Benarkah Aturan
Swasembada Gula Mendorong Monopoli Impor Gula Retno Sulistyowati : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
SAUNG darurat di kebun
tebu Temugiring, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sudah siap
sebagai tempat Presiden Joko Widodo berpidato. Siang itu, Senin, 10 Oktober
lalu, Jokowi hendak meninjau musim giling di Pabrik Gula Gempolkerep yang tak
jauh dari kebun itu. Ini adalah salah satu momen yang menandai upaya
pemerintah mencapai target swasembada gula. Tapi yang ditunggu tak
muncul hingga menjelang petang. “Pesawat mengalami kerusakan di Solo sehingga
sampai sore tidak bisa hadir, Presiden diwakili Pak Erick Thohir,” Direktur
Utama PT Sinergi Gula Nusantara Aris Toharisman menceritakan kepada Tempo,
Rabu, 19 Oktober lalu. Erick Thohir, Menteri
Badan Usaha Milik Negara, kemudian memimpin acara bertajuk “Revitalisasi
Industri Gula Nasional untuk Ketahanan Pangan dan Energi” tersebut. Saat itu
Erick mengungkapkan upaya pemerintah mentransformasi PT Perkebunan Nusantara
(Persero) atau PTPN untuk mendukung target swasembada gula. Untuk mendorong produksi
gula nasional, Kementerian BUMN menyatukan semua pabrik milik PTPN ke tubuh
Sinergi Gula Nusantara atau biasa disebut Sugar Company (Sugar Co) yang
dipimpin Aris. Entitas baru ini sebenarnya telah berdiri pada Agustus 2021.
Tapi pada 10 Oktober lalu Sugar Co baru menerima limpahan aset dari induk
usahanya, yakni PTPN III alias Holding Perkebunan Nusantara. Dalam mekanisme pelimpahan
aset itu, PTPN III memisahkan atau melakukan spin-off 36 pabrik gula di
berbagai daerah dan memindahkannya ke Sugar Co. Total nilai aset-aset itu
mencapai Rp 10 triliun. Tapi, di sisi lain, Sugar Co juga harus menanggung
utang atas pengoperasian pabrik gula itu sebesar Rp 5 triliun. Dalam
mekanisme spin-off ini, aset perkebunan tebu tidak termasuk yang dialihkan.
Lahan tebu tetap berada di bawah PTPN III dengan alasan lahan harus tetap
dimiliki negara. “Ini titik awal kami mengelola pabrik gula milik PTPN Grup,”
kata Aris. Dalam pidatonya saat itu
Erick mengingatkan Sugar Co agar tidak hanya menjalankan tugas memenuhi
kebutuhan gula nasional, tapi juga meningkatkan kesejahteraan petani tebu dan
menjaga stabilitas harga gula di tingkat petani tebu. Ada pula tugas lain,
yaitu menjadi produsen bioetanol, produk turunan tebu. Bioetanol digunakan
sebagai campuran bahan bakar minyak. Dengan cara ini Erick
optimistis Sugar Co bisa menjadi raksasa produsen gula di Tanah Air. Sugar Co
juga akan menjadi tulang punggung ketahanan pangan dan salah satu penggerak
ketahanan energi nasional dengan produk bioetanol. "Kami berharap
revitalisasi industri gula untuk ketahanan pangan dan energi di kabupaten ini
dapat memenuhi kebutuhan gula nasional untuk jangka menengah dan
panjang," Erick menegaskan. Di luar bisnis gula, PTPN
III mengambil langkah strategis dengan membentuk Palm Company sebagai entitas
baru yang menaungi pabrik kelapa sawit hasil spin-off beberapa perusahaan.
Sedangkan pengelolaan pabrik dan aset komoditas nongula dan nonsawit dihimpun
dalam entitas bernama Supporting Company. Menurut Erick, langkah ini sejalan
dengan prioritas Jokowi yang selalu menekankan pembangunan ekosistem industri
sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor pangan dan energi. Acara kick-off sektor
pergulaan tak berakhir pada saat itu. Agenda akan berlanjut karena Jokowi
tetap ingin berkunjung ke Mojokerto, setelah sebelumnya gagal. Tapi nantinya dia tak lagi mengontrol
pabrik gula, mengingat musim giling tebu telah berakhir. Ada kemungkinan
Jokowi akan meninjau pabrik bioetanol PT Energi Agro Nusantara di Mojokerto,
perusahaan milik PTPN X, pada akhir Oktober atau awal November mendatang. ••• PEMERINTAH mendirikan
Sugar Co untuk mempercepat pencapaian target swasembada gula nasional.
Program swasembada dirancang untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi rumah
tangga ataupun gula rafinasi untuk industri. Karena itu, pemerintah merancang
peraturan presiden (perpres). Sebelum disahkan dan terbit,
rancangan perpres swasembada gula bocor dan beredar di kalangan pemangku
kepentingan sektor pergulaan. Isi rancangan aturan baru itu antara lain upaya
mempercepat swasembada gula yang mencakup empat hal pokok. Pertama,
peningkatan produktivitas tebu (intensifikasi) untuk mencapai rata-rata 93
ton per hektare. Caranya adalah memperbaiki praktik agrikultur yang meliputi
pembibitan, pemeliharaan tanaman, dan tebang-muat-angkut. Kedua, perluasan kebun
tebu sampai 700 ribu hektare. Lahan akan berasal dari area perkebunan,
perhutanan sosial, sistem pertanian tanaman pangan, dan tanaman kehutanan
yang ditanam di lahan yang sama (agroforestri) serta tebu rakyat. Ketiga,
peningkatan efisiensi, utilisasi, dan kapasitas pabrik gula untuk mencapai
angka rendemen sebesar 11,2 persen. Keempat, peningkatan kesejahteraan petani
tebu. Aturan ini juga
menyebutkan swasembada untuk gula konsumsi harus tercapai paling lambat pada
akhir 2025. Sedangkan swasembada gula industri mesti tercapai selambatnya
pada akhir 2030. Untuk mencapai target itu,
pemerintah menugasi PTPN III atau Holding Perkebunan Nusantara meningkatkan
produktivitas tebu hingga 87 ton per hektare, menambah lahan seluas 80 ribu
hektare, menggenjot efisiensi pengolahan tebu, dan mendorong kesejahteraan petani
tebu. Sebagai kompensasi atas penugasan tersebut, pemerintah memberi
fasilitas berupa alokasi impor gula kristal putih (GKP) dan/atau gula kristal
mentah (raw sugar). Pemerintah juga menugasi PTPN III menyusun dan
menyampaikan peta jalan (road map) yang mencakup rencana investasi untuk
menuju swasembada gula nasional. Soal jatah impor untuk
PTPN III kemudian memicu kontroversi. Perusahaan yang tergabung dalam
Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) mempertanyakan langkah pemerintah
yang tidak melibatkan anggota asosiasi dalam pembahasan rancangan regulasi
berisi keistimewaan jatah impor itu. “Sampai saat ini belum ada ajakan
berdialog atau sosialisasi tentang draf perpres tersebut,” ucap Direktur
Eksekutif AGRI Gloria Guida Manalu pada Kamis, 20 Oktober lalu. Tak adanya klausul rinci
tentang kuota atau jatah impor untuk PTPN III menimbulkan syak wasangka
mengenai adanya upaya memonopoli impor gula. Namun Direktur Utama Sugar Co
Aris Toharisman menegaskan bahwa tak ada rencana monopoli dalam upaya mempercepat
swasembada gula nasional. “Orang mungkin salah persepsi. Alokasi (impor) itu
diberikan secara proporsional sesuai dengan kontribusi (perusahaan),”
ujarnya. Meski Sugar Co tak
dilibatkan secara langsung dalam pembahasan, Aris mengaku sudah mendengar
bahwa rancangan peraturan baru ini belum mencapai titik akhir. Dalam rapat
terakhir di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian pada September lalu,
pemerintah menggeser target mencapai swasembada gula konsumsi rumah tangga
atau gula kristal dari semula pada 2025 menjadi 2028. Alasannya, pemenuhan
target penambahan lahan tebu hingga 700 ribu hektare membutuhkan waktu.
“Harus ada dukungan untuk lahan yang tidak bisa cepat dikembangkan,” tutur
Aris. Adapun swasembada gula untuk kebutuhan industri tetap ditargetkan
tercapai pada 2030. ••• KELOMPOK tani yang
dipimpin Irawan Nusantara masuk daftar pemasok tebu terbesar untuk Pabrik
Gula (PG) Pesantren Baru, Kediri, Jawa Timur, pada musim giling tahun ini.
Kelompok beranggotakan lebih dari 50 petani yang mengelola lahan lebih dari
100 hektare di beberapa kecamatan ini mampu mengirim 100 ton tebu per hari.
“Sampai sekarang kami masih ngirim,” ujarnya pada Sabtu, 22 Oktober lalu. Irawan mengklaim produksi
tebunya kali ini berlimpah. Kelompok taninya menghasilkan 120-140 ton tebu
per hektare. Kualitasnya, kata dia, bagus. Irawan pun memastikan akan terus
mengirim tebu ke PG Pesantren Baru sampai hari terakhir penggilingan yang
jatuh pada 2 November mendatang. “Harga bagus, pembayaran cepat.” Menurut Irawan, PG
Pesantren Baru membeli tebu seharga Rp 70 juta per kuintal. Duit
pembayarannya pun masuk ke rekening petani dua hari kemudian. “Jos tenan.
Kalau dulu bisa berbulan-bulan baru cair,” dia menambahkan. Setelah PG Pesantren Baru
selesai menggiling tebu, Irawan dan teman-temannya merancang rencana
pengiriman ke pabrik lain, yakni PG Ngadirejo di Kediri serta PG Mojopanggung
di Tulungagung, Jawa Timur. Irawan telah mendapat informasi periode giling PG
Ngadirejo akan berlangsung hingga 16 November mendatang. Adapun musim giling
PG Mojopanggung akan berlangsung lebih lama untuk memenuhi target tonase. PG Pesantren Baru,
Ngadirejo, dan Mojopanggung adalah milik PT Perkebunan Nusantara, bagian dari
Holding Perkebunan Nusantara. Di luar pabrik pelat merah itu, kelompok tani
Irawan juga memasok tebu instalasi produksi milik swasta seperti PG Kebun
Tebu Mas di Lamongan, Jawa Timur. “Semua kebagian,” ucapnya. Menurut Irawan, dengan
kualitas bibit dan teknik pemuliaan tanaman yang baik, kebun tebu yang
dihasilkan kelompoknya bisa berproduksi sepanjang tahun. Mereka pun sudah
merancang pengiriman tebu ke pabrik gula merah di daerahnya, setelah semua
pabrik gula putih mengakhiri periode giling tahun ini. Berlimpahnya pasokan tebu
pada musim giling kali ini turut dirasakan Sugar Co. Direktur Utama Sugar Co
Aris Toharisman mengatakan jumlah tebu yang digiling pabrik gula di Jawa
bertambah 2 juta ton. Menurut dia, hal itu adalah buah kebijakan stabilisasi
harga gula petani pada tahun lalu. Saat itu Grup PTPN mematok harga Rp 10.500
per kilogram. Aris pun yakin harga tebu
itu membuat petani bersemangat memperluas area tanam. Tahun ini, Sugar Co
menaikkan harga tebu petani menjadi Rp 11.400-11.700 per kilogram. “Upaya ini
mudah-mudahan mendorong mereka untuk kembali mengembangkan area kebun,”
katanya. Tapi upaya itu pun butuh
biaya. Aris mengatakan Grup PTPN harus menggelontorkan dana lebih dari Rp 5
triliun pada musim giling kali ini. “Kami beli tebu kan untuk dijual lagi.
Proses itu bagian dari bisnis,” ucapnya. Beruntung, Holding
Perkebunan Nusantara atau PTPN III ketiban berkah atas melonjaknya harga
kelapa sawit selama tahun lalu. Rezeki ini datang di tengah upaya PTPN III
merestrukturisasi kredit yang nilainya mencapai Rp 45,3 triliun. Hingga
semester I 2022, PTPN III membukukan pendapatan Rp 24,43 triliun atau
meningkat 15 persen dibanding pada semester I 2021. Pada periode yang sama,
perseroan menerima laba Rp 3,86 triliun. Aris pun mengatakan PTPN
III tidak meminjam duit dari bank untuk modal kerja. Dia menjelaskan, Sugar
Co didukung sistem intercompany trade. Dalam skema itu, pembeli gula adalah
perusahaan anggota grup, dalam hal ini PTPN III atau PTPN IV. Artinya, gula
yang dihasilkan tidak dilepas ke pedagang. “Kami menjaga stabilitas sehingga
produk dilepas ke grup,” ia menambahkan. “Kebetulan mereka sedang untung
besar dari sawit pada tahun lalu.” Saat ini Holding
Perkebunan Nusantara sedang mencari mitra bagi Sugar Co untuk mengembangkan
36 pabrik gula. Rencananya, Holding Perkebunan Nusantara akan melepas 49
persen kepemilikannya di Sugar Co kepada investor dengan target perolehan
dana minimal Rp 4,7 triliun. Dana yang diperoleh akan dipakai untuk
mengoperasikan perusahaan dan merevitalisasi pabrik-pabrik yang ada. “Banyak
yang perlu diperbaiki dari 36 pabrik gula itu,” ujar Aris. Sejumlah investor telah
mengikuti beauty contest, September lalu. Tahap selanjutnya adalah uji tuntas
atau due diligence yang diikuti setidaknya tiga perusahaan. Salah satunya
perusahaan asal Singapura yang menggandeng Louis Dreyfus Company
(LDC)—perusahaan asal Prancis, termasuk pemain gula terbesar dunia. Martua
Sitorus (Gama Group) disebut-sebut berada di jajaran pemegang saham
perusahaan asal Singapura tersebut. “Mungkin saja. Kami tidak
banyak tahu karena prosesnya di Holding Perkebunan Nusantara,” Aris
menjelaskan. Ia menambahkan, LDC adalah salah satu perusahaan yang berminat
bermitra dengan Sugar Co. “Tapi bukan berarti sudah pasti ia yang akan
menjadi mitra kami. Semua masih berproses.” Ke depan, kata Aris, Sugar
Co akan mengupayakan akses pembiayaan dari sumber lain setelah investor baru
bergabung. Sebelum mitra masuk, Sugar Co masih mengandalkan dana holding PTPN
selaku induknya sebagai modal usaha. Tahun ini Sugar Co membutuhkan Rp 1
triliun dan pada 2023 angkanya bisa meningkat menjadi Rp 2,5 triliun. Melihat upaya-upaya ini,
petani tebu seperti Irawan Nusantara dan rekan-rekannya optimistis Sugar Co
dan pabrik-pabrik gula di bawahnya bisa memberikan harga yang baik. “Harga
yang bermartabat dan menyejahterakan petani,” ujarnya. Meski mengaku belum
tahu arah kebijakan Sugar Co, ia berharap entitas baru ini membuat gebrakan
untuk mencapai target swasembada gula. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar