Planetarium TIM dan
Sejumlah Masalah Revitalisasi Seno Joko Suyono : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
KOLAM itu terlihat indah.
Letaknya di depan bangunan besar Planetarium dan Observatorium Taman Ismail
Marzuki di Cikini, Jakarta Pusat. Posisinya yang menghiasi bangunan kubah
dengan kaca-kaca melingkar seperti rotunda membuatnya cantik. Kolam itu
posisinya juga tak jauh dari teater tertutup Taman Ismail Marzuki, yaitu
teater arena. Kolam itu terasa menyegarkan dan memberi variasi tata halaman
terbuka. Di depan kolam itu terdapat selasar berlantai kayu menuju lokasi
baru teater arena. Selasar itu sering digunakan anak-anak untuk berlatih
teater. Ini terlihat sebagai terobosan arsitektur, tapi panorama elok kolam
itu bisa menyesakkan bagi para pegawai Planetarium, astronom, dan masyarakat
pencinta astronomi. “Dulu di kolam itu tempat
lokasi peneropongan. Di situ kami menggunakan teropong bintang Takashi untuk
mengamati langit. Sekarang, karena bangunan dihilangkan, teropong itu kami
gudangkan,” kata Widya Sawitar, pensiunan pegawai Planetarium, lulusan
astronomi Institut Teknologi Bandung yang pernah mengabdi di Planetarium TIM
selama 30 tahun. Teropong Takashi, Widya menjelaskan, memiliki diameter 15
sentimeter dan bisa digunakan mengamati Andromeda. Bukan hanya peneliti,
komunitas pencinta astronomi pun bisa turut menggunakannya. “Tiap malam
mereka bisa naik ke atas. Ruangannya cukup luas sampai bisa menampung 100 orang,
tapi sering kami batasi 50 orang,” ucap Muhammad Rayhan, karyawan Planetarium
yang sebelum bekerja di Planetarium aktif dalam Himpunan Astronomi Amatir
Jakarta. Tapi sampai minggu ini
tidak ada lagi kegiatan peneropongan seperti itu. Planetarium dan
Observatorium belum dibuka. Tak terlihat juga pemandangan anak-anak yang
berbondong-bondong mengantre hendak menonton simulasi bintang. “Banyak yang
menanyai saya di pertemuan atau di media sosial mengenai kapan Planetarium
dibuka,” ujar Karlina Supeli, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Jakarta, yang juga astronom dan pernah bekerja di Planetarium TIM. Planetarium dan
Observatorium TIM sesungguhnya adalah penghuni tertua di lahan bekas kebun
binatang Raden Saleh di Cikini tersebut. Bangunan Planetarium lebih dulu ada
daripada TIM yang baru diresmikan pada 1968. Sukarno adalah penggagas
Planetarium. Pada 1960-an ia menginginkan di pusat Jakarta ada sebuah lembaga
peneliti antariksa. Ia mengeluarkan surat keputusan presiden pada 1963 untuk
mewujudkan hal tersebut. Pada 9 September 1964, Sukarno melakukan pemancangan
tiang pertama pembangunan Planetarium. Dalam pidatonya Sukarno
mengatakan Planetarium Jakarta akan menjadi salah satu planetarium terbesar
di dunia karena kubahnya berdiameter 23 meter. Ia menekankan pentingnya
Jakarta memiliki planetarium karena sejak masa Galileo Galilei, Nicolaus
Copernicus, dan Johannes Kepler, cara umat manusia mengamati tata surya
bertolak dari sains, bukan takhayul. “Saudara, sebagai bangsa yang baru lahir
kembali, kita harus cepat mengejar keterbelakangan kita, mengejar di segala
lapangan, lapangan politik, ekonomi kita kejar, lapangan ilmu pengetahuan
kita kejar, supaya kita benar-benar dalam waktu yang singkat bisa bernama
bangsa Indonesia yang besar,” demikian penjelasan Sukarno saat itu. “Sukarno menghimpun dana
yang nilainya sangat besar waktu itu, sampai Rp 1 miliar lebih, untuk
pembangunan planetarium dan observatorium. Proyektor dibeli dari Jerman
Timur,” ujar Widya. Yang menarik adalah dana pembangunan didapatkan Sukarno
dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) dan para pengusaha batik
Indonesia. “Saya tidak tahu mengapa koperasi batik yang menyumbang. Mungkin
para anggotanya ada yang berminat sains,” Widya menambahkan. Dalam
pembangunan dan peralatan, semua didatangkan dari Jerman. GKBI menyumbang Rp
1, 67 miliar. Dalam sebuah kampanye pembangunan, GKBI menampilkan tagline
“Planetarium adalah kebutuhan revolusi, GKBI adalah alat revolusi”. Pengelolaan Planetarium di
zaman Sukarno selanjutnya berada di bawah Gubernur Jakarta Henk Ngantung.
“Tahun 1964, kubah sudah jadi seperti sekarang, sementara bangunan masih
terbangun sepertiga,” tutur Widya Sawitar. Tatkala pada 1965 meletus tragedi
September berdarah, pembangunan dihentikan sementara. Pembangunan planetarium
dilanjutkan kembali pada 1967 di bawah Gubernur Ali Sadikin. “Saya kagum
sekali, di masa paling gelap begitu, proyek ini diteruskan. Ini ekstravaganza
buat negara yang belum punya apa-apa,” kata Premana W. Premadi, Kepala
Observatorium Boscha. Pada 1967, kompleks Planetarium yang berbentuk huruf O
dan mengelilingi bangunan kubah rampung. “Kompleksnya cukup besar. Bahkan
gardu listrik Planetarium lalu menjadi gardu untuk seluruh wilayah Cikini
sampai sekarang,” tutur Widya. Pada tahun itu, Planetarium diketuai oleh
Santoso Nitisastro dari Boscha yang sedari awal terlibat perencanaan
Planetarium. Pada 1977-2001, Planetarium juga dipimpin seorang astronom,
yaitu Darsa Soekartadiredja. Menurut Premana W.
Premadi, peralatan Planetarium saat itu sudah tergolong canggih. Sejak awal
Planetarium menggunakan proyektor Carl Zeiss buatan Jerman. Proyektor
tersebut dibuat di pabrik Carl Zeiss pada 1959 dan baru dioperasikan
planetarium di New York dan Chicago, Amerika Serikat, pada 1960-an.
“Bayangkan Indonesia membangun planetarium pada 1964 dan pertunjukan pertama
memakai teknologi gres itu pada 1969. Indonesia yang ekonominya masih
morat-marit sudah punya planetarium dengan proyektor teknologi mutakhir. Luar
biasa,” ucap Premana. Selain memiliki teropong bintang
Takashi, Observatorium TIM sejak 1960-an dilengkapi teropong bintang merek
Code. Diameter teropong ini 15 sentimeter. Teropong tersebut diletakkan di
menara Observatorium setinggi 15 meter. Pengunjung yang sering ke TIM akan
melihat menara kecil berkubah yang bergambar mural Raden Saleh. Itulah tempat
teropong Code disimpan. Sebelum revitalisasi dilakukan, teropong sering
digunakan. Tapi menara ini sekarang digembok, terlihat lusuh, dan sama sekali
tak terjamah renovasi. Tatkala Tempo masuk kondisinya sangat mengenaskan.
Kotor. Tangga melingkar tampak karatan. Atap juga banyak yang bocor. Teropong
Code berwarna oranye itu terletak di lantai tiga, lantai paling atas.
“Teropong Code bisa untuk penelitian matahari dan bulan, tapi teleskop ini
sekarang agak cacat arah. Ibarat sniper, antara laras dan lubang intipnya
tidak match,” ujar Widya. Menurut Muhammad Rayhand,
teropong Code dulu sering digunakan untuk keperluan astrofotografi. “Untuk
mengambil data fotografi dari langit. Tapi sekarang, ya, tak bisa karena
optiknya tidak clear,” katanya. Kondisi atap kubah juga terlihat tak terawat.
Seharusnya lengkung kubah Observatorium bisa dibuka agar teropong dapat
diarahkan ke langit. Namun sekarang kemudi untuk membuka lengkung itu susah
diputar karena aus. Tempo mencoba memutar agar celah kubah terbuka, tapi
kemudi sangat berat. Yang paling aneh adalah
perlakuan JakPro terhadap observatorium tempat teropong terbesar Asco
disimpan. Teropong ini diameternya 31 sentimeter. Besar teropong hanya
separuh dari yang dimiliki Boscha. Teropong Asco sangat penting karena dapat
digunakan mengeker obyek-obyek jauh seperti galaksi dan kluster. Tapi kini
observatorium tempat penyimpanan Asco tidak bisa dimasuki karena tidak ada
pintu atau aksesnya. Sebelum revitalisasi ada tangga melingkar dari bawah
untuk dinaiki masuk ke Observatorium. Kalangan umum pun bisa gampang naik.
“Tapi akses tangga itu ditiadakan JakPro,” ujar Muhammad Rayhan. Sebetulnya di dinding
Observatorium ada pintu. “Tapi pintu itu juga ditembok hingga Asco terkurung
di dalam. Kami jadi sama sekali tidak bisa mengecek Asco. Kami ingin mengecek
apakah getaran-getaran saat pembangunan membuat kerusakan motorik Asco makin
parah atau tidak,” kata Rayhan. Yang juga lucu, awalnya di dekat sisi luar
blenduk kubah dipasang blower penyejuk ruangan atau AC sehingga menyebabkan
kubah tidak dibuka. “Bukaannya tidak bisa diputar karena terhalang blower
AC,“ tutur Rayhan. Tempo melihat blower AC itu sekarang sudah sedikit
dipindahkan letaknya. “Namun buat apa juga karena pintu ditembok?” ujar
Rayhan. Area lantai atas di dekat
kubah sendiri biasanya menjadi tempat kegiatan peneropongan bersama publik.
Kini Tempo melihat lokasi itu dipersolek dengan hamparan kerikil-kerikil,
terkesan seperti taman-taman kering. Sangat Instagrammable. “Persoalannya,
apabila kita mendudukkan tripod di kerikil ini, tripod tidak stabil,
goyang-goyang,” Widya mengeluh. Tempo melihat sekeliling kubah ada lampu
tembak yang diarahkan ke kubah agar pada malam hari kubah itu terlihat
eksotis dan cantik. “Tapi sorot lampu itu malah bisa menghalangi
peneropongan. Terlihat sekali JakPro tidak paham fungsi observatorium,” Widya
menambahkan. ••• SELAIN teropong tidak
berfungsi, proyektor di ruang simulasi bintang atau planetarium juga terlihat
terbengkalai. Ruang itu kini “dipermewah” JakPro dengan kursi-kursi baru
berwarna merah. Terasa nyaman. Tapi jumlah kursi hanya 250. Sebelumnya
ruangan bisa menampung 350 kursi. Kursi juga terlihat tidak bisa direbahkan.
Sebagai gantinya, posisi kursi bagian depan ditata agak merebah, sedangkan
yang belakang tegak lurus. “Kursi dibuat dengan dua sudut, yaitu 35 derajat
dan 55 derajat, sesuai dengan posisi tempat duduk,” kata Syahrial Syarif, VP
Corporate Secretary JakPro. Menurut dia, hal itu cukup membuat pengunjung
nyaman menikmati tayangan di dome Planetarium. Saat Tempo masuk ke
ruangan, proyektor utama merek Carl Zeiss terlihat dibungkus. Proyektor yang
diboyong dari Jerman pada 1996 itu mengganti proyektor Carl Zeiss pertama
yang dibeli Sukarno pada 1964. Diameternya 22 sentimeter. “Pada 1996,
proyektor ini juga paling modern dari teknologi optik. Planetarium paling
besar Jepang di Nagoya juga menggunakan proyektor merek ini,” tutur Widya
Sawitar. Tapi, lantaran usianya kini sudah 26 tahun, proyektor ini kurang
akurat. “Proyektor ini bisa dinyalakan tapi tidak bisa merespons gerak. Jadi,
misalnya saat simulasi matahari terbit di timur, sampai akhir pertunjukan
masih tetap di timur dan tidak bergerak ke barat. Simulasi Hiksab Rukyat
jadinya juga tidak bisa ditampilkan lagi,” ujar Widya. Menurut Muhammad Rayhan,
fungsi proyektor telah berkurang 80 persen. “Butuh diperbaiki. Persoalannya,
komponennya tidak diproduksi lagi,” ucap Rayhan. Proyektor Carl Zeiss yang
dimiliki TIM adalah versi ketujuh. Sementara itu, kini keluaran terbaru sudah
versi kedelapan. “Teknisi-teknisi dari Jerman yang paham versi ketujuh sudah
pensiun. Mereka juga tidak mau terbang ke Jakarta karena pandemi. Sementara
itu, bila proyektor dikirim ke Jerman akan butuh waktu lama. Prosedurnya rumit
dan pembiayaan berlipat. Lebih baik beli yang baru,” Rayhan menambahkan.
Memang, menurut Premana W. Premadi, dalam 15-20 tahun saja, proyektor bisa
kedaluwarsa. “Apalagi sains kan maju terus. Fitur-fitur proyektor simulasi
juga makin bertambah,” tuturnya. Rayhan menjelaskan,
awalnya ada harapan besar terhadap JakPro akan pembelian teleskop dan
proyektor baru. “Mereka bertanya ke kami soal spec teleskop dan proyektor
serta mengatakan perbaikan akan nanti sekalian dilakukan saat revitalisasi,”
kata Rayhan. Ia ingat bahkan pihak JakPro sampai membuat video di situs web
mereka yang memperlihatkan alat-alat uzur Planetarium dan Observatorium yang
harus diganti. “Tapi sekarang video itu dihapus dan mereka menyangkal pernah
mengatakan akan menganggarkan pembelian proyektor atau teleskop,” ujar
Rayhan. Kepada Tempo, Syahrial Syarif menegaskan paket pekerjaan revitalisasi
Taman Ismail Marzuki yang ditangani pihaknya hanya mencakup eksterior dan
interior bangunan. “Peralatan proyektor yang mangkrak di luar lingkup pekerjaan
JakPro,” katanya. Rayhan menilai proyektor
baru bisa digunakan untuk delapan kali pemutaran sehari dan menghasilkan
pemasukan tinggi lewat tiket. Setahun sebelum masa pandemi, angka penjualan
tiket mencapai 120 ribu dan menghasilkan pemasukan Rp 2-3 miliar setahun.
“Padahal kami hanya tayang dua kali karena hati-hati menggunakan proyektor.
Bila pertunjukan delapan kali sehari pasti pemasukan jauh lebih tinggi,” ucap
Rayhan. Ia menaksir, bila sekarang harga proyektor Rp 80 miliar, dengan
pemutaran delapan kali sehari, modal sudah bisa kembali dalam 10 tahun. Tapi,
alih-alih membeli, JakPro malah terlihat akan mencari legitimasi hukum agar
tidak wajib meremajakan peranti Planetarium. Saat TIM diresmikan Anis
Baswedan, pihak JakPro malah menampilkan video mapping tentang alam semesta
di Planetarium. “Sama sekali beda antara proyektor simulasi bintang dan
mapping film. Proyektor simulasi mampu menampilkan perubahan gerak-gerak
planet seperti aslinya dan bisa mengikuti pergerakan benda langit, sedangkan
mapping tidak,” ujar Widya. Karlina Supelli juga sepakat video mapping tidak
bisa menggantikan simulasi langit dan obyek angkasa sampai kapan pun. Sebab,
simulasi juga bersifat interaktif. Proyektor simulasi menyimpan berbagai file
benda-benda langit yang bisa membuat tayangan simulasi menonjolkan
benda-benda langit tertentu. “Proyektor simulasi bisa menyajikan langit
sebagai obyek yang dinamis,” kata Premana W. Premadi. Beberapa pihak menduga
pihak JakPro enggan meremajakan alat-alat lantaran ada kasus pembelian yang
bermasalah di pemerintah daerah. Pada 2011, pemerintah DKI pernah membeli
proyektor pelengkap (proyektor Velvet) seharga Rp 40 miliar dari Jerman.
“Tapi, karena proses administrasi, pembelian terlambat dan pemasangan alat
melebihi tenggat proyek,” tutur Karlina Supeli. Akhirnya masalah ini dibawa
ke pengadilan. Pemerintah DKI kalah dan hingga kini tidak mau membayar. Pihak
penjual pun tidak bisa menyelesaikan pemasangan. Alat berharga puluhan miliar
rupiah itu pun kini terbengkalai. “Namun itu berbeda kasusnya dengan
sekarang. Pada 2011- 2019, meski tak memakai proyektor pelengkap, simulasi
penayangan masih jalan. Tapi sekarang saat proyektor utama rusak bagaimana
Planetarium bisa berfungsi kalau tidak diganti?” ujar Eko Wahyu Wibowo dari
Planetarium. ••• SELAIN masalah peranti,
desain bangunan yang baru dianggap kurang ideal bagi para pegawai
Planetarium. “Dulu kami memiliki ruangan pameran astronomi. Ruangan itu
menampilkan berbagai alat peraga, seperti bentuk planet yang berbeda-beda,
meteorit, dan wahana antariksa yang futuris. Pengunjung biasanya akan melihat
dulu pameran sebelum menonton di Planetarium. Namun sekarang ruangan ini
kosong,” kata Widya Sawitar. Ia tidak tahu kapan pameran ini diadakan lagi. Akan halnya ruang
auditorium yang baru, menurut Widya, entah bisa disebut auditorium entah
tidak. “Dulu kami memiliki ruangan kelas kedap suara yang bisa digunakan
untuk pemutaran film tiga dimensi. Tapi sekarang ruangan auditorium salah
satu sisinya berupa kaca yang bisa melihat ke luar,” tutur Widya. Dari segi
keamanan penayangan simulasi, ruangan di Planetarium menurut dia juga tak
mendukung. “Kami sebelumnya memiliki ruangan teknis yang berada di dekat
Planetarium. Jadi, kalau terjadi masalah dengan penayangan, operator bisa
cepat ke ruang teknis. Sekarang ruangan teknis dipindah ke timur. Jadi, kalau
ada apa-apa, operator harus lari dulu. Itu tidak efektif,” demikian pendapat
Widya. Ruangan Planetarium yang melingkar kini juga hanya memiliki dua pintu.
“Dulu empat pintu sehingga sangat terasa aman,” kata Rayhan. Tempo mencoba mencari
arsitek Andra Matin yang ditugasi JakPro merancang pembaruan fisik Taman
Ismail Marzuki. Andra mengatakan renovasi Planetarium sesungguhnya hendak
mengembalikan desain Planetarium yang dimenangkan dalam sayembara 1962. “Jadi
desain Planetarium sebenarnya pada 1962 disayembarakan dan pemenangnya adalah
tim yang salah satu anggotanya arsitek Ir Ciputra,” ucap Andra. Andra
menjelaskan, berdasarkan konsep Ciputra, kubah atau teater bintang
dikelilingi bangunan berbentuk kotak dan di tengahnya terdapat taman. “Nah,
kami ingin mengembalikan lagi desain Planetarium seperti demikian,” tutur
Andra Matin. Andra menerangkan, ia sama
sekali tak ingin menghilangkan atau mematikan Observatorium. “Sebagai
arsitek, saya justru menginginkan tiga fungsi menara Observatorium tetap
ada,” katanya. Namun ia mengakui memang dalam konsepnya ia menginginkan dua
lokasi observatorium dipindah. “Sebab, dekat TIM ada bangunan tiga apartemen
yang memberi polusi cahaya,” demikian argumentasinya. Dalam rancangan Andra,
observatorium bergambar mural Raden Saleh, tempat teleskop Code disimpan,
lokasinya tetap. Sementara itu, kolam dipindahkan ke atas dekat posisi
Kineforum. Ruangan ketiga dipindahkan ke lantai 14 gedung panjang (Gedung Ali
Sadikin). “Tapi JakPro tidak mau karena dianggap terlalu mahal,” kata Andra. Adapun lantai atas di
dekat observatorium teropong Asco, yang seyogianya menjadi tempat
peneropongan publik, dalam konsep awalnya ditumbuhi rerumputan. “ JakPro juga
keberatan. Makanya diganti jadi hamparan kerikil,” ujarnya. Menurut Andra,
rerumputan bisa mereduksi panas dan membuat bangunan di bawahnya lebih
dingin. “Saya berharap bagian kerikil itu diganti dengan dek kayu sehingga
jika ada yang memasang tripod tidak bergoyang,” ujarnya. Kala mendengar info
bahwa pintu Observatorium tempat teleskop Asco sekarang ditembok, Andra
sendiri kaget. “Pintunya dihilangin? Wah, itu sih seharusnya dibuka, ya.” Sementara itu, VP
Corporate Secretary JakPro Syahrial Syarif mengatakan Observatorium tetap
akan diperhatikan. “Untuk Observatorium sedang dipersiapkan prasarananya agar
dapat digunakan kembali.” katanya. Sementara itu, mengenai kolam, menurut
dia, ”Area air pada sisi Planetarium itu bukan kolam ikan, tapi reflecting
pond untuk menambah estetika bangunan.” ••• PERSOALAN tata kelola
Planetarium dan Observatorium Taman Ismail Marzuki yang dirasa mulai kurang
memihak sains sesungguhnya bukan hanya terjadi sejak JakPro memegang
revitalisasi TIM. Hal ini sudah mulai terjadi sejak pengelolaan Planetarium
berpindah dari naungan Dinas Kebudayaan dan Kebudayaan ke Unit Pengelola
Pusat Kesenian Jakarta (UP PKJ) TIM pada 2016. “Dari 2016 kami tidak lagi
mempunyai kepala dan kepala subbagian Planetarium karena di bawah UP PKJ
TIM,” kata Rayhan. Pengelolaan Planetarium dan Observatorium TIM sejak
1960-an memang berpindah-pindah. Pada era Henk Ngantung, manajemen
Planetarium di bawah Sekretariat Negara. “Tahun 1980-an kami di bawah
Dikmenti atau Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi. Tatkala Dikmenti kemudian
dipisah menjadi Dinas Pendidikan Dasar dan Dinas Pendidikan Menengah dan
Tinggi, Planetarium masih di bawah Dinas Pendidikan,” tutur Widya. Pada 2016 terjadi
perubahan mendasar. “Kami dilebur dengan PKJ TIM. Saya tidak pernah mendapat
penjelasan dari pusat mengapa demikian. Apa karena Planetarium di wilayah
TIM?” Widya bertanya. Pergantian ini menimbulkan efek besar. Program-program
Planetarium yang semula mengarah ke sains menjadi agak “berbelok”. “Anggaran
program-program lebih diprioritaskan yang berkaitan dengan seni, budaya, dan
pariwisata. Mereka tidak memiliki nomenklatur sains,” Widya menerangkan.
Banyak program Planetarium yang berkenaan dengan sains akhirnya sulit cepat
mendapat dana ketika dimohonkan. “Beberapa kali kami memohon dana perawatan
teleskop dan proyektor tidak tembus. Program riset juga sangat sulit mendapat
anggaran. Malah bisa ditiadakan,” ujar Widya. Pada 2016, misalnya, saat
terjadi gerhana matahari, Planetarium ingin mengamati fenomena langka alam
tersebut dengan mengirim tim peneliti ke lokasi-lokasi tertentu. Hal demikian
pada tahun-tahun sebelumnya sudah menjadi bagian riset peneliti Planetarium.
“Tapi, sejak digabung dengan PKJ TIM, kami susah mendapat anggaran yang
memadai. Karena dianggap tidak ada kaitannya dengan program kebudayaan PKJ,”
ucap Widya. Program latihan Olimpiade sains bidang astronomi bagi para
pelajar dan penyuluhan-penyuluhan astronomi untuk sekolah, menurut Widya,
juga kesulitan. Menurut Rayhan, pelatihan ilmu pengetahuan bumi antariksa
juga tidak bisa diadakan. “Kami dianggap bukan peneliti lagi, tapi pelaku
seni,” tutur Rayhan. Yang makin aneh, setelah
direvitalisasi, JakPro memberi nama Trisno Sumardjo bagi gedung Planetarium.
JakPro memang memberi nama gedung-gedung baru di TIM dengan nama-nama seniman
besar yang telah wafat. Teater outdoor diberi nama Teater Tuti Indra Malon,
teater arena diberi nama Teater Wahyu Sihombing, studio musik dan tari diberi
nama Studio Trisutji Kamal, dan sebagainya. Nama-nama itu tepat sepanjang
menyangkut gedung untuk perhelatan seni. Sementara itu, nama sastrawan Trisno
Sumardjo untuk Planetarium sungguh tidak cocok. “Trisno Sumardjo sama sekali
tidak memiliki kontribusi dalam dunia astronomi. Saya berharap namanya
dikembalikan ke Planetarium dan Observatorium Jakarta,” ucap Widya. Menurut Premana W.
Premadi, idealnya planetarium harus dikelola oleh lembaga sains. “Sumber daya
Planetarium disiapkan khusus. Harus ada astronomnya,” kata Premana. Menurut
dia, sejak zaman Sukarno, Planetarium Jakarta dirancang menjadi institusi
yang bisa berdiri sendiri sebagaimana planetarium lain di Beijing, Cina, atau
di New York dan Chicago, Amerika. Ketua Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional 2014-2021, Thomas Jamaludin, yang kini menjadi peneliti astronomi di
Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengatakan
planetarium penting sebagai wahana mempopulerkan sains. “Jadi di banyak
negara maju planetarium didirikan agar khususnya para siswa bisa mempelajari
sains dan astronomi,” tuturnya. Banyak pendapat yang mengatakan
langit di Jakarta yang sudah demikian terpolusi membuat penempatan
planetarium dan observatorium di wilayah Cikini sebagai jantung Kota Jakarta
sudah tidak tepat. Planetarium harus dipindahkan ke luar Jakarta. Tapi hal
itu dibantah baik oleh Premana maupun Thomas. “Walaupun langit Jakarta
terpolusi cahaya, kota ini masih memungkinkan untuk mengamati obyek-obyek
terang seperti bulan, Saturnus, dan sebagainya,” ujar Thomas. Adapun Premana
melihat bahwa seberapa terpolusinya Jakarta, peneropongan di planetarium
tetap bisa menjadi guardian Jakarta. “Untuk kebutuhan sepenting itu, kok,
planetarium disingkirkan?” ucap Premana. Widya Sawitar sampai
mengatakan bahwa revitalisasi planetarium mengkhianati cita-cita Sukarno.
“Visi-misi Presiden Sukarno lenyap dirobohkan JakPro,” kata Widya. Adapun
dalam bahasa Rayhan, rekan Widya, yang terjadi sekarang bukan revitalisasi,
melainkan devitalisasi. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/selingan/167230/planetarium-tim-dan-sejumlah-masalah-revitalisasi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar