Oktober lalu, Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury mengatakan skemanya sudah disiapkan. “Tapi tidak bisa berjalan kalau cuma ada investor baru dan PLN, harus didukung juga dengan green financing yang selama ini dijanjikan oleh negara Barat,” ucapnya.

 

Pahala mengatakan Indonesia sudah siap memensiunkan dini PLTU bekerja sama dengan mitra strategis pemerintah. Hanya, dia berharap bantuan pendanaan dari negara Barat serta sejumlah lembaga keuangan internasional dapat menopang komitmen pemadaman operasi pembangkit fosil tersebut secara bertahap.

 

Namun sejumlah sumber Tempo mengatakan PLN tak kunjung mendapat investor yang mau mengambil alih PLTU. Kementerian BUMN lantas mengebut perjanjian transaksi PTBA dan PLN sebagai satu-satunya jalan keluar sementara.

 

***

 

PERUSAHAAN Listrik Negara memasang target penyudahan masa operasi PLTU berkapasitas total 6,7 gigawatt (GW) pada 2040. Dari target tersebut, PLN akan menghentikan pengoperasian PLTU berkapasitas 3,2 GW secara alami, sisanya melalui program pensiun dini atau early retirement. Seperti yang terjadi pada PLTU Palabuhanratu. “Kunci pensiun dini PLTU, bagaimana bisa mendapatkan pendanaan murah untuk membiayainya,” tutur Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PLN Hartanto Wibowo pada Jumat, 28 Oktober lalu.

 

Pemerintah sebenarnya mendapat sokongan banyak pihak dalam program pensiun dini PLTU batu bara. Dalam Konferensi Perubahan Iklim Dunia atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, awal November 2021, Indonesia bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Filipina meluncurkan program kerja sama Energy Transition Mechanism (ETM), skema pendanaan untuk mengongkosi program pensiun dini PLTU. Caranya adalah mengemas dan mengumpulkan pendanaan dari investor, dana hibah, dana amal, serta pinjaman untuk membeli PLTU yang bisa diperpendek masa operasinya. ADB yang bertindak sebagai sponsor utama menjanjikan pendanaan hingga miliaran dolar Amerika Serikat untuk Indonesia dan Filipina.

 

Masalahnya, dana yang dibutuhkan sangat besar. Menurut hitungan Prudential, dibutuhkan US$ 16-29 miliar untuk mengongkosi program pensiun dini PLTU batu bara di Indonesia. Bersama Citibank dan HSBC, Prudential berkomitmen ikut serta dalam skema ETM yang digagas ADB. Sejak itu, PLN menjajaki minat investor, lembaga pembiayaan, bank, juga lembaga filantropis dan donor multilateral.

 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan beberapa lembaga pembiayaan dan investor yang didekati PLN berasal dari Jepang dan Korea Selatan. Di antaranya Japan Bank for International Cooperation dan Korea Development Bank. Namun tawaran PLN, Fabby mengungkapkan, tak bersambut. “Bank-bank itu saja mau melepas aset PLTU mereka. Disuruh beli aset PLTU lain ya tidak mau,” ucapnya pada Jumat, 28 Oktober lalu.

 

Menurut Fabby, PLN menawari lembaga-lembaga itu masuk skema ETM. Kementerian Keuangan telah menunjuk PT Sarana Multi Infrastruktur atau SMI sebagai Country Platform Manager ETM. Dengan kata lain, SMI yang akan mengemas skema fiskal dan nonfiskal untuk pendanaan ETM.

 

Sedangkan Hartanto Wibowo mengatakan, ketika pergi ke luar negeri, PLN tidak hanya mencari pemodal, tapi juga melakukan studi banding. “Kami ingin tahu seperti apa pasar dan dunia melihat transisi energi. Jadi tidak hanya menawarkan PLTU,” ujarnya.

 

Di dalam negeri, PLN mendekati Indonesia Investment Authority (INA), sovereign wealth fund yang dibentuk pemerintah pada 2021. PLN menawari INA membeli PLTU untuk program pensiun dini.

 

Deputi Chief Executive INA Arief Budiman mengakui PLN menawarkan akuisisi terhadap PLTU yang akan pensiun dini. Saat itu, kata Arief, PLN tidak menyebutkan spesifik PLTU Palabuhanratu atau aset lain. “Sebatas INA mau ambil ini atau tidak, atau mau ambil sebagian,’’ ucapnya pada Rabu, 26 Oktober lalu.

 

Di hadapan PLN, Arief menambahkan, INA mengatakan tertarik. Tapi INA belum bisa menghitung skala komersialnya karena tidak ada perjanjian jual-beli listrik atau power purchase agreement (PPA). Karena itu, INA meminta PLN memisahkan sebagian PLTU yang akan disudahi masa operasinya atau dimasukkan sebagai aset anak usaha. Nantinya anak usaha ini yang membuat PPA dengan PLN selaku pembeli listrik. Dengan cara ini, Arief menambahkan, INA bisa menghitung aspek komersial program tersebut. “Kalau hasil penghitungannya masuk skala komersial kami, kami tertarik,” ujarnya.

 

Kini INA malah bersiap mengakuisisi pembangkit listrik swasta atau independent power producer. Lembaga ini sudah menghimpun pembiayaan murah hingga US$ 800 juta dan modal US$ 100 juta untuk mengambil alih pembangkit swasta dan memangkas masa operasinya. “Kapasitasnya 600 megawatt,” kata Arief.

 

Senada dengan Hartanto, Arief menyebutkan kunci program pensiun dini PLTU adalah pendanaan yang murah. Dengan pembiayaan berbunga rendah, target program itu dapat tercapai. Kendati masa operasi lebih pendek dan harga jual-beli listrik ke PLN tak berubah, pemilik pembangkit listrik tetap mendapat margin yang pantas dan keuntungannya tidak menurun. “Pemilik lama atau baru tidak boleh dirugikan dalam skema ini. Itu kuncinya,” tutur Arief.

 

•••

 

PROGRAM pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap dan pembiayaannya tak semulus perencanaan. Sebab, program itu tidak masuk kriteria pembiayaan hijau dari negara-negara maju, khususnya dari Eropa. Walhasil, tidak banyak lembaga pembiayaan ataupun investor dari kawasan tersebut yang mau urun mendanai program ini.   

 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan tetap ada peluang menarik investor dalam program pensiun dini PLTU. Dia memberi contoh Filipina yang memakai skema ETM. Pada Juli lalu, ETM Philippines Holdings Inc dengan sokongan The Insular Life Assurance Company Ltd (InLife), perusahaan asuransi jiwa bersama asal negara itu, mengakuisisi South Luzon Thermal Energy Corporation berkapasitas 244 megawatt dari ACEN, bagian dari Ayala Group, dengan dana 3,7 miliar peso atau Rp 991 miliar. “Perusahaan investasi itu mencari portofolio. Selama masih menghasilkan, pasti mau. Jadi tidak harus mencari pendanaan dari bank,” ujar Fabby.

 

Investor seperti InLife itulah yang selama ini dicari oleh PLN dan pemilik PLTU lain. Namun sampai saat ini belum ada yang mau. Karena itu, pemerintah mencari terobosan.

 

Sumber Tempo mengatakan dua bulan sebelum penandatanganan principal framework agreement antara PLN dan PTBA tentang PLTU Palabuhanratu, Kementerian BUMN turun tangan. Kementerian menugasi PTBA membeli PLTU PLN meski aksi korporasi ini belum masuk rencana bisnis perseroan. Pembicaraan ini, menurut sumber Tempo, terjadi dua bulan lalu.

 

PTBA dianggap sebagai perusahaan pelat merah yang paling cocok melaksanakan tugas itu. Selain mempunyai duit, PTBA memiliki bisnis yang berhubungan dengan PLTU, yaitu tambang batu bara. Dengan mengoperasikan PLTU, PTBA bisa mengamankan pasar batu bara yang mereka gali di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

 

PLTU Palabuhanratu membutuhkan 4,5 juta ton batu bara per tahun atau 67,5 juta ton selama 15 tahun. Bagi PTBA, angka ini adalah pasar yang menggiurkan. Melalui penjualan batu bara ke PLTU itu, PTBA bisa meraih pendapatan sebesar Rp 6 triliun per tahun, termasuk dari penjualan listrik PLTU Palabuhanratu ke PLN.

 

Saat dimintai tanggapan tentang informasi penugasan dari Kementerian BUMN untuk membeli PLTU Palabuhanratu, Sekretaris Perusahaan PTBA Apollonius Andwie tak menjawab. Dia hanya menjelaskan bahwa PTBA berkomitmen mendukung kebijakan pemerintah yang mendorong pensiun dini PLTU dalam rangka transisi menuju energi bersih. Andwie pun mengatakan rencana itu baru sebatas principal framework agreement. “Sampai saat ini PTBA baru menjajaki pengambilalihan PLTU Palabuhanratu,” tuturnya.

 

Sedangkan Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PLN Hartanto Wibowo membantah kabar bahwa diskusi tentang pengambilalihan PLTU Palabuhanratu dengan PTBA baru dimulai dua bulan lalu. Pembicaraan dengan PTBA, kata dia, berlangsung sejak PLN mencanangkan inisiatif pensiun dini PLTU. “Kementerian BUMN melihat ini sebagai suatu sinergi antar-perusahaan milik negara. Tapi ini belum bicara transaksi, baru bicara hal pokok,” ucapnya.

 

Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury tak menjawab pertanyaan Tempo yang diajukan sejak Selasa, 25 Oktober lalu, tentang rencana pengambilalihan PLTU Palabuhanratu oleh PTBA. Dalam pertemuan State Owned Enterprise International Conference di Bali, dua pekan lalu, Pahala mengatakan ingin mengajak semua pihak. “Kami ingin bilang transaksi sudah siap, pihaknya juga sudah ada, skemanya sudah ada.” Tapi rencana ini akhirnya membuat investor publik pemegang saham Bukit Asam bersikap masam. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/167300/bagaimana-saham-bukit-asam-karam-karena-pltu-pln

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar