Senin, 31 Oktober 2022

 

Tradisi dan Kesadaran

Jean Couteau

KOMPAS, 30 Oktober 2022

 

                                                

 

Kebudayaan Bali telah lama bermasalah dengan modernitas. Politik tentunya berperan dalam hal ini: sejak awal Orde Baru, pengungkapan ”tradisi yang luhur” yang dikedepankan, sedangkan tematika ”penderitaan rakyat” dibungkam. Kemudian pemilihan pariwisata sebagai landasan pembangunan ekonomi mempertegas lagi pilihan politik ini. Apabila ditambah dengan kenyataan bahwa kebudayaan tradisional Bali sangat visual, dan amat dikagumi karena itu oleh orang luar, tidak mengherankan jika acuan pada kekinian dihindari.

 

Istilah-istilah seperti ”tradisi”, ”budaya”, ”harmoni antara manusia dan alam” terus bermunculan dalam wacana umum. Seolah-olah Bali adalah dunia lain yang ditakdirkan berada di luar ketegangan dan pertarungan dunia real. Seni tentunya disertakan di dalam konstruksi wajah ”ideal” ini. Seni perdesaan didukung pelestariannya sebagai norma, sedangkan ragam seni baru ”wajib” mengacu secara formal dan tematis pada warisan lama, alih-alihnya modernitas seakan-akan belum menyentuh Pulau Bali. Pendeknya, ”ideologi tradisi” sedemikian menguasai benak orang sehingga wacana kritik/transformatif tak diberikan ruang yang berarti!

 

Sementara itu, realitas berbicara senyatanya melalui ekonomi pariwisata yang mentransformasi dunia real. Wajah fisik pulau berubah, urbanisasi merambah jalan-jalan, toko, warung dan ruko menutup sawah; lalu lintas kian liar tanpa menggubris transportasi umum memadati ruas jalan yang mengecil. Kondisi orang pun berubah: kaum perempuan kian otonom, pendatang terus berdatangan, tanah dikuasai pemilik baru… dan seterusnya.

 

Jadi, jeda antara norma yang tradisional dan realitas yang modern semakin meluas. Namun, kuasa ideologi ”tradisi” tak berkurang, hal mana memacetkan setiap langkah adaptatif, setiap upaya untuk memikirkan realitas secara rasional. Orang yang ingin kritik secara mendalam hanya bisa bersuara menjadi betul-betul pengkritik kalau berada di luar Bali. Kalau di Bali, kritiknya tetap harus dirumuskan dalam bahasa tradisi, dengan acuan pada norma ideal lama, yaitu norma tradisi. Jadinya macet, tak terlihat jalan keluar untuk akal sehat. Tak mengherankan, lama-kelamaan sebagian dari kaum pengkritik beralih sasaran. Karena tidak ditunjang kerangka pemikiran yang tepat, tidak pula ditunjang kesenian yang betul-betul terbuka, pendatanglah menjadi sasaran kritikannya. Gejala ini terutama terlihat di pers lokal. Jadi, ujung-ujungnya pemujaan tradisi bergeser menjadi racun.

 

Untunglah tidak semua awan gelap di langit Bali ini. Secara paradoksal, pandemi Covid-19 menjadi shock yang memaksakan orang, semua orang, untuk merenungkan kembali hubungan manusia dengan alam. Dengan sendirinya, terbukalah ruang pemikiran baru dan ruang kritikan baru. Perenungan itu tidak hanya melibatkan orang Bali, tetapi juga orang luar, bahkan orang asing pun diminta pertimbangan. Dibantu oleh media online, gagasan-gagasan anyar berseliweran, menggerogoti wacana kaku ideologi tradisi, dan pada umumnya terhindarilah fokalisasi kesalahan terhadap kaum pendatang.

 

Paling menarik, udara baru tidak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga dari pemerintah daerah. Pejabat baru merangkul kebijakan baru. Kata kunci ”tradisi” menghilang atau dilengkapi oleh referensi pada kekinian. Bahkan, salah satu festival yang baru-baru ini merayakan pemulihan situasi normal setelah Covid-19 disebut ”Festival Seni Bali Jani”, artinya ”Seni Bali Masa Kini”.

 

Acuannya pada kekinian bukan hanya formal. Salah satu karya yang paling menarik yang muncul pada Festival Seni Bali Jani itu adalah pementasan teater monolog ”Drupadi”. Nama Drupadi terkenal, kan? Dia adalah tokoh Mahabharata yang menjadi istri kelima Pandawa sekaligus. Namun, apakah pementasan ”Drupadi” merayakan keluhuran nilai-nilai Mahabharata seperti lazim dilakukan selama ini? Tidak!

 

Ia sebaliknya mengajak kita untuk mengkritik landasan patriarki karya besar itu. Versi ”Drupadi” ini merupakan suatu monolog yang melantunkan keluh kesah tokoh Drupadi sebagai perempuan. Dia mengeluhkan ketak-kuasaannya hadir sebagai ”subyek” penuh dari kehidupannya sendiri ”apa karena aku perempuan”.

 

Menarik, kan? Apalagi dipentaskan dengan apik di dalam suasana mistis lintas waktu. Siapa penulis naskah dan sutradaranya? Apakah seorang perempuan? Tidak! Dia seorang lelaki Bali bernama: Putu Fajar Arcana. Sebagai lelaki, dia tidak mengeluh tentang nasib kaumnya, tetapi menyadari nasib kaum lainnya, yaitu kaum perempuan.

 

Putu banyak menyerap sistem nilai dan kedalaman estetika di luar Bali dan oleh sebab itu ia berpikiran dinamis serta lebih terbuka dibandingkan mereka yang menetap di Bali.

 

Perluasan kesadaran memang inti dari kebudayaan dan itu bukanlah tradisi. Semoga jalan kesadaran itu teruslah ditempuh oleh semua lapis masyarakat, hidup fajar tradisi baru!

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/29/tradisi-dan-kesadaran

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar