Senin, 09 Desember 2019

Negara dan Tata Kelola Internet

EKONOMI POLITIK INTERNET
Negara dan Tata Kelola Internet

Oleh :  AGUS SUDIBYO

KOMPAS, 9 Desember 2019


Dapatkah negara mengatur internet? Bagaimana lingkup dan bentuk pengaturannya?

Sejak pertengahan 1990-an pertanyaan ini telah mengemuka. Semakin lama persoalan yang mengelilinginya semakin kompleks sehingga sulit menemukan jawaban yang diterima semua pihak. Tak pelak lagi, internet telah menjadi kenyataan global, menggerakkan perubahan revolusioner di berbagai bidang, memberikan ”arah baru” peradaban manusia, tetapi belum mengalami pelembagaan secara tuntas.

Satu hal yang pasti, revolusi digital telah melahirkan krisis kedaulatan negara-bangsa. Teknologi informasi terus bergerak dengan temuan baru, jaringan baru serta kerumitan baru yang secara cepat mendorong upaya perumusan bentuk tata kelola yang menembus batas-batas teritorial dan nasionalitas. Semua negara terbata-bata untuk mengikutinya. Semua negara merisaukan kedaulatan nasional menghadapi penetrasi teknologi informasi, arus informasi global, dan bentuk-bentuk disrupsi yang mengikutinya.

Seperti dijelaskan Milton Mueller dalam buku Will the Internet Fragment? Sovereignty, Globalization, and Cyberspace (Cambridge, UK: Polity, 2017), karakter utama teknologi internet adalah mendistribusikan kontrol. Bersamaan proses liberalisasi telekomunikasi, protokol-protokol internet telah mendesentralisasi peran dan otoritas dalam pengaturan jaringan informasi-komunikasi transnasional.

Dalam perjalanannya bermunculanlah institusi-institusi baru yang turut menentukan standar dan mekanisme pengelolaan sumber daya internet. Mereka adalah para aktor transnasional yang muncul secara organik di luar struktur formal negara-bangsa.

Organisasi seperti Internet Engineering Task Force, Regional Internet Address Registries, dan Internet Corporation for Assigned Names and Numbers hadir memfasilitasi proses untuk merumuskan standar-standar tata kelola internet. Di tangan mereka, diskursus tentang tata kelola internet mencerminkan upaya terus-menerus untuk membangun tata kelola baru di luar kelaziman pengaturan atas ranah yang lain. Ekosistem informasi-komunikasi global dianggap memerlukan rezim pengaturan yang bersifat lintas negara, bahkan di luar otoritasi negara sama sekali.

Libertarianisme digital

Keberatan paling keras terhadap campur tangan negara dalam urusan internet terangkum dalam apa yang dikenal sebagai perspektif libertarianisme digital (cyber libertarianism). Perspektif ini dengan tegas menyatakan fondasi dari internet adalah kebebasan. Maka semua bentuk pengaturan atas internet dianggap belenggu atas kebebasan.

Secara deterministik dinyatakan bahwa kebebasan berbicara adalah sesuatu yang secara bawaan melekat pada protokol internet. Protokol internet dibayangkan sebagai suatu sistem mandiri yang tidak memerlukan pelembagaan khusus atau proses politik apa pun untuk mewujudkan daya emansipasi teknologi digital.

Perspektif libertarianisme digital menegaskan internet adalah urusan antar- individu atau antar-kelompok yang berinteraksi secara virtual. Mereka secara swakelola mampu menyelesaikan masalah informatif-komunikatif melalui bentuk kesepakatan bersama di luar lingkup campur tangan negara. Di mata para libertarianis-digital, negara dengan otoritas formal-teritorialnya dan kekuatan mandatori-koersifnya tak relevan lagi. Negara-bangsa dipandang layaknya makhluk purba yang ketinggalan zaman.

Libertarianisme digital sangat populer di kalangan para pendukung kebebasan berinternet. Sinisme yang mereka kemukakan seiring dengan gelombang ketidakpercayaan (distrust) generasi milenial terhadap institusi-institusi formal. Namun, seperti dijelaskan Mueller, ada beberapa kelemahan perspektif libertarianisme digital. Pertama, perspektif ini melihat semua negara sama buruknya dalam mengatur tata kelola internet.

Seolah-olah di dunia ini hanya ada satu jenis pemerintahan, yakni pemerintahan yang otoriter atau reaksioner terhadap persoalan transformasi digital. Padahal, dalam kenyataan ada negara yang sangat demokratis, setengah demokratis, dan otoriter. Mereka memberikan respons berbeda atas duduk perkara transformasi digital. Mungkin benar pengaturan internet di Jerman, Inggris, atau Uni Eropa cenderung mengancam praktik kebebasan berinternet. Namun, apakah ancaman itu terjadi pada gradasi yang sama dengan di  Singapura, Malaysia dan Turki?

Kedua, para libertarianis digital kurang memperhitungkan fakta ada satu negara yang telah menguasai tata kelola internet global. Yang terjadi dalam ekosistem digital sejauh ini kurang lebih adalah globalisme unilateral. Internet adalah urusan yang menentukan ”hajat hidup” banyak negara, tetapi praktis dikendalikan secara unilateral oleh satu negara saja. Dengan demikian, tata kelola internet bukan sekadar urusan kebebasan berinternet melainkan juga urusan ekonomi-politik.

Terjadi benturan kepentingan antara negara yang telah menemukan dan mengembangkan internet sehingga merasa berhak meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan banyak negara lain yang merasa surplus ekonomi digitalnya diserap sedemikian besar oleh kekuatan asing.

Penolakan para libertarianis digital terhadap keterlibatan negara-negara dalam mengatur internet sekaligus permakluman mereka terhadap dominasi AS atas hal sama menurut Mueller adalah sebentuk kripto-nasionalisme. Mereka mengkritik intervensi negara sendiri atas pengelolaan internet, tetapi bersikap permisif terhadap praktik intervensionis AS atas tata kelola internet global.

Konservatisme digital

Dominasi kekuatan ekonomi AS atas ekosistem digital sesungguhnya tak kalah problematisnya dengan upaya negara-negara untuk mengendalikannya. Stanislav Budnitsky dalam tinjauan atas buku Mueller di atas (2019) menjelaskan perusahaan raksasa digital Silicon Valley memiliki catatan buruk tentang kompetisi bisnis yang tidak fair dan pelanggaran privasi pengguna internet.

Mereka terus diperkarakan dalam kasus praktik bisnis yang monopolistik, tindakan pengawasan ilegal terhadap pengguna internet, serta ketertutupan dalam persoalan pajak dan pengaturan algoritma.  Mereka secara diam-diam memanfaatkan data pengguna internet di seluruh dunia dan memperlakukan pengguna internet sebagai sebagai free labor.

Model bisnis yang mereka kembangkan telah menyebabkan ketimpangan ekonomi antarnegara dan antarkawasan. Meski bukan tindakan yang ilegal, perusahaan digital itu juga telah membelanjakan dana yang besar untuk mensponsori kegiatan advokasi internet bebas di berbagai negara dan mendukung para politisi dalam proses regulasi tentang komunikasi dan informasi.

Persoalan-persoalan ini memberi angin segar untuk para pendukung intervensi negara terhadap ranah internet. Intervensi ini dianggap perlu untuk menegaskan kedaulatan negara atas keamanan nasional, kebijakan fiskal, pengembangan industri informasi berorientasi nasional, serta upaya memerangi hoaks. Pada masalah hoaks yang memecah-belah masyarakat dewasa ini, titik tekan diberikan pada tanggung-jawab perusahaan platform media sosial.

Perspektif konservatisme digital pada sisi ini bertolak dari konsep internet berbatas (bordered Internet). Bahwa sebagaimana hal-hal lain, internet dapat ”didomestifikasi” sebagai urusan nasional suatu negara. Pengelolaan informasi-komunikasi digital harus diintegrasikan dalam sistem hukum nasional di mana negara sebagai aktor utamanya. Perspektif ini didukung unsur pemerintah dan politisi yang memang berorientasi pada pengaturan dan pengendalian. Mereka ingin mengatur ranah digital nasional, tetapi umumnya tidak menguasai benar kerumitan masalah yang berkembang di sana. Yang penting mengatur dulu, bagaimana mengaturnya urusan belakangan!

Tak pelak lagi, regulasi yang lahir kurang efektif untuk menyelesaikan masalah perlindungan data pribadi, epidemi hoaks, tren disrupsi, dan ketimpangan ekonomi, alih-alih justru cenderung mereduksi sisi positif digitalisasi: kebebasan berpendapat, pengembangan ilmu pengetahuan, efisiensi lintas bidang, dan pengembangan model ekonomi baru. Pengelolaan internet oleh lembaga formal negara secara negatif jadi identik dengan sekuritisasi ranah digital dan teritorialisasi domain komunikasi publik.

Tata kelola multipihak

Sebagai jalan tengah antara libertarianisme digital dan konservatisme digital, muncullah kemudian formula tata kelola internet yang melibatkan negara sebagai pihak, tetapi bukan satu-satunya pihak. Negara harus menerima fakta bahwa urusan ekosistem digital tak bisa lagi dipandang dari nasionalisme sepihak atau tertutup.

Sebagaimana dalam urusan perdagangan internasional, perubahan iklim dan HAM, ada standar-standar internasional yang mesti diakomodasi dalam tata kelola internet nasional. Ada lembaga multilateral yang berbagi peran dengan otoritas nasional. Ada organisasi nonnegara yang turut menentukan standar dan mengawasi pelaksanaannya.

Dalam konteks ini mengemuka konsep net-nationalism, networked governance atau multistakeholderism. Ekosistem digital adalah persoalan yang mesti diatur secara lintas negara. Bukan hanya dalam pengertian mesti diputuskan secara bilateral atau multilateral, tetapi juga secara pluralistik mesti melibatkan organisasi nonnegara dan para pelaku bisnis digital.

Tata kelola multipihak ini menekankan kolaborasi antar-unsur negara dan nonnegara dalam pengelolaan internet. Aktornya adalah negara-negara, perusahaan pengembang atau operator layanan digital dan organisasi masyarakat sipil. Tata kelola internet dibicarakan dalam forum internasional yang pluralistik dan non-hierarkis.

Sebagai jalan tengah antara libertarianisme digital dan konservatisme digital, muncullah kemudian formula tata kelola internet yang melibatkan negara sebagai pihak, tetapi bukan satu-satunya pihak.

Tata kelola multipihak belakangan cukup menjanjikan tata kelola internet yang lebih baik. Namun, perlu diperhatikan kelemahannya seperti diidap perspektif libertarian di atas: kesulitan menghindari bias kepentingan perusahaan raksasa digital global.

Dalam kritiknya terhadap ide net-nationalism yang dicanangkan Mueller, Budnitsky mengingatkan diskursus tata kelola internet multipihak hanya memberikan tempat untuk pemikir dan aktivis berhaluan kosmopolit, liberal, pro-kapitalis.

Forum internasional tata kelola internet multipihak praktis tak beri tempat layak untuk aktivis dan pemikir yang kritis terhadap Sillicon Valey. Negara yang keberatan terhadap tata kelola internet multipihak juga cenderung diabaikan suaranya. Forum-forum tersebut sebagian juga disponsori oleh perusahaan raksasa digital.

Menghindari bias dan pengaruh perusahaan raksasa digital merupakan suatu keharusan bagi para pengusung gagasan multistakeholder-isme atau tata kelola multipihak. Sikap kritis dan selidik semestinya diterapkan kepada mereka sebagaimana juga telah diterapkan kepada negara. Jika tidak, merujuk pada peringatan Budnitsky, jangan-jangan kita berusaha lepas dari cengkeraman rezim konservatif-otoriter, tetapi tanpa sadar pasrah dalam pelukan sang Leviathan baru: perusahaan raksasa digital.


(Agus Sudibyo, Head of New Media Research Center ATVI Jakarta)

2 komentar:

  1. ayo daftarkan diri anda di 4g3n365*c0m :D
    WA : +85587781483

    BalasHapus
  2. ===Agens128 Bandar Judi Online Free Coin===

    Pakai Pulsa Tanpa Potongan
    Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
    Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
    Game Populer:
    =>>Sabung Ayam S1288, SV388
    =>>Sportsbook,
    =>>Casino Online,
    =>>Togel Online,
    =>>Bola Tangkas
    =>>Slots Games, Tembak Ikan
    Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
    || Online Membantu 24 Jam
    || 100% Bebas dari BOT
    || Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA

    WhastApp : 0852-2255-5128
    Agens128 Agens128

    BalasHapus