Dampak Gas Air Mata
Tragedi Kanjuruhan Riky Ferdianto : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 30
Oktober 2022
MENGAKU sebagai anggota
Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Malang, dua pria menyambangi rumah
Devi Athok di Kecamatan Bululawang, Malang, Jawa Timur, pada Selasa, 11
Oktober lalu. Keduanya mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Mereka
menanyakan proses autopsi terhadap kedua anak perempuan Devi yang meninggal dalam
tragedi Kanjuruhan. Devi, 43 tahun, buru-buru
menemui tamunya. Ia kaget bercampur heran. Kedua polisi menyodorkan surat
persetujuan autopsi kedua anaknya yang dikirim sehari sebelumnya ke Polres
Malang. Mereka banyak bertanya tentang autopsi. “Klien saya berulang kali
dicecar pertanyaan, apakah benar menyetujui proses autopsi?” ujar Imam
Hidayat, kuasa hukum Devi. Devi kehilangan kedua
putrinya, Natasya Deby Ramadhani, 16 tahun, dan Nayla Deby Anggraeni, 13
tahun. Keduanya lahir dari hasil perkawinan Devi dengan Gebi Asta Putri.
Mantan istrinya itu pun wafat bersama kedua anaknya selepas menyaksikan
pertandingan antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang,
pada Sabtu, 1 Oktober lalu. Sebanyak 135 orang tewas akibat insiden itu.
Ratusan lainnya terluka. Tragedi meletup beberapa
menit setelah wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan berakhir.
Sejumlah suporter turun ke lapangan lalu memeluk dan memberi semangat kepada
pemain Arema FC. Dalam laga itu, Arema FC kalah 2-3 melawan Persebaya. Situasi di dalam stadion
rusuh saat polisi menembakkan gas air mata ke arah lapangan dan tribun.
Polisi menyebutkan gas air mata ditembakkan sebanyak sebelas kali. Ribuan
suporter yang terdiri atas anak-anak dan perempuan panik berebut menuju pintu
keluar. Korban tragedi Kanjuruhan diduga meninggal karena terinjak-injak
sesama suporter, kehabisan oksigen, serta diduga menghirup gas air mata
secara berlebihan. Penyidik gabungan dari
Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Kepolisian Daerah Jawa Timur, dan
Polres Malang menetapkan enam tersangka sepekan kemudian. Mereka adalah
Akhmad Hadian Lukita selaku Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru, Abdul
Haris sebagai Ketua Panitia Pelaksana Arema, dan Suko Sutrisno yang menjabat
security officer. Polisi yang menjadi
tersangka adalah Kepala Bagian Operasi Polres Malang Komisaris Wahyu Setyo,
Komandan Kompi 3 Brigade Mobil Polda Jawa Timur Ajun Komisaris Has Darman,
dan Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Afandi.
Mereka diduga memerintahkan anak buahnya melontarkan gas air mata. Sejumlah pihak, termasuk
Devi, mengaku heran polisi mengesampingkan dugaan gas air mata sebagai salah
satu penyebab banyaknya korban tewas. Tidak ada satu pun publikasi
pemeriksaan laboratorium tentang dampak penggunaan gas air mata itu dalam
tragedi Kanjuruhan. Itu sebabnya Devi
menyetujui autopsi kepada kedua buah hatinya. Ia ingin semua penyebab
kematian kedua anaknya terang benderang. “Kedua anaknya meninggal dengan
kondisi tak wajar,” ujar Imam. Kondisi jenazah Natasya
tak lazim. Bagian dada hingga kepalanya membiru. Ada darah segar mengalir
dari hidung. Mulutnya mengeluarkan busa. Devi bahkan mengalami gatal-gatal
selama sepekan setelah memeluk dan mencium hidung anaknya saat masih
dibantarkan di rumah sakit. Tak ada tanda-tanda luka terbuka atau lebam
akibat injakan di jasad putrinya. Devi semula menganggap
personel Polres Malang datang ke rumahnya guna membantu proses autopsi. Namun
kehadiran polisi justru dianggap mengganggu. Ia menarik izin autopsi kepada
kedua anaknya setelah berkali-kali didatangi polisi. “Klien saya merasa
terintimidasi setelah puluhan polisi tiga kali menyambangi rumah,” tutur Imam
Hidayat. Anggota Tim Gabungan
Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan, Laode Muhammad Syarif,
mengatakan hampir setiap hari polisi mendatangi keluarga korban. Mereka
merasa tak nyaman. “Akibatnya, mereka membatalkan izin autopsi,” ucap mantan
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu. Dimintai konfirmasi ihwal
intimidasi ini, Kepala Bagian Penerangan Umum Kepolisian RI Komisaris Besar
Nurul Azizah menyarankan pertanyaan tersebut disampaikan ke Polda Jawa Timur.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Timur Komisaris Besar Dirmanto
membantah dugaan intimidasi tersebut. “Autopsi justru membantu proses
penyidikan,” ujarnya. Untuk mengatasi sengkarut
ini, Laode mengatakan TGIPF berkomunikasi dengan pimpinan Polri. Mereka
meminta polisi mendorong keluarga korban beramai-ramai memberi izin autopsi.
Upaya ini ampuh. Polisi berencana mengundang para ahli dan akan menggelar
autopsi pada November mendatang. Imam Hidayat mengatakan
Devi sudah kembali menuliskan izin autopsi kepada putrinya. Surat persetujuan
itu kembali dibuat pada Sabtu, 22 Oktober lalu, setelah ia mendapat jaminan keamanan
dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). “Surat izin autopsi itu
dibuat secara tertulis tanpa tekanan dari pihak mana pun,” tutur Imam. Devi kini berstatus
terlindung di LPSK. Ia enggan meladeni permohonan wawancara lantaran khawatir
salah memberikan pernyataan. “Maaf, saya sedang berada dalam perlindungan
LPSK” ujarnya melalui pesan WhatsApp. Wakil Ketua LPSK Edwin
Partogi membenarkan informasi tersebut. Devi merupakan satu dari 18 orang
yang menerima perlindungan dari LPSK terkait dengan tragedi Kanjuruhan.
Mereka tak bisa lagi ditemui sembarang orang. “Ada efek traumatis yang
dialami para suporter dan keluarganya, terutama setelah apa yang dialami
Kelvin,” katanya. Kelvin adalah penonton yang diburu polisi akibat
memviralkan video korban Kanjuruhan. Kelvin merekam suasana
panik di pintu 13 stadion. Lokasi itu merupakan salah satu fokus penyidikan
polisi dan tim lain karena ditemukan banyak korban meninggal. Dalam video
berdurasi 19 detik itu, tampak ratusan Aremania—sebutan suporter Arema
FC—berdesakan saat akan keluar dari pintu stadion selebar 1,8 meter. Tak
terlihat ada petugas di sana. Dokumen rencana pengamanan
pertandingan BRI Liga 1 Arema FC versus Persebaya Surabaya Polres Malang yang
diperoleh Tempo menyebutkan semua pintu stadion seharusnya dijaga 50 anggota
panitia. Turut dicantumkan beberapa perwira yang menjadi koordinator
pengamanan semua pintu. Rencana pengamanan juga
menuliskan area timur tribun Stadion Kanjuruhan dijaga satu anjing pengamanan
bersama 50 personel Brigade Mobil, 31 personel Komando Distrik Militer 0818
Kabupaten Malang, dan 25 personel Batalyon Zeni Tempur 5 Kepanjen. Mereka
adalah bagian dari 2.034 personel gabungan pengamanan yang diterjunkan pada
malam itu. Namun strategi pengamanan
tersebut diduga berantakan. Seseorang yang mengetahui proses investigasi
tragedi Kanjuruhan mengatakan polisi di dalam stadion meninggalkan posnya
beberapa menit setelah pertandingan berakhir. Ini menyebabkan lapis
pengamanan bolong lalu penonton berhamburan ke lapangan. Situasi makin tak
terkendali ketika polisi melepaskan tembakan gas air mata. Sejumlah polisi
dan prajurit Tentara Nasional Indonesia memukuli penonton yang masuk ke
lapangan. Ratusan suporter di dalam tribun ikut lari tunggang langgang
setelah terpapar gas air mata yang ditembakkan dari lapangan. Tapi penembakan gas air
mata itu ditengarai tak menjadi obyek penyidikan. Hal ini terungkap dari reka
adegan yang digelar di lapangan sepak bola Polda Jawa Timur pada Rabu, 19
Oktober lalu. Adegan ke-19 hingga ke-25 yang memuat kronologi penembakan
hanya memperagakan tembakan ke arah sentel ban sisi selatan. Penembakan itu
diketahui dilakukan atas perintah tersangka Has Darman. Mengenai kejanggalan
rekonstruksi yang tak memperagakan tembakan gas air mata ke arah tribun,
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Dedi
Prasetyo mengatakan tim penyidik punya keyakinan tersendiri. Semua materi
penyidikan dan temuan saat rekonstruksi bakal dipertanggungjawabkan dalam
sidang. “Kalau misalnya tersangka mau menyebutkan tidak ada penembakan ke
arah tribun, itu haknya. Tersangka punya hak ingkar,” ucapnya. Detik-detik tragedi itu
juga terekam CCTV atau kamera pengawas stadion. Kepala Dinas Pemuda dan
Olahraga Kabupaten Malang Nazaruddin Hasan sudah menyerahkan semua salinan
rekaman kamera pengawas kepada polisi. Dia menerangkan, kamera yang tersebar
di 32 titik itu semuanya berfungsi normal. “Kalau rekaman CCTV yang diperoleh
TGIPF dari polisi ada yang hilang selama delapan menit, saya tidak tahu,” ujarnya. Laporan hasil pemeriksaan
LPSK turut merekomendasikan penggunaan gas air mata sebagai penyebab korban
meninggal. Sebab, korban tewas tragedi Kanjuruhan umumnya memperlihatkan
gejala serupa dengan kedua anak Devi. Penyelidikan kasus itu tak
hanya mengarah pada korban. Polisi, TGIPF, dan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia turut menggandeng sejumlah pakar untuk mempelajari kandungan dalam
selongsong gas air mata. Setiap pihak mengandalkan tim ahli dari tempat
berbeda. “Kami menggandeng pakar dari perguruan tinggi,” tutur Wakil Ketua
Komnas HAM Bidang Penyelidikan Choirul Anam. Komnas HAM menemukan
selongsong peluru gas air mata berasal dari personel Brigade Mobil dan
Samapta. Kedua satuan itu diketahui mengarahkan sejumlah tembakan ke arah
suporter, baik yang berada di lapangan maupun tribun penonton. Komnas juga mempertanyakan
mengapa polisi menggunakan gas air mata yang kedaluwarsa. “Peluru buatan 2016
itu hanya berumur tiga tahun. Mengapa masih digunakan?” kata Anam. TGIPF mengaku sedang
kesulitan mencari dokter yang mau meneliti dan bersaksi ihwal dampak
penggunaan gas air mata di Kanjuruhan. “Mereka takut menjadi saksi,” ucap
Laode. Untuk mengatasi ini, mereka sedang mendekati sejumlah dokter. Kepala Badan Riset dan
Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko sudah menyerahkan hasil pemeriksaan
selongsong gas air mata kepada TGIPF. Namun ia tak bisa menyimpulkan apakah
kandungan bahan kimia dalam selongsong menjadi penyebab kematian para
suporter. “Pemeriksaan kami hanya menyebut kandungan bahan kimia. Dampak gas
hanya bisa dijelaskan jika ada data pembanding dari hasil autopsi,” katanya. Tempo juga memperoleh
dokumen pemeriksaan kimia hasil pemeriksaan laboratorium dari salah satu
lembaga yang diminta memeriksa sampel selongsong gas air mata Kanjuruhan.
Dalam dokumen sebanyak lima halaman itu tertera 30 diagram yang menerangkan
kandungan senyawa kimia. Di antaranya tercatat dengan nama benzaldehyde
3-chloro, chlorobenzaldehyde, naphthalene, dan chlorobenzylidene
malononitrile. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
mencatat penggunaan zat-zat ini dapat mengakibatkan gangguan saluran
pernapasan serta rasa sakit pada bagian mata dan kulit. Para korban yang
terpapar gas air mata juga akan merasakan gangguan pada organ pencernaan. Senyawa chlorobenzaldehyde
bahkan dilarang tertelan dan masuk kategori racun kluster delapan. Namun
dokumen itu belum memberi gambaran tingkat bahaya dalam kadar tertentu. Tim Advokasi Tragedi
Kanjuruhan mengungkap dampak lain penggunaan gas air mata. Salah seorang
korban selamat, Kevin, sedang bersiap menjalani operasi kaki. Peluru gas air
mata mendarat di kakinya. Belakangan luka di kakinya membengkak. Dokter pusat
kesehatan masyarakat merujuknya untuk dirawat di rumah sakit. “Ada racun yang
harus dibersihkan,” ujar anggota tim advokasi, Haris Azhar. Haris berharap polisi yang
menembakkan gas air mata dalam tragedi Kanjuruhan juga menjadi tersangka.
Informasi terakhir, sebelas personel yang melontarkan gas air mata hanya
dikenai pelanggaran etik. Perkara ini hanya menyeret kedua komandan, itu pun
dengan hanya menerapkan pasal kelalaian yang menyebabkan kematian. “Ada unsur
kesengajaan yang menewaskan para korban,” ujar pengacara dari kantor hukum
Lokataru itu. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/hukum/167293/dampak-gas-air-mata-tragedi-kanjuruhan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar