Senin, 30 Desember 2019

Difabel dan Benar Berpolitik

DISABILITAS
Difabel dan Benar Berpolitik

Oleh :  MUHAMMAD KHAMBALI

KOMPAS, 26 Desember 2019


Tahun ini, peringatan Hari Disabilitas Internasional bertema “Indonesia Inklusi, Disabilitas Unggul”.

Tema tersebut tidak jauh berbeda dari tahun lalu, “Indonesia Inklusi dan Ramah Disabilitas”, hanya mengganti kata “ramah” menjadi “unggul”.

Dua tahun sebelumnya bertema “Menuju Masyarakat Inklusi, Tangguh, dan Berkelanjutan”. Alih-alih memancing empati, kita jemu dan merasa tema-tema tersebut sekadar slogan dan bahasa spanduk.

Lebih dari itu, pemilihan tema-tema tersebut menjadi cerminan cara pandang terhadap isu disabilitas. Sejauh ini, istilah disabilitas dan difabel menggantikan “cacat” sebagai bentuk eufimisme atau penghalusan. Sebelumnya, kata “cacat” mengandaikan seseorang yang memiliki keterbatasan fisik layaknya barang rusak.

Kata cacat berasosiasi dengan tragedi, penyandangnya menderita penyakit atau mengalami musibah. Mereka butuh ditolong dan dikasihani. Sementara istilah disabilitas memakai model kacamata sosial, yang melihat penyandangnya sebagai korban dari konstruksi sosial yang menindas dan tidak setara (Barnes, 2003). Kacamata model sosial ini dianggap lebih tepat ketimbang kacamata medis dan nasib belaka.

Selain penggantian istilah, “inklusi” seakan menjadi kata wajib yang mesti dihadirkan dalam setiap tema peringatan Hari Disabilitas. Kampanye inklusivitas ini seiring kesadaran mengenai kesetaraan, sehingga difabel menjadi bagian dari keberagaman.

Dalam pendidikan, kita mulai mendapati sekolah inklusi. Sekolah-sekolah reguler didukung untuk menerima murid difabel atau berkebutuhan khusus. Di level olahraga, tahun lalu kita menyelenggarakan Asian Para Games untuk atlet-atlet difabel. Belum lama ini, seleksi calon pegawai negeri sipil juga menyertakan formasi khusus untuk difabel.

Benar berpolitik

Semangat inklusivitas ini dapat kita lihat sebagai bentuk political correctness atau benar dalam berpolitik, terhadap isu disabilitas. Sikap mental yang tidak bias, tidak rasis, tidak benci, atau merendahkan (Utami, 2016).

Benar berpolitik ini bekerja di wilayah bahasa, laku, dan kebijakan. Upaya-upaya untuk benar berpolitik diharapkan dapat memutus lingkaran setan bernama diskriminasi, yang melekat—lebih tepatnya dilekatkan—kepada difabel.

Dalam praktik, tentu saja kita masih menjumpai persoalan-persoalan dalam nuansa kultural dan sikap mental yang masih menganggap difabel sebagai liyan—yang berbeda. Misalnya, kehadiran murid difabel di sekolah reguler ternyata memunculkan bentuk perundungan baru, seperti memanggil murid difabel sebagai “anak inklusi.”

Keterlibatan murid difabel dalam pembelajaran juga masih dianggap sulit, karena kurikulum pendidikan kita masih berbasis kompetensi dan standarisasi.

Dalam kurikulum semacam itu, murid difabel akan tertidakmampukan (dibuat tidak mampu) dan terperangkap jebakan kurikulum. Mereka dianggap “tidak kompeten” dan “tidak mencapai standar” pembelajaran seperti murid lain.

Untuk dapat belajar di sekolah inklusi, murid difabel butuh pembaruan kurikulum yang mengakomodasi keberagaman kemampuan dan keunikan individu. Sebuah pembelajaran yang memakai pendekatan individual, bukan klasikal (penyeragaman).

Usaha untuk benar berpolitik juga butuh dibarengi ketersediaan akses atau aksesibilitas untuk memudahkan belajar. di antaranya, sekolah inklusi perlu menyediakan akses literasi berupa buku-buku braille atau buku dalam bentuk suara (audio book) bagi murid difabel yang tidak dapat melihat. Sementara murid difabel yang tidak dapat mendengar butuh informasi berbentuk gambar atau visualisasi, serta situasi sosial-kultural yang terbiasa dengan bahasa isyarat.

Dari segi arsitektur, sekolah perlu menyediakan jalan pemandu (guiding block) dan jalur trailing untuk murid difabel netra, juga ramp atau tangga landai untuk murid difabel fisik.

Aksesibilitas dan kesetaraan bagi kelompok difabel adalah menerima mereka jadi bagian dari keberagaman, bukan melebih-lebihkan (Thohari, 2018). Bahkan, dalam kesadaran yang didorong oleh semangat benar berpolitik sekalipun, kita memang harus mengakui beberapa hal tanpa bermaksud melecehkan. Misalnya, difabel netra memang memiliki keterbatasan penglihatan. Begitu pula difabel fisik memiliki keterbatasan dalam mobilitas. Itu adalah karakteristik faktual yang tidak perlu dimungkiri. Tetapi ketidakmampuan mereka untuk belajar, untuk menikmati fasilitas publik, untuk bekerja dan berdaya, bukan lantaran dari keterbatasan fisik pada diri mereka, melainkan lingkungan sosial, kultural, dan politik yang tidak aksesibel.

Di sisi lain, benar berpolitik juga bukan dengan glorifikasi dan fabrikasi narasi. Misalnya, pengoreksian bahasa “cacat” dan ”tuna” menjadi “anak luar biasa”, lalu menjadi “anak berkebutuhan khusus” atau “difabel”, tidak boleh berhenti pada eufemisme atau sekadar sopan santun berbahasa. Bukan juga demi kepatutan dan kecondongan belas kasihan. Alih-alih menyemai inklusivitas, jadinya malah eksklusivitas dalam kemasan baru.

Kesadaran kemanusiaan

Istilah baru, tetapi pengecapan terus terjadi, seperti ramai-ramai memanggil “anak inklusi” dan “anak khusus”. Politik kesetaraan memang dapat bermula dari bahasa. Tetapi pengoreksian bahasa atau istilah bagi difabel butuh diikuti kesadaran egalitarian dan kemanusiaan yang utuh. Tidak berongga dan masih menyimpan benih-benih rasial.

Di sinilah, sikap rasial yang paling jahat justru bukan apa yang nampak di permukaan, melainkan yang terus disembunyikan dan dikomodifikasi. Kita masih senantiasa menjumpai narasi mengenai kelompok difabel sebagai objek inspirasi dan tontonan heroisme. Narasi semacam itu justru memosisikan difabel tidak setara.

Slogan-slogan seperti disabilitas unggul, tangguh, atau inspiratif, bila dirunut justru berakar dari cara pandang yang menganggap difabel itu lemah dan tidak mampu. Sehingga ketika difabel dapat melakukan hal yang biasa dilakukan nondifabel, mereka dianggap luar biasa. Pandangan semacam itu perlu diruntuhkan.

Bila tak juga berubah, kita perlu merenung lagi, ada apa dengan kemanusiaan kita.


Muhammad Khambali, Peminat kajian Disabilitas dan Pengajar di SLB Rawinala, Jakarta

4 komentar:


  1. ayo tes keberuntungan kamu di agen365*com :D
    WA : +85587781483

    BalasHapus
  2. cuma di sini agen jud! online dengan proses yang sangat cepat :)
    ayo segera daftarkan diri anda di agen365 :)
    WA : +85587781483

    BalasHapus
  3. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus
  4. Izin promo ya Admin^^

    Bosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
    minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.CC ....:)

    BalasHapus