Minggu, 30 Oktober 2022

 

Benarkah BPOM Melindungi Industri Farmasi dalam Kasus Gagal Ginjal Akut

Hussein Abri Dongoran :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 23 Oktober 2022

 

 

                                                           

BERTEMU dengan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Kusumastuti Lukito di kantornya pada Ahad siang, 23 Oktober lalu, pengurus Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia membicarakan lima obat sirop yang terseret kasus gagal ginjal akut. Dalam persamuhan di kantor BPOM itu, pengurus asosiasi industri farmasi meminta BPOM tak ujug-ujug mengumumkan obat bermasalah.

 

“Kami minta, sebelum diumumkan ke masyarakat, yang tak memenuhi syarat itu diinformasikan ke industri,” ujar Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Elfiano Rizaldi ketika ditemui Tempo di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Kamis, 27 Oktober lalu.

 

Elfiano menilai pengumuman ke publik secara mendadak bisa meruntuhkan citra perusahaan farmasi dan produk obat yang telah dibangun. Bekas Presiden Direktur PT Indofarma Persero (Tbk) itu menyangkal bila industri obat disebut berupaya menutupi informasi produk berbahaya. Ia mengklaim pemberitahuan lebih awal membuat perusahaan obat bisa melakukan pemeriksaan berlapis bersama BPOM.

 

Tiga hari sebelum persamuhan itu, BPOM mengumumkan daftar lima obat yang mengandung etilena glikol (EG) melebihi ambang batas, yaitu Termorex sirop produksi PT Konimex dan Flurin DMP buatan PT Yarindo Farmatama. Sisanya bikinan PT Universal Pharmaceutical Industries: Unibebi Cough sirop, Unibebi Demam sirop, dan Unibebi Demam Drops. Elfiano menyebutkan bahwa tiga produsen obat itu baru tahu produknya bermasalah setelah ada pengumuman BPOM.

 

Menurut dia, dalam pertemuan yang berlangsung dua jam itu Penny Lukito menyatakan bahwa lembaganya masih menguji daftar 102 obat yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan pada Jumat, 21 Oktober lalu. Obat tersebut digunakan oleh pasien gagal ginjal akut. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengimbau agar 102 obat itu tidak diresepkan dan dikonsumsi.

 

Meminta obat bermasalah tak buru-buru diumumkan, Gabungan Perusahaan Farmasi justru meminta BPOM segera merilis hasil pengujian. “Pengumumannya jangan menunggu pengujian selesai semua,” ucap Elfiano. Ia menilai pemeriksaan menyeluruh membutuhkan waktu. GP Farmasi mencatat jumlah obat sirop mencapai 2.393 jenis.

 

Sore setelah bertemu dengan pengurus GP Farmasi, Penny Lukito menggelar jumpa pers dan mengumumkan ada 133 obat sirop dan tetes yang tidak menggunakan pelarut berbahaya, yaitu propilena glikol, polietilena glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. “Sehingga aman digunakan,” kata Penny. Empat hari kemudian atau Kamis, 27 Oktober lalu, jumlahnya bertambah menjadi 198 obat.

 

Adapun tentang 102 remedi yang digunakan pasien gagal ginjal akut, BPOM justru menyatakan 23 obat di antaranya tak menggunakan pelarut berbahaya dan 7 obat dinyatakan aman. BPOM menyebutkan ada tiga produk yang mengandung cemaran etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG) melebihi ambang batas. Dalam rilisnya, BPOM menyebutkan tiga produk itu bagian dari lima obat sirop yang ditarik dari peredaran.

 

Menjawab pertanyaan tertulis yang diajukan Tempo pada Sabtu, 29 Oktober lalu, Penny Lukito membenarkan jika disebut bertemu dengan pengurus GP Farmasi. Ia mengklaim pertemuan itu sebagai bentuk tanggung jawab bersama antara pelaku usaha farmasi dan pemerintah. “BPOM dan GP Farmasi menguji produk untuk melindungi kesehatan masyarakat,” tutur Penny.

 

Ia menampik bila lembaganya disebut akan memenuhi permintaan industri farmasi agar tak langsung mengumumkan obat yang bermasalah. “BPOM harus mengumumkan segera hasil pengawasan terhadap produk berisiko terhadap kesehatan masyarakat melalui berbagai media,” ujarnya.

 

•••

 

PERINGATAN Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) tentang kasus gagal ginjal akut pada anak tersebar ke berbagai penjuru pada 5 Oktober lalu. Hari itu WHO merilis daftar empat obat asal India yang menjadi penyebab gagal ginjal akut di Gambia. Negara yang terletak di bagian barat Afrika tersebut mencatat kala itu ada 66 anak meninggal.

 

Di Indonesia, peringatan dari WHO membuat Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meminta bawahannya memeriksa kemungkinan penyebab yang sama. Seperti di Gambia, jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak mulai melonjak pada September lalu. Ikatan Dokter Anak Indonesia melaporkan pada bulan itu ada 78 kasus, meningkat dibandingkan dengan Agustus yang sebanyak 36 kasus.

 

Tim yang ditugasi Budi mencari obat-obatan yang digunakan oleh penderita gagal ginjal akut. Juga sekaligus menguji kandungan etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG)—dua senyawa yang terdapat pada obat-obatan tercemar di Gambia—dalam obat tersebut di Pusat Laboratorium Forensik Kepolisian RI. “Hasilnya memang ada kandungan EG dan DEG, meski belum bisa diukur kadarnya,” kata Budi dalam wawancara khusus dengan Tempo pada Sabtu, 29 Oktober lalu.

 

Pada Senin, 17 Oktober lalu, Menteri Budi menggelar rapat dengan perwakilan Badan Pengawas Obat dan Makanan serta sejumlah epidemiolog. Tiga pejabat Kementerian Kesehatan menyatakan pejabat BPOM yang hadir dalam pertemuan itu menyebutkan obat-obatan di dalam negeri aman dikonsumsi. Sumber yang sama mengatakan kala itu BPOM terlihat belum mulai menyelidiki kemungkinan obat sebagai penyebab gagal ginjal akut.

 

Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, yang ikut dalam beberapa rapat bersama dengan BPOM dan Kementerian Kesehatan, juga menyaksikan hal tersebut. “Saat itu BPOM masih keberatan obat dikaitkan dengan gagal ginjal,” ujarnya ketika dihubungi, Selasa, 25 Oktober lalu.

 

Hingga hari itu BPOM telah dua kali mengeluarkan rilis, yaitu pada 12 dan 15 Oktober. Isinya hanya menyatakan bahwa empat obat asal India tidak terdaftar dan tidak beredar di Indonesia. Lembaga itu juga mengklaim melakukan pengawasan pre-market dan post-market secara komprehensif.

 

Petinggi Kementerian Kesehatan yang diwawancarai Tempo mengatakan lembaganya tak bisa mengumumkan atau menarik obat-obatan yang diduga mengandung senyawa berbahaya. Sebab, otoritas itu berada di tangan BPOM. Kelambanan BPOM menelusuri kandungan obat membuat petinggi Kementerian Kesehatan memutar jalan.

 

Pada Selasa, 18 Oktober lalu, atau sehari setelah rapat di Kementerian Kesehatan, pelaksana tugas Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Murti Utami, mengeluarkan surat edaran yang isinya mengimbau agar semua obat sirop tak diresepkan hingga hasil pengujian rampung. Surat edaran itu ditujukan kepada tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.

 

Imbauan yang sama ditujukan kepada apotek agar tak menjual obat sirop atau cair. Urusan tenaga kesehatan dan apotek merupakan tanggung jawab Kementerian Kesehatan.

 

Dimintai tanggapan mengenai terbitnya surat edaran tersebut, Menteri Kesehatan mengatakan keputusan itu bertujuan mencegah jumlah kasus gagal ginjal akut bertambah banyak. Sebelum surat edaran terbit, Menteri Budi menerima kiriman foto dari Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang menunjukkan ruang pediatric intensive care unit (PICU) dipenuhi anak balita yang mengalami gagal ginjal. “Dalam kondisi seperti itu, setiap menit berharga,” ucapnya.

 

Mantan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara itu membenarkan jika urusan pemeriksaan dan penarikan obat disebut berada di tangan BPOM. Keputusan itu juga diambil sambil menunggu kepastian soal kandungan etilena glikol, dietilena glikol, dan etilena glikol butil eter dalam obat yang diduga menjadi pemicu gagal ginjal akut.

 

Satu hari setelah surat edaran Kementerian Kesehatan terbit, BPOM mengeluarkan rilis yang menyatakan bahwa lembaga itu masih menelusuri dan menguji sampel obat sirop yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG. Lembaga yang dibentuk tahun 2000 itu juga menyatakan penyebab gagal ginjal akut masih belum bisa disimpulkan.

 

Dalam rilis yang sama, BPOM meminta industri farmasi yang memiliki obat sirop melakukan pengujian mandiri dan melaporkannya. Sehari kemudian atau pada Kamis, 20 Oktober lalu, BPOM akhirnya merilis daftar lima obat sirop yang mengandung cemaran EG dan DEG. Tiga perusahaan farmasi yang memproduksi obat itu diminta segera menarik obat tersebut.

 

Seorang petinggi Kementerian Kesehatan bercerita, pengumuman oleh BPOM itu sesungguhnya molor satu hari. Entah apa sebabnya. Yang jelas, dalam rilisnya, BPOM menyatakan telah menguji 39 batch dari 26 obat sirop hingga 19 Oktober lalu.

 

Dalam wawancara tertulis dengan Tempo pada Sabtu, 29 Oktober lalu, Kepala BPOM Penny Lukito membantah jika lembaganya disebut lamban mengawasi keamanan obat yang beredar. “Kami telah mengawasi dan mengendalikan khasiat, keamanan, serta mutu obat dan makanan secara komprehensif dan maksimal dalam kerangka product life cycle,” ujar Penny.

 

Pada Rabu, 26 Oktober lalu, Penny dalam sebuah diskusi daring menyatakan Kementerian Kesehatan terlambat memberikan laporan. BPOM pertama kali mendapat informasi peningkatan angka kasus gagal ginjal anak dari Kementerian Kesehatan pada 10 Oktober lalu. Tapi, menurut Penny, laporan dari Kementerian Kesehatan itu tak lengkap. “Akan sangat menolong kalau laporan itu kami terima lengkap,” ujarnya.

 

Tanpa menunggu hasil pengujian BPOM, Kementerian Kesehatan mempersempit jumlah obat sirop yang diduga mengandung senyawa berbahaya. Sehari setelah BPOM mengumumkan lima obat yang mengandung EG dan DEG, Kementerian merilis daftar 102 obat yang dikonsumsi penderita gagal ginjal akut pada Jumat, 21 Oktober lalu.

 

Keputusan Kementerian Kesehatan disebut-sebut mendapat dukungan dari Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Menggelar rapat di kantornya hari itu, Muhadjir bahkan mendukung agar semua obat sirop dilarang peredarannya hingga pemeriksaan laboratorium rampung.

 

Deputi Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Agus Suprapto, yang hadir dalam pertemuan itu, mengatakan bosnya juga sempat membahas keamanan bahan baku obat. “Saya mengusulkan untuk menyertakan laboratorium berkualitas dan laboratorium farmasi agar lebih cepat mendapatkan hasil pemeriksaan,” tutur Agus.

 

Rapat itu dihadiri oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala BPOM Penny Lukito, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Sikap Muhadjir yang mendukung Menteri Budi juga ditunjukkan dengan menginspeksi apotek di Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu, 22 Oktober lalu. Bersama Wali Kota Bima Arya Sugiarto, Muhadjir memeriksa penjualan obat sirop.

 

Di Dewan Perwakilan Rakyat, perbedaan sikap di kalangan pemerintah disorot para politikus Senayan. Wakil Ketua Komisi Kesehatan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Kurniasih Mufidayati, menilai kelambanan BPOM memeriksa obat dan Kementerian Kesehatan mengumpulkan data pasien berimplikasi serius.

 

“Yang menjadi korban adalah masyarakat,” ujarnya. Hingga Kamis, 27 Oktober lalu, jumlah pasien gagal ginjal kembali meningkat. Kementerian Kesehatan mencatat ada 269 kasus, 157 orang di antaranya meninggal.

 

Adapun Wakil Ketua Komisi Kesehatan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Charles Honoris, menyoroti BPOM yang terus berkilah ihwal penyebab gagal ginjal anak akibat pencemaran bahan baku obat. “Karena kalau BPOM mengakui adanya pencemaran, itu artinya mereka mengakui kerjanya tidak benar,” katanya, Selasa, 25 Oktober lalu.

 

Dalam konferensi pers yang digelar Ahad, 23 Oktober lalu, Kepala BPOM Penny Lukito meminta tak ada sikap saling menyalahkan. Ia menampik jika lembaganya disebut berseteru dengan Kementerian Kesehatan. Menurut dia, BPOM dan Kementerian Kesehatan telah berkolaborasi sesuai dengan tugas masing-masing. “Sebagai upaya sinergis menanggulangi kasus gagal ginjal akut,” ucapnya dalam wawancara tertulis dengan Tempo.

 

•••

 

MENGIKUTI rapat kabinet terbatas di Istana Bogor pada Senin, 24 Oktober lalu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Lukito memaparkan upaya yang telah dilakukan lembaganya dalam kasus gagal ginjal akut. “Saya melaporkan tentang pengawasan dan upaya pencegahan sesuai dengan tugas dan fungsi BPOM,” Penny menjelaskan dalam wawancara tertulis dengan Tempo pada Sabtu, 29 Oktober lalu.

 

Rapat itu juga diikuti oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Menurut Penny, Presiden Joko Widodo memerintahkan dia menggelar investigasi menyeluruh terhadap semua obat sirop yang menggunakan bahan pelarut.

 

Pejabat negara yang mengetahui isi rapat kabinet terbatas bercerita, Jokowi meminta saran dari Menteri Kesehatan mengenai peredaran obat sirop. Narasumber itu bercerita bahwa Menteri Budi menyarankan semua obat sirop dilarang peredarannya kecuali yang menggunakan bahan pelarut air dan obat khusus seperti untuk penderita epilepsi.

 

Seusai rapat terbatas, Penny menyebutkan lembaganya akan memidanakan dua perusahaan yang menggunakan etilena glikol dan dietilena glikol. Namun ia enggan menyebutkan nama korporasi tersebut.

 

Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Elfiano Rizaldi mengatakan Penny sudah menyinggung ihwal dua perusahaan yang akan dijerat secara hukum saat bertemu dengan pengurus organisasinya. Elfiano mengatakan perusahaan yang bakal dilaporkan ke polisi tak jauh-jauh dari yang produknya sudah ditarik dari pasar.

 

Mereka adalah PT Konimex, PT Yarindo Farmatama, dan PT Universal Pharmaceutical Industries. “Dipersempit dari tiga perusahaan ini dan diperdalam kenapa tidak memenuhi syarat,” katanya. Elfiano juga enggan menyebut nama dua perusahaan tersebut.

 

Sempat melarang obat Termorex yang diproduksi Konimex, pada Ahad, 23 Oktober lalu, BPOM belakangan mengubah keputusannya. Penny Lukito membatasi Termorex sirop yang ditarik adalah yang bernomor produksi AUG22A06. Menurut Penny, keputusan diambil karena BPOM telah melakukan pengujian pada nomor produksi yang berbeda-beda.

 

BPOM juga telah mendatangi pabrik PT Konimex di Surakarta, Jawa Tengah, untuk mengambil sampel bahan baku obat tersebut. “Mereka sangat kooperatif dan berkomitmen untuk menjaga keamanan dan mutu produknya,” ujar Penny.

 

Chief Executive Officer PT Konimex Rachmadi Joesoef mengatakan perusahaannya menghentikan produksi dan distribusi serta menarik peredaran Termorex bernomor produksi AUG22A06. “Konimex memastikan bahan baku yang digunakan memenuhi persyaratan,” tutur Rachmadi dalam keterangannya, Jumat, 21 Oktober lalu.

 

Benarkah produk bernomor AUG22A06 itu ditarik dari peredaran? Sehari setelah BPOM mengubah keputusannya, distributor Termorex di salah satu wilayah di Jawa mengeluarkan surat edaran yang isinya menyebutkan rencana penarikan semua obat itu dibatalkan. Dalam surat yang sama disebutkan bahwa produk bernomor batch AUG22A06 belum didistribusikan dan masih tersimpan di gudang Konimex.

 

Epidemolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mempertanyakan keputusan tersebut. Seharusnya semua produk Termorex sirop dihentikan sementara. “Kalau Termorex mengandung satu dari empat senyawa pelarut, seharusnya semua di-suspend dulu,” kata Windhu.

 

Adapun kuasa hukum PT Universal Pharmaceutical Industries—tiga obat produksinya ditarik dari peredaran—Hermansyah Hutagalung mengatakan kliennya menggunakan pelarut propilena glikol untuk produk obat. Ia mengklaim senyawa itu mengandung etilena glikol dan dietilena glikol berkadar 0,08 persen atau di bawah dari ambang batas 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari.

 

Bahan itu dibeli oleh PT Universal dari salah satu perusahaan farmasi di Medan, Sumatera Utara. PT Universal juga mengantongi sertifikat analisis penyedia bahan propilena glikol tersebut. “Jadi bukan kami yang salah,” ucap Hermansyah.

 

Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Brigadir Jenderal Pipit Rismanto mengatakan Polri masih melakukan investigasi bersama BPOM untuk mendalami dugaan penyebab kasus gagal ginjal akut. “Kami perlu hasil semuanya dan ahli yang akan mendalami tersebut,” ujarnya. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/167304/benarkah-bpom-melindungi-industri-farmasi-dalam-kasus-gagal-ginjal-akut

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar