Kebijakan Perdana
Menteri Inggris Liz Truss Membuat Ekonomi Berantakan Yopie Hidayat : Reporter Majalah Tempo, Kontributor
Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
JANGAN main-main dengan
kebijakan ekonomi yang bertentangan dengan logika pasar. Akibatnya bukan cuma
ekonomi negara yang bisa berantakan, si pemimpin yang ugal-ugalan juga bisa
terjungkal. Itulah pelajaran dari jatuhnya Liz Truss pekan lalu. Truss cuma
mampu bertahan selama 44 hari sebagai Perdana Menteri Inggris Raya. Truss jatuh karena, begitu
menjadi perdana menteri, ia mengusung program pemangkasan pajak besar-besaran
senilai 45 miliar pound sterling—sekitar Rp 780 triliun. Niatnya baik. Truss
yakin pemangkasan itu dapat mendorong ekonomi Inggris agar tumbuh lebih
cepat. Sebaliknya, bagi pasar,
program ini sangat tidak masuk akal, bertentangan dengan prinsip pengelolaan
anggaran yang sehat. Pemerintah Inggris tak punya duit untuk menambal
hilangnya potensi pendapatan jika pajak dipangkas sebesar itu. Satu-satunya
jalan, pemerintah Inggris harus membiayai program itu dengan membuat utang
baru. Diperkirakan bujet pemerintah Inggris bakal bolong besar, hingga 60
miliar pound sterling, karenanya. Begitu usul sembrono itu bergulir,
reputasi Inggris di mata pasar finansial langsung ambruk. Nilai pound
sterling merosot tajam. Harga obligasi pemerintah Inggris alias gilt rontok
sampai-sampai memaksa Bank of England mengintervensi pasar lewat pembelian
besar-besaran. Namun bank sentral Inggris itu pun akhirnya menyerah melawan
tekanan pasar, tak mau lagi melakukan operasi pasar untuk menahan rontoknya
harga gilt. Kemarahan pasar baru
mereda setelah Truss akhirnya memecat Kwasi Kwarteng, Menteri Keuangan
promotor program itu yang baru menjabat 38 hari. Penggantinya, Jeremy Hunt,
langsung membatalkan rencana pemangkasan pajak. Namun kredibilitas Truss
sudah telanjur jeblok di mata pasar. Seminggu kemudian ia juga harus
menyerah, meletakkan jabatan. Bagi pemimpin di seluruh
dunia, kekacauan kebijakan ekonomi di Inggris itu mesti menjadi pelajaran
penting. Ketika sistem keuangan dunia begitu terintegrasi dan aliran modal
bergerak begitu bebas, kredibilitas anggaran pemerintah harus benar-benar
dijaga. Tak ada negara yang bisa lepas dari hukuman jika pasar sudah
kehilangan keyakinan. Jika melihat kondisi pasar
obligasi pemerintah, Indonesia sebetulnya juga sedang menghadapi hukuman yang
cukup serius dari pasar. Ada beberapa faktor yang membuat risiko berinvestasi
di obligasi pemerintah RI meningkat. Misalnya melonjaknya beban pembayaran
bunga karena ledakan utang pemerintah semenjak pandemi menyerang. Ruang
fiskal pemerintah di tahun-tahun mendatang akan menyempit. Hal ini memicu
sentimen negatif di pasar terhadap obligasi pemerintah. Naiknya risiko itu membuat
investor asing makin kehilangan minat menanamkan investasinya ke obligasi
pemerintah RI. Memang, tekanan pasar terhadap obligasi pemerintah RI belum
sedahsyat yang menimpa gilt. Namun persoalan ini sebetulnya tak bisa
diabaikan karena sudah dan terus berlangsung secara konsisten semenjak
Februari 2020. Pelan tapi pasti investor asing melepas obligasi pemerintah RI
berdenominasi rupiah. Per 18 Oktober 2022, modal asing yang tertanam di sini
tinggal Rp 718 triliun, turun dari Rp 1.077 triliun pada akhir Januari 2020. Sekali lagi, rezeki
Indonesia masih bagus. Naiknya harga komoditas ekspor belakangan ini
menciptakan surplus besar aliran dolar yang masuk. Inilah yang menjadi
bantalan sehingga kaburnya modal senilai Rp 350 triliun itu tidak terlalu
menimbulkan gejolak. Namun kondisi pasar
komoditas yang menguntungkan Indonesia itu bisa segera berubah. Harga
komoditas sudah mulai merosot. Likuiditas di pasar global juga makin ketat,
suku bunga makin mencekik. Beban anggaran negara untuk membayar bunga juga
akan makin berat. Perburukan kondisi ekonomi dunia ini seharusnya menyadarkan
pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang lebih prudent dalam mengelola
anggaran. Sayangnya, pemerintah tak
belajar dari kekeliruan Perdana Menteri Inggris Liz Truss. Presiden Joko
Widodo masih saja memaksakan proyek-proyek mercusuar, seperti pembangunan ibu
kota baru, yang sama sekali tak menolong perbaikan kredibilitas anggaran.
Sungguh menakutkan jika akhirnya pasar benar-benar menghukum Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar