Minggu, 30 Oktober 2022

 

Janji Antikorupsi Menteri Erick Thohir Hanya Gimik

Opini Tempo :  Redaktur Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 30 Oktober 2022

 

 

                                                           

JANJI Menteri Erick Thohir mengharamkan koruptor menjadi direktur atau komisaris BUMN atau badan usaha milik negara, bila ditunaikan dengan konsekuen, layak mendapat apresiasi. Tapi, melihat apa yang terjadi selama ini, sulit untuk tidak menyebut ikrar terbaru sang Menteri sebagai gimik atau bahkan hipokrisi belaka.

 

Erick mengumbar janji dalam sebuah webinar pada 25 Oktober 2022. Dia berjanji memasukkan nama para koruptor, juga mereka yang bermasalah dengan hukum, ke daftar hitam. Selain menjadikannya panduan dalam memilih petinggi BUMN, Erick akan melaporkan blacklist tersebut kepada Presiden dan Menteri Keuangan.

 

Syarat bersih korupsi sejatinya sudah tercantum dalam Peraturan Menteri tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan BUMN yang terbit pada 2012. Syarat menjadi komisaris BUMN antara lain tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu lima tahun sebelum pencalonan. Dua tahun lalu, Erick merevisi aturan tersebut tanpa mengubah substansinya. Apa yang terjadi kemudian?

 

Pada Februari 2021, Erick justru merestui bekas terpidana korupsi, Izedrik Emir Moeis, menduduki kursi komisaris PT Pupuk Iskandar, anak usaha PT Pupuk Indonesia. Pengadilan, pada 2014, memvonis politikus PDI Perjuangan itu bersalah karena menerima suap dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tarahan, Lampung. Hakim pun menghukum Emir tiga tahun penjara serta denda Rp 150 juta. Meski sempat mengaku kecolongan, faktanya Erick tak bergegas mencopot Emir.

 

Bila memang punya komitmen membersihkan BUMN, selain menutup pintu bagi mereka yang terbukti korup, Erick seharusnya membersihkan direksi dan komisaris BUMN dari pejabat yang memiliki konflik kepentingan. Sebab, pejabat seperti itu berpotensi mengutamakan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya ketimbang memajukan BUMN. Dalam banyak kasus, konflik kepentingan adalah awal terjadinya praktik korupsi.

 

Bukan rahasia lagi, BUMN terus menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan dan balas budi politik. Kursi komisaris BUMN disesaki orang dekat menteri, anggota tim sukses pemilihan presiden, hingga titipan partai politik. Indonesia Corruption Watch mencatat, hingga Desember 2020, sedikitnya 18 anggota tim sukses Joko Widodo dalam pemilihan presiden menjadi komisaris BUMN. Sebelumnya, Ombudsman RI juga merilis data yang membuat geleng-geleng kepala. Hingga 2019, terdapat 397 pejabat publik yang merangkap komisaris di BUMN dan 167 pejabat merangkap komisaris anak perusahaan BUMN.

 

Demi meminimalkan praktik bagi-bagi kekuasaan, perampingan jabatan direksi dan komisaris BUMN pun kian mendesak. Jumlah anggota direksi dan komisaris seharusnya mencerminkan kebutuhan perusahaan. Faktanya, BUMN seperti PT Perusahaan Listrik Negara dan PT Bank Mandiri, misalnya, memiliki sepuluh komisaris. Padahal, bila diisi orang dengan kompetensi mumpuni, tiga kursi komisaris saja sudah lebih dari cukup.

 

Sejak menjadi Menteri BUMN, kita tahu, Erick Thohir gencar menggaungkan jargon AKHLAK—singkatan dari Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif. Tanpa satu kata dengan perbuatan, kampanye itu akan terdengar kian menggelikan. Tanpa bersih-bersih total, BUMN pun akan terus menjadi sapi perah penguasa dan partai pendukungnya. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/opini/167275/janji-antikorupsi-menteri-erick-thohir-hanya-gimik

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar