ANALISIS POLITIK
Demokrasi Mau ke Mana?
Oleh : AZYUMARDI AZRA
KOMPAS, 12 Desember 2019
Tahun 2019
yang sebentar lagi berlalu menjadi penanda telah 20 tahun demokrasi di
Indonesia. Pemilu 7 Juni 1999 menjadi momentum awal kebangkitan demokrasi
Indonesia pasca-otoritarianisme Orde Baru. Kini, setelah dua dasawarsa berlalu,
kian banyak kalangan yang kritis dan skeptis terhadap masa depan demokrasi
negara ini.
Dari satu
segi, partai politik (parpol) cukup hidup dan bergairah (vibrant). Namun, dari
satu pemilu ke pemilu berikutnya selalu muncul parpol baru: umumnya pecahan
dari parpol (induk) yang dilanda konflik dan perpecahan. Kondisi ini tidak
menggembirakan untuk konsolidasi demokrasi Indonesia.
Di sisi
lain, masyarakat sipil (civil society/CS) dalam bentuk ormas non-politik dan
LSM advokasi di berbagai bidang kehidupan juga masih vibrant. Walaupun ada
unsur pimpinan dan aktivis CS yang terseret ke politik kekuasaan, secara umum
CS Indonesia tetap jadi tulang punggung civic culture dan civility yang membuat
demokrasi bisa tumbuh dan bertahan.
Pers juga
masih bebas dan vibrant meski media arus utama tepercaya semakin sulit bersaing
dengan media online dan media sosial. Oplah surat kabar dan majalah yang dulu
pernah memainkan peran penting mendorong tumbuhnya demokrasi kian berkurang,
bahkan satu per satu di antara mereka terpaksa gulung tikar.
Semua
indikator di atas boleh jadi membuat masyarakat awam merasa tak ada yang kurang
dengan perkembangan demokrasi Indonesia. Namun, melihat aspek tertentu
perkembangan politik, demokrasi, dan hukum beberapa tahun terakhir, kian banyak
ahli yang mengajukan pertanyaan: demokrasi Indonesia mau ke mana?
Sekadar
contoh, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, dua ahli politik Indonesia,
menyatakan, demokrasi Indonesia kini berada di titik terendah dalam 20 tahun
(The Jakarta Post, 21/9/2019). Dalam tulisan lain, mereka juga menyatakan
tentang ”paradoks demokrasi Indonesia” yang kian nyata.
Mencermati
berbagai aspek kehidupan dan dinamika politik sejak tahun terakhir pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berlanjut ke era Presiden Joko Widodo,
keduanya menyimpulkan, Indonesia tidak (lagi) demokrasi penuh (full democracy),
tetapi telah berevolusi menjadi semacam bentuk tak liberal pemerintahan
demokrasi (illiberal democracy).
Dalam
konteks itu, Indonesia masih memenuhi persyaratan sebagai demokrasi elektoral.
Tetapi, berbagai fitur lain untuk dapat disebut sebagai demokrasi penuh terus
mengalami kemerosotan, di antaranya semakin berkurangnya kebebasan berpendapat
dan berorganisasi, serta kian lemahnya perlindungan kelompok minoritas.
Banyak
pengamat dan lembaga yang memantau pertumbuhan dan dinamika demokrasi hampir
secara tipikal menilai kondisi demokrasi berdasarkan kebijakan rezim penguasa
dan ekspresi politik masyarakat, baik lewat parpol maupun ormas nonpolitik.
Atas dasar
kerangka berpikir itu, banyak ahli politik dan pengkaji demokrasi asal
Indonesia atau orang asing sampai pada penilaian, misalnya demokrasi Indonesia
tengah mengalami kemunduran. Atau berada pada titik terendah dalam 20 tahun
terakhir.
Kasus yang
sering dikutip dalam konteks itu adalah penerbitan Perppu No 2/2017 sebagai
pengganti UU No 17/2013 tentang Ormas. Perppu itu melarang ormas melakukan
kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI dan/atau menganut,
mengembangkan, serta menyebarkan paham atau ajaran yang bertentangan dengan
Pancasila. Perppu yang dikenal sebagai perppu ”anti-radikalisme” dan diadopsi
DPR sebagai UU No 16/2017 ini jadi landasan hukum pelarangan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI).
Cukup banyak
ahli politik, ahli hukum, dan aktivis advokasi memandang peraturan itu sebagai
ancaman terhadap demokrasi karena membatasi kebebasan berekspresi dan
berserikat. Penulis sendiri memandangnya sebagai ketentuan yang esensial dan
urgen untuk menjaga eksistensi NKRI dan Pancasila, dan pada gilirannya menjamin
demokrasi tetap menjadi sistem politik.
Namun,
persepsi tentang demokrasi Indonesia yang tengah mengalami kemunduran tak
terbatas pada ketentuan keormasan yang dianggap membatasi kebebasan. Dalam
perkembangan terakhir, makin banyak kalangan melihat setback demokrasi dengan
meningkatnya wacana dan usaha pemerintah membasmi radikalisme. Misalnya, dengan
mengharuskan registrasi majelis taklim, sertifikasi penceramah agama, dan
pengawasan ceramah oleh aparat. Di sini, negara seolah menjadi big brother
orwellian—saudara besar yang ingin mengontrol dan mengendalikan setiap tarikan
napas warganya.
Dalam segi
lain, persepsi tentang kemunduran demokrasi Indonesia juga terkait meningkatnya
politik identitas atas dasar agama. Politik identitas yang mulai menguat sejak
Pilkada Provinsi DKI Jakarta akhir 2017 cenderung meningkat pada Pemilu 2019
dan terus bertahan hingga sekarang ini.
Tampaknya,
gejala kemunduran demokrasi terus berkecambah. Salah satunya terkait dengan
wacana penambahan masa jabatan presiden dari dua kali menjadi tiga kali. Wacana
yang muncul terkait dengan rencana amendemen UUD 1945 untuk kelima kali ini
dapat mendorong tumbuhnya oligarki politik dan otoritarianisme.
Penolakan
Presiden Jokowi atas wacana masa jabatan presiden sampai tiga kali belum
menjamin bakal tak terjadinya upaya ke arah itu ketika amendemen dijalankan.
Bukan tak mungkin political deals di antara para aktor politik menghasilkan
penambahan masa jabatan presiden. Oleh karena itu, perlu peningkatan
kewaspadaan mengantisipasi fenomena tersebut. Kemunduran demokrasi tidak bisa
dibiarkan berlanjut. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar