Selasa, 25 Oktober 2022

 

Benarkah Aturan Swasembada Gula Mendorong Monopoli Impor Gula

Retno Sulistyowati :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 23 Oktober 2022

 

 

                                                           

SAUNG darurat di kebun tebu Temugiring, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sudah siap sebagai tempat Presiden Joko Widodo berpidato. Siang itu, Senin, 10 Oktober lalu, Jokowi hendak meninjau musim giling di Pabrik Gula Gempolkerep yang tak jauh dari kebun itu. Ini adalah salah satu momen yang menandai upaya pemerintah mencapai target swasembada gula.

 

Tapi yang ditunggu tak muncul hingga menjelang petang. “Pesawat mengalami kerusakan di Solo sehingga sampai sore tidak bisa hadir, Presiden diwakili Pak Erick Thohir,” Direktur Utama PT Sinergi Gula Nusantara Aris Toharisman menceritakan kepada Tempo, Rabu, 19 Oktober lalu.

 

Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara, kemudian memimpin acara bertajuk “Revitalisasi Industri Gula Nasional untuk Ketahanan Pangan dan Energi” tersebut. Saat itu Erick mengungkapkan upaya pemerintah mentransformasi PT Perkebunan Nusantara (Persero) atau PTPN untuk mendukung target swasembada gula.

 

Untuk mendorong produksi gula nasional, Kementerian BUMN menyatukan semua pabrik milik PTPN ke tubuh Sinergi Gula Nusantara atau biasa disebut Sugar Company (Sugar Co) yang dipimpin Aris. Entitas baru ini sebenarnya telah berdiri pada Agustus 2021. Tapi pada 10 Oktober lalu Sugar Co baru menerima limpahan aset dari induk usahanya, yakni PTPN III alias Holding Perkebunan Nusantara.

 

Dalam mekanisme pelimpahan aset itu, PTPN III memisahkan atau melakukan spin-off 36 pabrik gula di berbagai daerah dan memindahkannya ke Sugar Co. Total nilai aset-aset itu mencapai Rp 10 triliun. Tapi, di sisi lain, Sugar Co juga harus menanggung utang atas pengoperasian pabrik gula itu sebesar Rp 5 triliun. Dalam mekanisme spin-off ini, aset perkebunan tebu tidak termasuk yang dialihkan. Lahan tebu tetap berada di bawah PTPN III dengan alasan lahan harus tetap dimiliki negara. “Ini titik awal kami mengelola pabrik gula milik PTPN Grup,” kata Aris.

 

Dalam pidatonya saat itu Erick mengingatkan Sugar Co agar tidak hanya menjalankan tugas memenuhi kebutuhan gula nasional, tapi juga meningkatkan kesejahteraan petani tebu dan menjaga stabilitas harga gula di tingkat petani tebu. Ada pula tugas lain, yaitu menjadi produsen bioetanol, produk turunan tebu. Bioetanol digunakan sebagai campuran bahan bakar minyak.

 

Dengan cara ini Erick optimistis Sugar Co bisa menjadi raksasa produsen gula di Tanah Air. Sugar Co juga akan menjadi tulang punggung ketahanan pangan dan salah satu penggerak ketahanan energi nasional dengan produk bioetanol. "Kami berharap revitalisasi industri gula untuk ketahanan pangan dan energi di kabupaten ini dapat memenuhi kebutuhan gula nasional untuk jangka menengah dan panjang," Erick menegaskan.

 

Di luar bisnis gula, PTPN III mengambil langkah strategis dengan membentuk Palm Company sebagai entitas baru yang menaungi pabrik kelapa sawit hasil spin-off beberapa perusahaan. Sedangkan pengelolaan pabrik dan aset komoditas nongula dan nonsawit dihimpun dalam entitas bernama Supporting Company. Menurut Erick, langkah ini sejalan dengan prioritas Jokowi yang selalu menekankan pembangunan ekosistem industri sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor pangan dan energi.

 

Acara kick-off sektor pergulaan tak berakhir pada saat itu. Agenda akan berlanjut karena Jokowi tetap ingin berkunjung ke Mojokerto, setelah sebelumnya gagal.  Tapi nantinya dia tak lagi mengontrol pabrik gula, mengingat musim giling tebu telah berakhir. Ada kemungkinan Jokowi akan meninjau pabrik bioetanol PT Energi Agro Nusantara di Mojokerto, perusahaan milik PTPN X, pada akhir Oktober atau awal November mendatang.

 

•••

 

PEMERINTAH mendirikan Sugar Co untuk mempercepat pencapaian target swasembada gula nasional. Program swasembada dirancang untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi rumah tangga ataupun gula rafinasi untuk industri. Karena itu, pemerintah merancang peraturan presiden (perpres).

 

Sebelum disahkan dan terbit, rancangan perpres swasembada gula bocor dan beredar di kalangan pemangku kepentingan sektor pergulaan. Isi rancangan aturan baru itu antara lain upaya mempercepat swasembada gula yang mencakup empat hal pokok. Pertama, peningkatan produktivitas tebu (intensifikasi) untuk mencapai rata-rata 93 ton per hektare. Caranya adalah memperbaiki praktik agrikultur yang meliputi pembibitan, pemeliharaan tanaman, dan tebang-muat-angkut.

 

Kedua, perluasan kebun tebu sampai 700 ribu hektare. Lahan akan berasal dari area perkebunan, perhutanan sosial, sistem pertanian tanaman pangan, dan tanaman kehutanan yang ditanam di lahan yang sama (agroforestri) serta tebu rakyat. Ketiga, peningkatan efisiensi, utilisasi, dan kapasitas pabrik gula untuk mencapai angka rendemen sebesar 11,2 persen. Keempat, peningkatan kesejahteraan petani tebu.

 

Aturan ini juga menyebutkan swasembada untuk gula konsumsi harus tercapai paling lambat pada akhir 2025. Sedangkan swasembada gula industri mesti tercapai selambatnya pada akhir 2030.

 

Untuk mencapai target itu, pemerintah menugasi PTPN III atau Holding Perkebunan Nusantara meningkatkan produktivitas tebu hingga 87 ton per hektare, menambah lahan seluas 80 ribu hektare, menggenjot efisiensi pengolahan tebu, dan mendorong kesejahteraan petani tebu. Sebagai kompensasi atas penugasan tersebut, pemerintah memberi fasilitas berupa alokasi impor gula kristal putih (GKP) dan/atau gula kristal mentah (raw sugar). Pemerintah juga menugasi PTPN III menyusun dan menyampaikan peta jalan (road map) yang mencakup rencana investasi untuk menuju swasembada gula nasional.

 

Soal jatah impor untuk PTPN III kemudian memicu kontroversi. Perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) mempertanyakan langkah pemerintah yang tidak melibatkan anggota asosiasi dalam pembahasan rancangan regulasi berisi keistimewaan jatah impor itu. “Sampai saat ini belum ada ajakan berdialog atau sosialisasi tentang draf perpres tersebut,” ucap Direktur Eksekutif AGRI Gloria Guida Manalu pada Kamis, 20 Oktober lalu.

 

Tak adanya klausul rinci tentang kuota atau jatah impor untuk PTPN III menimbulkan syak wasangka mengenai adanya upaya memonopoli impor gula. Namun Direktur Utama Sugar Co Aris Toharisman menegaskan bahwa tak ada rencana monopoli dalam upaya mempercepat swasembada gula nasional. “Orang mungkin salah persepsi. Alokasi (impor) itu diberikan secara proporsional sesuai dengan kontribusi (perusahaan),” ujarnya.

 

Meski Sugar Co tak dilibatkan secara langsung dalam pembahasan, Aris mengaku sudah mendengar bahwa rancangan peraturan baru ini belum mencapai titik akhir. Dalam rapat terakhir di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian pada September lalu, pemerintah menggeser target mencapai swasembada gula konsumsi rumah tangga atau gula kristal dari semula pada 2025 menjadi 2028. Alasannya, pemenuhan target penambahan lahan tebu hingga 700 ribu hektare membutuhkan waktu. “Harus ada dukungan untuk lahan yang tidak bisa cepat dikembangkan,” tutur Aris. Adapun swasembada gula untuk kebutuhan industri tetap ditargetkan tercapai pada 2030.

 

•••

 

KELOMPOK tani yang dipimpin Irawan Nusantara masuk daftar pemasok tebu terbesar untuk Pabrik Gula (PG) Pesantren Baru, Kediri, Jawa Timur, pada musim giling tahun ini. Kelompok beranggotakan lebih dari 50 petani yang mengelola lahan lebih dari 100 hektare di beberapa kecamatan ini mampu mengirim 100 ton tebu per hari. “Sampai sekarang kami masih ngirim,” ujarnya pada Sabtu, 22 Oktober lalu.

 

Irawan mengklaim produksi tebunya kali ini berlimpah. Kelompok taninya menghasilkan 120-140 ton tebu per hektare. Kualitasnya, kata dia, bagus. Irawan pun memastikan akan terus mengirim tebu ke PG Pesantren Baru sampai hari terakhir penggilingan yang jatuh pada 2 November mendatang. “Harga bagus, pembayaran cepat.”

 

Menurut Irawan, PG Pesantren Baru membeli tebu seharga Rp 70 juta per kuintal. Duit pembayarannya pun masuk ke rekening petani dua hari kemudian. “Jos tenan. Kalau dulu bisa berbulan-bulan baru cair,” dia menambahkan.

 

Setelah PG Pesantren Baru selesai menggiling tebu, Irawan dan teman-temannya merancang rencana pengiriman ke pabrik lain, yakni PG Ngadirejo di Kediri serta PG Mojopanggung di Tulungagung, Jawa Timur. Irawan telah mendapat informasi periode giling PG Ngadirejo akan berlangsung hingga 16 November mendatang. Adapun musim giling PG Mojopanggung akan berlangsung lebih lama untuk memenuhi target tonase.

 

PG Pesantren Baru, Ngadirejo, dan Mojopanggung adalah milik PT Perkebunan Nusantara, bagian dari Holding Perkebunan Nusantara. Di luar pabrik pelat merah itu, kelompok tani Irawan juga memasok tebu instalasi produksi milik swasta seperti PG Kebun Tebu Mas di Lamongan, Jawa Timur. “Semua kebagian,” ucapnya.

 

Menurut Irawan, dengan kualitas bibit dan teknik pemuliaan tanaman yang baik, kebun tebu yang dihasilkan kelompoknya bisa berproduksi sepanjang tahun. Mereka pun sudah merancang pengiriman tebu ke pabrik gula merah di daerahnya, setelah semua pabrik gula putih mengakhiri periode giling tahun ini.

 

Berlimpahnya pasokan tebu pada musim giling kali ini turut dirasakan Sugar Co. Direktur Utama Sugar Co Aris Toharisman mengatakan jumlah tebu yang digiling pabrik gula di Jawa bertambah 2 juta ton. Menurut dia, hal itu adalah buah kebijakan stabilisasi harga gula petani pada tahun lalu. Saat itu Grup PTPN mematok harga Rp 10.500 per kilogram.

 

Aris pun yakin harga tebu itu membuat petani bersemangat memperluas area tanam. Tahun ini, Sugar Co menaikkan harga tebu petani menjadi Rp 11.400-11.700 per kilogram. “Upaya ini mudah-mudahan mendorong mereka untuk kembali mengembangkan area kebun,” katanya.

 

Tapi upaya itu pun butuh biaya. Aris mengatakan Grup PTPN harus menggelontorkan dana lebih dari Rp 5 triliun pada musim giling kali ini. “Kami beli tebu kan untuk dijual lagi. Proses itu bagian dari bisnis,” ucapnya.

 

Beruntung, Holding Perkebunan Nusantara atau PTPN III ketiban berkah atas melonjaknya harga kelapa sawit selama tahun lalu. Rezeki ini datang di tengah upaya PTPN III merestrukturisasi kredit yang nilainya mencapai Rp 45,3 triliun. Hingga semester I 2022, PTPN III membukukan pendapatan Rp 24,43 triliun atau meningkat 15 persen dibanding pada semester I 2021. Pada periode yang sama, perseroan menerima laba Rp 3,86 triliun.

 

Aris pun mengatakan PTPN III tidak meminjam duit dari bank untuk modal kerja. Dia menjelaskan, Sugar Co didukung sistem intercompany trade. Dalam skema itu, pembeli gula adalah perusahaan anggota grup, dalam hal ini PTPN III atau PTPN IV. Artinya, gula yang dihasilkan tidak dilepas ke pedagang. “Kami menjaga stabilitas sehingga produk dilepas ke grup,” ia menambahkan. “Kebetulan mereka sedang untung besar dari sawit pada tahun lalu.”

 

Saat ini Holding Perkebunan Nusantara sedang mencari mitra bagi Sugar Co untuk mengembangkan 36 pabrik gula. Rencananya, Holding Perkebunan Nusantara akan melepas 49 persen kepemilikannya di Sugar Co kepada investor dengan target perolehan dana minimal Rp 4,7 triliun. Dana yang diperoleh akan dipakai untuk mengoperasikan perusahaan dan merevitalisasi pabrik-pabrik yang ada. “Banyak yang perlu diperbaiki dari 36 pabrik gula itu,” ujar Aris.

 

Sejumlah investor telah mengikuti beauty contest, September lalu. Tahap selanjutnya adalah uji tuntas atau due diligence yang diikuti setidaknya tiga perusahaan. Salah satunya perusahaan asal Singapura yang menggandeng Louis Dreyfus Company (LDC)—perusahaan asal Prancis, termasuk pemain gula terbesar dunia. Martua Sitorus (Gama Group) disebut-sebut berada di jajaran pemegang saham perusahaan asal Singapura tersebut.

 

“Mungkin saja. Kami tidak banyak tahu karena prosesnya di Holding Perkebunan Nusantara,” Aris menjelaskan. Ia menambahkan, LDC adalah salah satu perusahaan yang berminat bermitra dengan Sugar Co. “Tapi bukan berarti sudah pasti ia yang akan menjadi mitra kami. Semua masih berproses.”

 

Ke depan, kata Aris, Sugar Co akan mengupayakan akses pembiayaan dari sumber lain setelah investor baru bergabung. Sebelum mitra masuk, Sugar Co masih mengandalkan dana holding PTPN selaku induknya sebagai modal usaha. Tahun ini Sugar Co membutuhkan Rp 1 triliun dan pada 2023 angkanya bisa meningkat menjadi Rp 2,5 triliun.

 

Melihat upaya-upaya ini, petani tebu seperti Irawan Nusantara dan rekan-rekannya optimistis Sugar Co dan pabrik-pabrik gula di bawahnya bisa memberikan harga yang baik. “Harga yang bermartabat dan menyejahterakan petani,” ujarnya. Meski mengaku belum tahu arah kebijakan Sugar Co, ia berharap entitas baru ini membuat gebrakan untuk mencapai target swasembada gula. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/167250/benarkah-aturan-swasembada-gula-mendorong-monopoli-impor-gula

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar