Benarkah BPOM
Melindungi Industri Farmasi dalam Kasus Gagal Ginjal Akut Hussein Abri Dongoran : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Oktober 2022
BERTEMU dengan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Kusumastuti Lukito di kantornya pada
Ahad siang, 23 Oktober lalu, pengurus Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia
membicarakan lima obat sirop yang terseret kasus gagal ginjal akut. Dalam
persamuhan di kantor BPOM itu, pengurus asosiasi industri farmasi meminta
BPOM tak ujug-ujug mengumumkan obat bermasalah. “Kami minta, sebelum
diumumkan ke masyarakat, yang tak memenuhi syarat itu diinformasikan ke
industri,” ujar Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Elfiano
Rizaldi ketika ditemui Tempo di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Kamis, 27
Oktober lalu. Elfiano menilai pengumuman
ke publik secara mendadak bisa meruntuhkan citra perusahaan farmasi dan
produk obat yang telah dibangun. Bekas Presiden Direktur PT Indofarma Persero
(Tbk) itu menyangkal bila industri obat disebut berupaya menutupi informasi
produk berbahaya. Ia mengklaim pemberitahuan lebih awal membuat perusahaan
obat bisa melakukan pemeriksaan berlapis bersama BPOM. Tiga hari sebelum
persamuhan itu, BPOM mengumumkan daftar lima obat yang mengandung etilena
glikol (EG) melebihi ambang batas, yaitu Termorex sirop produksi PT Konimex
dan Flurin DMP buatan PT Yarindo Farmatama. Sisanya bikinan PT Universal
Pharmaceutical Industries: Unibebi Cough sirop, Unibebi Demam sirop, dan
Unibebi Demam Drops. Elfiano menyebutkan bahwa tiga produsen obat itu baru
tahu produknya bermasalah setelah ada pengumuman BPOM. Menurut dia, dalam
pertemuan yang berlangsung dua jam itu Penny Lukito menyatakan bahwa
lembaganya masih menguji daftar 102 obat yang dikeluarkan Kementerian
Kesehatan pada Jumat, 21 Oktober lalu. Obat tersebut digunakan oleh pasien
gagal ginjal akut. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengimbau agar 102
obat itu tidak diresepkan dan dikonsumsi. Meminta obat bermasalah
tak buru-buru diumumkan, Gabungan Perusahaan Farmasi justru meminta BPOM
segera merilis hasil pengujian. “Pengumumannya jangan menunggu pengujian
selesai semua,” ucap Elfiano. Ia menilai pemeriksaan menyeluruh membutuhkan
waktu. GP Farmasi mencatat jumlah obat sirop mencapai 2.393 jenis. Sore setelah bertemu
dengan pengurus GP Farmasi, Penny Lukito menggelar jumpa pers dan mengumumkan
ada 133 obat sirop dan tetes yang tidak menggunakan pelarut berbahaya, yaitu
propilena glikol, polietilena glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol.
“Sehingga aman digunakan,” kata Penny. Empat hari kemudian atau Kamis, 27
Oktober lalu, jumlahnya bertambah menjadi 198 obat. Adapun tentang 102 remedi
yang digunakan pasien gagal ginjal akut, BPOM justru menyatakan 23 obat di
antaranya tak menggunakan pelarut berbahaya dan 7 obat dinyatakan aman. BPOM
menyebutkan ada tiga produk yang mengandung cemaran etilena glikol (EG) dan
dietilena glikol (DEG) melebihi ambang batas. Dalam rilisnya, BPOM
menyebutkan tiga produk itu bagian dari lima obat sirop yang ditarik dari
peredaran. Menjawab pertanyaan
tertulis yang diajukan Tempo pada Sabtu, 29 Oktober lalu, Penny Lukito
membenarkan jika disebut bertemu dengan pengurus GP Farmasi. Ia mengklaim
pertemuan itu sebagai bentuk tanggung jawab bersama antara pelaku usaha
farmasi dan pemerintah. “BPOM dan GP Farmasi menguji produk untuk melindungi
kesehatan masyarakat,” tutur Penny. Ia menampik bila
lembaganya disebut akan memenuhi permintaan industri farmasi agar tak langsung
mengumumkan obat yang bermasalah. “BPOM harus mengumumkan segera hasil
pengawasan terhadap produk berisiko terhadap kesehatan masyarakat melalui
berbagai media,” ujarnya. ••• PERINGATAN Badan Kesehatan
Dunia atau World Health Organization (WHO) tentang kasus gagal ginjal akut
pada anak tersebar ke berbagai penjuru pada 5 Oktober lalu. Hari itu WHO
merilis daftar empat obat asal India yang menjadi penyebab gagal ginjal akut
di Gambia. Negara yang terletak di bagian barat Afrika tersebut mencatat kala
itu ada 66 anak meninggal. Di Indonesia, peringatan
dari WHO membuat Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meminta bawahannya
memeriksa kemungkinan penyebab yang sama. Seperti di Gambia, jumlah kasus
gagal ginjal akut pada anak mulai melonjak pada September lalu. Ikatan Dokter
Anak Indonesia melaporkan pada bulan itu ada 78 kasus, meningkat dibandingkan
dengan Agustus yang sebanyak 36 kasus. Tim yang ditugasi Budi
mencari obat-obatan yang digunakan oleh penderita gagal ginjal akut. Juga
sekaligus menguji kandungan etilena glikol (EG) dan dietilena glikol
(DEG)—dua senyawa yang terdapat pada obat-obatan tercemar di Gambia—dalam
obat tersebut di Pusat Laboratorium Forensik Kepolisian RI. “Hasilnya memang
ada kandungan EG dan DEG, meski belum bisa diukur kadarnya,” kata Budi dalam
wawancara khusus dengan Tempo pada Sabtu, 29 Oktober lalu. Pada Senin, 17 Oktober
lalu, Menteri Budi menggelar rapat dengan perwakilan Badan Pengawas Obat dan
Makanan serta sejumlah epidemiolog. Tiga pejabat Kementerian Kesehatan menyatakan
pejabat BPOM yang hadir dalam pertemuan itu menyebutkan obat-obatan di dalam
negeri aman dikonsumsi. Sumber yang sama mengatakan kala itu BPOM terlihat
belum mulai menyelidiki kemungkinan obat sebagai penyebab gagal ginjal akut. Epidemiolog dari Universitas
Indonesia, Pandu Riono, yang ikut dalam beberapa rapat bersama dengan BPOM
dan Kementerian Kesehatan, juga menyaksikan hal tersebut. “Saat itu BPOM
masih keberatan obat dikaitkan dengan gagal ginjal,” ujarnya ketika
dihubungi, Selasa, 25 Oktober lalu. Hingga hari itu BPOM telah
dua kali mengeluarkan rilis, yaitu pada 12 dan 15 Oktober. Isinya hanya
menyatakan bahwa empat obat asal India tidak terdaftar dan tidak beredar di
Indonesia. Lembaga itu juga mengklaim melakukan pengawasan pre-market dan post-market
secara komprehensif. Petinggi Kementerian
Kesehatan yang diwawancarai Tempo mengatakan lembaganya tak bisa mengumumkan
atau menarik obat-obatan yang diduga mengandung senyawa berbahaya. Sebab,
otoritas itu berada di tangan BPOM. Kelambanan BPOM menelusuri kandungan obat
membuat petinggi Kementerian Kesehatan memutar jalan. Pada Selasa, 18 Oktober
lalu, atau sehari setelah rapat di Kementerian Kesehatan, pelaksana tugas
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Murti Utami, mengeluarkan surat edaran
yang isinya mengimbau agar semua obat sirop tak diresepkan hingga hasil
pengujian rampung. Surat edaran itu ditujukan kepada tenaga kesehatan yang
bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. Imbauan yang sama
ditujukan kepada apotek agar tak menjual obat sirop atau cair. Urusan tenaga
kesehatan dan apotek merupakan tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Dimintai tanggapan
mengenai terbitnya surat edaran tersebut, Menteri Kesehatan mengatakan
keputusan itu bertujuan mencegah jumlah kasus gagal ginjal akut bertambah
banyak. Sebelum surat edaran terbit, Menteri Budi menerima kiriman foto dari
Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo,
Jakarta, yang menunjukkan ruang pediatric intensive care unit (PICU) dipenuhi
anak balita yang mengalami gagal ginjal. “Dalam kondisi seperti itu, setiap
menit berharga,” ucapnya. Mantan Wakil Menteri Badan
Usaha Milik Negara itu membenarkan jika urusan pemeriksaan dan penarikan obat
disebut berada di tangan BPOM. Keputusan itu juga diambil sambil menunggu
kepastian soal kandungan etilena glikol, dietilena glikol, dan etilena glikol
butil eter dalam obat yang diduga menjadi pemicu gagal ginjal akut. Satu hari setelah surat
edaran Kementerian Kesehatan terbit, BPOM mengeluarkan rilis yang menyatakan
bahwa lembaga itu masih menelusuri dan menguji sampel obat sirop yang
berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG. Lembaga yang dibentuk tahun 2000
itu juga menyatakan penyebab gagal ginjal akut masih belum bisa disimpulkan. Dalam rilis yang sama,
BPOM meminta industri farmasi yang memiliki obat sirop melakukan pengujian
mandiri dan melaporkannya. Sehari kemudian atau pada Kamis, 20 Oktober lalu,
BPOM akhirnya merilis daftar lima obat sirop yang mengandung cemaran EG dan
DEG. Tiga perusahaan farmasi yang memproduksi obat itu diminta segera menarik
obat tersebut. Seorang petinggi
Kementerian Kesehatan bercerita, pengumuman oleh BPOM itu sesungguhnya molor
satu hari. Entah apa sebabnya. Yang jelas, dalam rilisnya, BPOM menyatakan
telah menguji 39 batch dari 26 obat sirop hingga 19 Oktober lalu. Dalam wawancara tertulis
dengan Tempo pada Sabtu, 29 Oktober lalu, Kepala BPOM Penny Lukito membantah
jika lembaganya disebut lamban mengawasi keamanan obat yang beredar. “Kami
telah mengawasi dan mengendalikan khasiat, keamanan, serta mutu obat dan
makanan secara komprehensif dan maksimal dalam kerangka product life cycle,”
ujar Penny. Pada Rabu, 26 Oktober
lalu, Penny dalam sebuah diskusi daring menyatakan Kementerian Kesehatan
terlambat memberikan laporan. BPOM pertama kali mendapat informasi
peningkatan angka kasus gagal ginjal anak dari Kementerian Kesehatan pada 10
Oktober lalu. Tapi, menurut Penny, laporan dari Kementerian Kesehatan itu tak
lengkap. “Akan sangat menolong kalau laporan itu kami terima lengkap,” ujarnya. Tanpa menunggu hasil
pengujian BPOM, Kementerian Kesehatan mempersempit jumlah obat sirop yang
diduga mengandung senyawa berbahaya. Sehari setelah BPOM mengumumkan lima
obat yang mengandung EG dan DEG, Kementerian merilis daftar 102 obat yang
dikonsumsi penderita gagal ginjal akut pada Jumat, 21 Oktober lalu. Keputusan Kementerian
Kesehatan disebut-sebut mendapat dukungan dari Menteri Koordinator
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Menggelar rapat di
kantornya hari itu, Muhadjir bahkan mendukung agar semua obat sirop dilarang
peredarannya hingga pemeriksaan laboratorium rampung. Deputi Koordinasi
Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian
Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Agus Suprapto, yang hadir
dalam pertemuan itu, mengatakan bosnya juga sempat membahas keamanan bahan
baku obat. “Saya mengusulkan untuk menyertakan laboratorium berkualitas dan
laboratorium farmasi agar lebih cepat mendapatkan hasil pemeriksaan,” tutur
Agus. Rapat itu dihadiri oleh
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala BPOM Penny Lukito, Menteri
Perdagangan Zulkifli Hasan, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang
Kartasasmita. Sikap Muhadjir yang mendukung Menteri Budi juga ditunjukkan
dengan menginspeksi apotek di Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu, 22 Oktober lalu.
Bersama Wali Kota Bima Arya Sugiarto, Muhadjir memeriksa penjualan obat
sirop. Di Dewan Perwakilan
Rakyat, perbedaan sikap di kalangan pemerintah disorot para politikus
Senayan. Wakil Ketua Komisi Kesehatan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera,
Kurniasih Mufidayati, menilai kelambanan BPOM memeriksa obat dan Kementerian
Kesehatan mengumpulkan data pasien berimplikasi serius. “Yang menjadi korban
adalah masyarakat,” ujarnya. Hingga Kamis, 27 Oktober lalu, jumlah pasien
gagal ginjal kembali meningkat. Kementerian Kesehatan mencatat ada 269 kasus,
157 orang di antaranya meninggal. Adapun Wakil Ketua Komisi
Kesehatan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Charles Honoris,
menyoroti BPOM yang terus berkilah ihwal penyebab gagal ginjal anak akibat
pencemaran bahan baku obat. “Karena kalau BPOM mengakui adanya pencemaran,
itu artinya mereka mengakui kerjanya tidak benar,” katanya, Selasa, 25
Oktober lalu. Dalam konferensi pers yang
digelar Ahad, 23 Oktober lalu, Kepala BPOM Penny Lukito meminta tak ada sikap
saling menyalahkan. Ia menampik jika lembaganya disebut berseteru dengan
Kementerian Kesehatan. Menurut dia, BPOM dan Kementerian Kesehatan telah
berkolaborasi sesuai dengan tugas masing-masing. “Sebagai upaya sinergis
menanggulangi kasus gagal ginjal akut,” ucapnya dalam wawancara tertulis
dengan Tempo. ••• MENGIKUTI rapat kabinet
terbatas di Istana Bogor pada Senin, 24 Oktober lalu, Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Penny Lukito memaparkan upaya yang telah dilakukan
lembaganya dalam kasus gagal ginjal akut. “Saya melaporkan tentang pengawasan
dan upaya pencegahan sesuai dengan tugas dan fungsi BPOM,” Penny menjelaskan
dalam wawancara tertulis dengan Tempo pada Sabtu, 29 Oktober lalu. Rapat itu juga diikuti
oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy,
Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Sekretaris Kabinet
Pramono Anung, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Menteri Kesehatan Budi
Gunadi Sadikin. Menurut Penny, Presiden Joko Widodo memerintahkan dia
menggelar investigasi menyeluruh terhadap semua obat sirop yang menggunakan
bahan pelarut. Pejabat negara yang
mengetahui isi rapat kabinet terbatas bercerita, Jokowi meminta saran dari
Menteri Kesehatan mengenai peredaran obat sirop. Narasumber itu bercerita
bahwa Menteri Budi menyarankan semua obat sirop dilarang peredarannya kecuali
yang menggunakan bahan pelarut air dan obat khusus seperti untuk penderita
epilepsi. Seusai rapat terbatas,
Penny menyebutkan lembaganya akan memidanakan dua perusahaan yang menggunakan
etilena glikol dan dietilena glikol. Namun ia enggan menyebutkan nama
korporasi tersebut. Direktur Eksekutif
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Elfiano Rizaldi mengatakan Penny sudah
menyinggung ihwal dua perusahaan yang akan dijerat secara hukum saat bertemu
dengan pengurus organisasinya. Elfiano mengatakan perusahaan yang bakal
dilaporkan ke polisi tak jauh-jauh dari yang produknya sudah ditarik dari
pasar. Mereka adalah PT Konimex,
PT Yarindo Farmatama, dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
“Dipersempit dari tiga perusahaan ini dan diperdalam kenapa tidak memenuhi
syarat,” katanya. Elfiano juga enggan menyebut nama dua perusahaan tersebut. Sempat melarang obat
Termorex yang diproduksi Konimex, pada Ahad, 23 Oktober lalu, BPOM belakangan
mengubah keputusannya. Penny Lukito membatasi Termorex sirop yang ditarik
adalah yang bernomor produksi AUG22A06. Menurut Penny, keputusan diambil
karena BPOM telah melakukan pengujian pada nomor produksi yang berbeda-beda. BPOM juga telah mendatangi
pabrik PT Konimex di Surakarta, Jawa Tengah, untuk mengambil sampel bahan
baku obat tersebut. “Mereka sangat kooperatif dan berkomitmen untuk menjaga
keamanan dan mutu produknya,” ujar Penny. Chief Executive Officer PT
Konimex Rachmadi Joesoef mengatakan perusahaannya menghentikan produksi dan
distribusi serta menarik peredaran Termorex bernomor produksi AUG22A06.
“Konimex memastikan bahan baku yang digunakan memenuhi persyaratan,” tutur
Rachmadi dalam keterangannya, Jumat, 21 Oktober lalu. Benarkah produk bernomor
AUG22A06 itu ditarik dari peredaran? Sehari setelah BPOM mengubah
keputusannya, distributor Termorex di salah satu wilayah di Jawa mengeluarkan
surat edaran yang isinya menyebutkan rencana penarikan semua obat itu
dibatalkan. Dalam surat yang sama disebutkan bahwa produk bernomor batch
AUG22A06 belum didistribusikan dan masih tersimpan di gudang Konimex. Epidemolog dari
Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mempertanyakan keputusan tersebut.
Seharusnya semua produk Termorex sirop dihentikan sementara. “Kalau Termorex
mengandung satu dari empat senyawa pelarut, seharusnya semua di-suspend
dulu,” kata Windhu. Adapun kuasa hukum PT
Universal Pharmaceutical Industries—tiga obat produksinya ditarik dari
peredaran—Hermansyah Hutagalung mengatakan kliennya menggunakan pelarut
propilena glikol untuk produk obat. Ia mengklaim senyawa itu mengandung
etilena glikol dan dietilena glikol berkadar 0,08 persen atau di bawah dari
ambang batas 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari. Bahan itu dibeli oleh PT
Universal dari salah satu perusahaan farmasi di Medan, Sumatera Utara. PT
Universal juga mengantongi sertifikat analisis penyedia bahan propilena
glikol tersebut. “Jadi bukan kami yang salah,” ucap Hermansyah. Direktur Tindak Pidana
Tertentu Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Brigadir Jenderal Pipit
Rismanto mengatakan Polri masih melakukan investigasi bersama BPOM untuk
mendalami dugaan penyebab kasus gagal ginjal akut. “Kami perlu hasil semuanya
dan ahli yang akan mendalami tersebut,” ujarnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar