Senin, 31 Oktober 2022

 

Ikhtiar Melahirkan Buya Syafii Maarif Baru

Iqbal Basyari

KOMPAS, 30 Oktober 2022

 

                                                

 

Suatu siang tahun 2019 lalu, Direktur Eksekutif Maarif Institute Abdul Rohim Ghazali bersama sejumlah koleganya berkunjung ke apartemen mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka datang untuk memastikan kondisi kesehatan Buya yang telah berusia di atas 80 tahun.

 

Waktu itu, Buya Syafii masih rutin ke Jakarta untuk menjalankan tugas kenegaraan, baik sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) maupun anggota Dewan Etik Mahkamah Konstitusi. Kesempatan itu selalu dimanfaatkan para aktivis Maarif Institute menemui sang pendiri yang belakangan lebih sering tinggal di kediamannya di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Pada beberapa kesempatan, Buya sempat melontarkan keinginan untuk mengumpulkan artikel-artikelnya yang dipublikasikan di sejumlah media menjadi sebuah buku. Namun, hingga Buya wafat, 27 Mei 2022, keinginan itu belum terwujud.

 

Setelah 100 hari Buya meninggal, barulah kumpulan tulisannya diterbitkan dalam tiga buku berjudul Bulir-bulir Refleksi Seorang Mujahid yang diterbitkan Kompas, Al-qur’an untuk Tuhan atau untuk Manusia? diterbitkan Suara Muhammadiyah, serta Indonesia Jelang Satu Abad, Refleksi tentang Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan diterbitkan Mizan. Ketiga buku itu diluncurkan secara bersamaan di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (27/10/2022).

 

Menurut Rohim, buku-buku yang berisi gagasan Buya Syafii tersebut perlu disebarluaskan, terutama di kalangan generasi muda. Sebab, pemikiran Buya selalu relevan dengan kondisi Indonesia. Sebagai calon pemimpin bangsa, generasi muda perlu memahami sekaligus mewarisi pemikiran kritis Buya. Dengan begitu, lambat laun akan muncul ”Buya Syafii” baru.

 

Tiga pemikiran

 

Setidaknya ada tiga pemikiran Buya Syafii yang terangkum dalam ketiga buku tersebut, yakni tentang pemikiran Islam keindonesiaan, keadilan, dan pemberantasan korupsi. Dalam isu Islam dan keindonesiaan, Buya Syafii melihat ada upaya-upaya untuk membenturkan keislaman dengan kebangsaan dan Pancasila. Menurut dia, hal itu bisa membahayakan kehidupan bangsa.

 

”Kalau bagi Buya, antara Islam dan keindonesiaan bukan semacam pilihan ganda, bukan pilih salah satu dan mengabaikan yang lain. Gagasan Buya adalah secara umum keislaman dan keindonesiaan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,” kata Rohim.

 

Soal isu keadilan, lanjutnya, Buya selalu mengatakan bahwa mimpi tentang Indonesia yang adil baru bisa terwujud jika tak ada lagi kemiskinan di Tanah Air. Maka, muncullah ungkapan, sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, kini kondisinya yatim piatu karena keadilan belum sepenuhnya terwujud. Adapun gagasan tentang pemberantasan korupsi, Buya selalu mendorong siapa pun untuk memerangi korupsi walau harus berhadapan dengan kawan sendiri.

 

”Meski pemikiran Buya relevan, gagasannya dianggap elitis. Maka, Maarif Institute selalu mengarahkan program ke anak muda agar pemikiran Buya yang dianggap elitis bisa dipahami agar Buya baru lambat laun bisa muncul,” ujar Rohim.

 

Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo saat peluncuran dan diskusi buku Ahmad Syafii Maarif mengatakan, sehari setelah Buya Syafii wafat, halaman depan Kompas berlatar belakang hitam dan menampilkan tulisan tentang Buya berjudul Nyala Abadi Suluh Bangsa. Hal itu menggambarkan pikiran Buya Syafii selalu relevan dengan zaman.

 

”Di hari yang sama, saya menulis di kolom catatan politik dan hukum berjudul ”Muazin” Bangsa yang Selalu Gelisah. Saya menangkap Buya selalu gelisah dengan kondisi negara ini, apakah itu soal keberagaman, korupsi yang terus merajalela, dan keadilan sosial yang terus menganga di republik,” tuturnya.

 

Menurut Budiman, tulisan-tulisan Buya menjadi semacam sistem pengingat dini akan bahaya yang mengancam bangsa. Tulisannya yang mampu menangkap kegelisahan atas kondisi negara ini selalu relevan dengan zaman.

 

Sepeninggal Buya dan ”muazin” bangsa lainnya, seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan terakhir Azyumardi Azra, menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk melahirkan muazin-muazin bangsa selanjutnya. Muazin bangsa yang bisa menjadi jangkar antara masyarakat sipil dan partai politik.

 

Pengajar di Universitas Paramadina, Putut Widjanarko, mengatakan, Buya Syafii sangat mudah dan haus dengan hal-hal baru. Kata-katanya sangat lugas dan menggambarkan kegeraman yang luar biasa terhadap kondisi negeri ini.

 

Ia mencontohkan, beberapa kalimat Buya Syafii di antaranya "Politisi bermental lele, tuna moral"; "Saya akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi adalah sebuah dusta yang disengaja"; "Inilah sebuah negeri yang dikatakan beragama tetapi kelakuan warganya alangkah busuknya"; serta "Mungkin Indonesia akan bubar jika rahim nusantara gagal melahirkan para negarawan dengan wawasan yang jauh menembus ke depan karena yang berkeliaran adalah politisi rabun ayam plus pengusaha tuna moral".

 

Selain itu, ada kalimat "Indonesia terlalu mulai dijadikan ajang pertarungan politik tuna adat dengan membenamkan Pancasila ke bawah debu sejarah, namun jika yang tampil adalah mereka yang miskin visi dan tuna moral, kondisi Indnesia yang sudah lama berkubang dalam dosa dan dusta akan kian rontok, tuna martabat, dan sunyi dari keadilan".

 

"Buya adalah seorang intelektual organik karena terlibat dalam upaya-upaya yang serius untuk mentransformasi kita semua, dan tugas terberat Maarif Institute untuk menyebarkan ini," tutur Putut.

 

Oleh karena itu, sudah semestinya pemikiran-pemikiran Buya disebarluaskan, terutama kepada generasi muda, sebagai ikhtiar untuk melahirkan Buya Syafii baru.

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/10/29/ikhtiar-melahirkan-buya-syafii-maarif-baru

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar