PENGHARGAAN SINTA NURIYAH
Peran Bina Damai Sinta Nuriyah
Oleh : FATHORRAHMAN GHUFRON
KOMPAS, 19 Desember 2019
Pada tanggal
18 Desember 2019, UIN Sunan Kalijaga menganugerahkan gelar doctor honoris causa
(HC) kepada ibu Sinta Nuriyah. Prestasi akademik ini semakin memperkuat
pengakuan publik terhadap peran bina damai beliau yang pada tahun 2017
dinobatkan sebagai perempuan berpengaruh di dunia oleh The New York Times.
Kegigihan dan konsistensi beliau dalam melakukan “hal-hal luar biasa” untuk
kemaslahatan bersama menginspirasi banyak perempuan lainnya agar menjadi agen
perdamaian.
Pada tahun
1997, Sinta Nuriyah mendirikan Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) sebagai bentuk
pengembangan pemikiran kritis terhadap kajian kitab pesantren yang selama ini
dianggap cenderung bias gender. Melalui FK3, Sinta Nuriyah menyoal dan membaca
ulang kitab Uqud al Lujjayn yang selama bertahun-tahun diajarkan di pesantren.
Bahkah, dari kajian FK3 melahirkan sebuah buku berjudul “Wajah Baru Relasi
Suami-Istri: Telaah Kitab Uqud Al Lujjayn” yang sempat menghebohkan banyak
kalangan dan memicu kontroversi di kalangan pesantren.
Tidak
berhenti di level pemikiran, Sinta Nuriyah juga mendirikan sebuah komunitas
bernama PUAN (Pesantren Untuk Pemberdayaan) Amal Hayati di tahun 2000. Lembaga
ini menjadi ruang aktivisme beliau untuk menggerakkan kaum perempuan agar
menjadi garda depan dalam mencegah berbagai bentuk kekerasaan yang selama ini
menimpa kaum perempuan. Uniknya lagi, lembaga ini menjadikan pesantren sebagai
basis eksperimentasi dan eksperiensasi dalam menyadarkan kaum perempuan.
Teologi pemberdayaan
Perjuangan
Sinta Nuriyah dalam melakukan pemberdayaan kaum perempuan melalui pesantren
tentu menjadi pengalaman spiritualitas tersendiri. Setidaknya, melalui dua
lembaga tersebut, Sinta Nuriyah ingin menyegarkan kembali spirit Al Qur’an yang
tertera di surat al Baqarah (187) yang berbunyi “Hunna libasun lakum wa antum
libasun lahunna” (mereka perempuan adalah pakaian bagi kalian laki-laki, dan
kalian pun adalah pakaian bagi mereka).
Secara
sosiologis, diksi ayat tersebut meneguhkan sebuah asas resiprokal di mana
perempuan dan laki-laki mempunyai hak kesetaraan (equality) dan hak relasional
yang harus saling disadari bersama. Dengan asas resiprokal tersebut, maka
laki-laki tidak boleh semena-mena memperlakukan perempuan. Akan tetapi, merujuk
pada pemikiran Faqihuddin Abdul Qadir dalam buku “Qira’ah Mubadalah” keduanya
harus menjunjung tinggi konsep “mu’asyarah bil ma’ruf” yaitu saling berbuat
baik satu sama lain, konsep “musyawarah” yaitu atas segala tindakan yang
diambil harus didiskusikan bersama, diakui bersama, dan tidak ada pemaksaan,
dan konsep “taradhim minhuma” yaitu saling memberikan ridla kepada sesamanya.
Rekam jejak
Sinta Nuriyah yang begitu getol memperjuangkan nasib kaum perempuan yang banyak
ditempatkan sebagai posisi sub-ordinasi di lingkup kehidupan sosial, tak
terkecuali dalam lingkungan pesantren yang mereproduksi ajaran-ajaran misoginis
yang sangat merugikan kaum perempuan, tentu menorehkan sejarah baru dalam wajah
relasi perempuan dan laki-laki.
Melalui
pendekatan bina damai (peace building), Sinta Nuriyah berusaha meyakinkan
banyak pihak bahwa kaum perempuan mempunyai peran sentral dalam kehidupan
masyarakat. Meskipun, beban berat harus ditanggung kaum perempuan, di mana di
wilayah domestik cenderung diperlakukan tidak adil dan di wilayah publik pun
cenderung dikucilkan, namun kaum perempuan sesungguhnya mempunyai mentalitas
lebih kuat dari pada laki-laki. Oleh karena itu, berangkat dari realitas
tersebut, sudah saatnya kaum perempuan harus percaya diri untuk menebar
nilai-nilai kebajikan dan menjadi penyangga di berbagai lini kehidupan.
Spirit Perdamaian
Di samping
itu, peran bina damai yang diupayakan Sinta Nuriyah juga merambah pada
penguatan semangat kemanusiaan. Naluri interfaith yang selama ini dilakukan
menjadi benih terciptanya kerukunan beragama dalam masyarakat. Bagi Sinta
Nuriyah, kerukunan beragama ibarat kebun bunga yang di dalamnya terdapat aneka
rupa varian yang menyerbakkan beragam aroma. Semuanya menawarkan keindahan
dengan jati dirinya masing-masing. Tak satu pun dari masing-masing bunga yang
saling memaksa untuk merubah variannya menjadi varian lain. Semisal bunga mawar
harus menjadi melati, atau anggrek menjadi Asoka.
Demikian
pula kita yang dilingkupi beragam keyakinan dan kepercayaan. Masing-masing
agama memiliki nilai kebajikan dan kebenaran yang pada wilayah privat menjadi
tuntunannya dalam beribadah. Namun, pada wilayah publik agama yang dianut harus
melebur pada kesepakatan bersama (ijma’) untuk menenun ikatan sosial yang
berbasis kearifan lokal.
Dalam kaitan
ini, Indonesia adalah sebentuk kearifan lokal yang menuntun kehidupan berbangsa
setiap rakyatnya dengan kata bersama bernama pancasila. Melalui Pancasila,
Sinta Nuriyah menyerukan kepada semua kalangan untuk terlibat dalam sikap
saling empati (cross empathy) agar terbangun spirit perdamaian yang abadi.
Setidaknya, melalui spirit perdamaian terbangun sikap inklusi dalam solidaritas
kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerahmatan.
Akhirnya,
semoga penganugerahan gelar doctor honoris causa kepada ibu Sinta Nuriyah
menjadi kado terindah bagi almarhum Abdurrahman yang usia wafatnya memasuki
satu dekade.
(Fathorrahman Ghufron, Wakil Katib
Syuriyah PWNU Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.)
menang berapapun di bayar
BalasHapusayo segera bergabung bersama kami di bandar365*com
WA : +85587781483
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny