BONUS DEMOGRAFI
Bonus Demografi, Upah Minimum, dan UU
”Omnibus”
Oleh : TURRO S WONGKAREN
KOMPAS, 7 Desember 2019
Dua isu
ketenagakerjaan menjadi isu pembicaraan yang hangat belakangan ini: penetapan
upah minimum dan rencana pengajuan ”omnibus law” tentang perluasan kesempatan
kerja.
Dengan
tingkat pengangguran terbuka kita sedikit di atas 5 persen per tahun, setiap
saat ada sekitar 6,5 juta penduduk Indonesia yang ingin bekerja tetapi tidak
mendapatkan pekerjaan, baik karena pekerjaan yang ada tak sesuai harapan mereka
maupun memang tak ada yang mempekerjakan mereka.
Sementara
setiap tahun sekitar 2,2 juta orang memasuki pasar kerja dan butuh pekerjaan.
Banyak di antara mereka penduduk usia muda yang baru pertama kali memasuki
pasar kerja. Dapat atau tidaknya ketersediaan (supply) tenaga kerja ini diserap
pasar kerja dipengaruhi upah dan permintaan (demand) dari perusahaan.
Upah minimum
Pemerintah
(provinsi) menetapkan upah terendah yang diberikan oleh perusahaan kepada
pekerja sebagai imbal jasa dari pekerjaan mereka. Hubungan upah minimum dan
pengangguran terbuka di Indonesia cukup kompleks. Secara umum, upah minimum
provinsi selalu meningkat. Namun, tingkat pengangguran terbuka tak menunjukkan
tren yang tetap. Tingkat pengangguran di provinsi-provinsi di Jawa meningkat
hingga sampai pertengahan dekade 2000-an, tetapi sejak saat itu terus menurun.
Berbagai
penelitian juga menunjukkan hasil yang berlawanan: ada yang berdampak negatif
(peningkatan upah minimum diikuti peningkatan tingkat pengangguran), tetapi ada
pula yang positif (peningkatan upah minimum diikuti oleh pengurangan tingkat
pengangguran) atau netral. Hal ini menunjukkan bahwa pengangguran mungkin tidak
dipengaruhi oleh upah semata, tetapi juga oleh hal-hal lain.
Di
Indonesia, sebagian penganggur adalah mereka yang mempunyai sumber daya cukup
untuk (mampu) menganggur. Data karakteristik pencari kerja menunjang hal ini:
sekitar dua pertiga pencari kerja sedikitnya tamat SMA/SMK.
Selain itu,
semakin tinggi tingkat capaian pendidikan penganggur, semakin lama masa mencari
pekerjaan dan semakin besar proporsi yang belum pernah bekerja sebelumnya.
Rerata waktu mencari kerja lebih dari lima bulan, yang menunjukkan kemampuan
mereka untuk hidup lebih daripada kemampuan banyak pekerja yang hanya mampu
hidup paling lama 2-3 bulan bila kehilangan pekerjaan.
Dengan
demikian, tingkat pengangguran tak sepenuhnya mencerminkan kesulitan hidup dari
angkatan kerja karena kebanyakan penganggur justru punya sumber daya untuk
hidup. Mereka baru mau bekerja kalau imbalan yang diterima mencapai nilai
tertentu, yang di dalam ilmu ekonomi disebut reservation wage. Untuk penganggur
dari kelompok ini, peningkatan upah minimum malah mungkin membuat mereka masuk
ke pasar kerja. Kalau kelompok ini cukup besar, peningkatan upah minimum
menurunkan tingkat pengangguran.
Sementara
penelitian yang menunjukkan dampak negatif dari upah minimum memberikan gambaran
berbeda untuk angkatan kerja berusia muda dan berusia tua. Ketika upah minimum
meningkat, mereka yang berusia muda semata tak direkrut/dipekerjakan, sementara
yang berusia tua akan lebih mungkin mengalami PHK. Hal ini didukung data BPS
yang menunjukkan bahwa pekerja usia muda lebih mungkin kehilangan pekerjaan
karena isu-isu yang berasal dari dalam diri mereka sendiri (misalnya pendapatan
kurang memuaskan atau keahlian tak pas dengan pekerjaan), sementara pekerja
usia tua lebih karena isu-isu dari luar (misalnya PHK).
Opsi untuk perusahaan
Tak jelasnya
dampak upah minimum pada pengangguran tak berarti upah minimum tak punya dampak
sama sekali. Kalau struktur biaya perusahaan sudah ketat, untuk mempertahankan
keuntungan, mereka harus meningkatkan efisiensi. Untuk itu, perusahaan punya
opsi: mengurangi tenaga kerja yang digunakan (baik melalui PHK maupun penurunan
jam kerja), merelokasi bisnis ke wilayah yang mempunyai upah lebih kompetitif,
atau, kalau akses ke teknologi memungkinkan, otomatisasi. Opsi pertama, PHK,
tak mudah dilakukan secara formal.
Peraturan
yang ada mensyaratkan berbagai hal yang harus dipenuhi bila suatu perusahaan
ingin mem-PHK dengan alasan efisiensi, misalnya perusahaan itu harus merugi
untuk waktu lama dan wajib memberi pesangon cukup besar. Ditambah kemungkinan
harus berhadapan dengan serikat pekerja, ini membuat perusahaan, khususnya
mereka dengan kondisi keuangan ketat, harus berpikir dua kali sebelum melakukan
PHK.
Opsi kedua,
relokasi bisnis, lebih mungkin dilakukan. Perusahaan akan memindahkan bisnisnya
ke wilayah dengan struktur upah lebih rendah. Perusahaan bisa shopping daerah
mana yang terbaik untuk mereka dengan mempertimbangkan upah, jarak, dan
kualitas tenaga kerja dan input lain. Daerah dengan upah minimum rendah dan
dibarengi kualitas pekerja yang sedikitnya sudah memenuhi persyaratan dasar
keterampilan dari perusahaan itu akan mendapat keuntungan. Beberapa data
mengindikasikan hal ini sudah terjadi.
Tentu saja,
pemindahan lokasi tak terbatas pada pindah ke provinsi lain, tetapi
memungkinkan juga ke negara lain yang kondisi ketenagakerjaannya (termasuk
upahnya) lebih atraktif daripada Indonesia. Banyak perusahaan besar di bidang
manufaktur yang membayar upah di Indonesia merupakan perusahaan penanaman modal
asing (baik murni maupun bekerja sama dengan pihak lokal). Tergantung apakah
produksi di sini merupakan bagian dari global value chain mereka atau memang
untuk pasar domestik. Kenaikan upah minimum dapat memengaruhi keputusan mereka
untuk tinggal di Indonesia atau pindah.
Dibandingkan
negara-negara lain di Asia Tenggara, upah minimum di Indonesia termasuk yang
menengah. Upah minimum di Malaysia dan Thailand lebih tinggi dari kita
(Singapura tak punya kebijakan upah minimum yang umum). Kamboja, Laos, Myanmar,
dan Vietnam upah minimum secara rata-rata lebih rendah dari kita.
Hanya
Filipina yang lebih kurang sepadan dengan kita. Tentu saja, tingkat upah yang
rendah juga harus dibarengi produktivitas. Pengalaman baru-baru ini bisa
menjadi petunjuk. Ketika 33 perusahaan hengkang dari China akibat perang dagang
dengan AS, tak ada satu pun pindah ke Indonesia dan 23 pindah ke Vietnam.
Opsi ketiga,
otomatisasi, dimungkinkan dengan makin majunya teknologi yang memungkinkan
efisiensi. Perusahaan yang mengambil opsi ini tak harus mengurangi jumlah
pekerja mereka sekarang. Mereka hanya perlu memindahkan pekerja yang ada ke
pekerjaan lain di dalam perusahaan yang sama. Hanya saja, mereka juga tak akan
merekrut pekerja baru sehingga mempersempit kesempatan kerja para pekerja muda.
Hal ini didukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa para pekerja muda
inilah yang menerima dampak negatif terbesar dari upah minimum.
Dalam jangka
menengah dan panjang, pelan-pelan perusahaan akan menggunakan teknologi untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya dilakukan manusia. Beberapa
estimasi menunjukkan sekitar 60 persen pekerja Indonesia berpotensi mendapat
dampak dari otomatisasi di masa depan. Semua itu terjadi tanpa perusahaan
melanggar peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.
Dihadapkan
pada kondisi itu, bagaimana kita menciptakan lapangan kerja? Pertama-tama perlu
diingat bahwa walaupun peraturan upah minimum secara hukum mengikat semua
perusahaan, pada kenyataannya upah minimum lebih ditaati oleh perusahaan yang
formal, dan diterapkan lebih kepada mereka yang bekerja sebagai
karyawan/buruh/pegawai. Artinya, kenaikan upah minimum tak akan dinikmati oleh
sebagian besar pekerja di Indonesia. Upah pekerja di sektor pertanian,
misalnya, yang masih sekitar sepertiga dari pekerja kita, tak akan terpengaruh
kenaikan upah minimum. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesempatan kerja,
kita perlu melihat tidak hanya mereka yang langsung terpengaruh oleh upah
minimum, dan mereka yang pada kenyataannya tak terlalu terpengaruh secara
langsung.
Pertama,
untuk mereka yang terpengaruh secara langsung. Dengan upah minimum yang terus
meningkat, perusahaan perlu diberi cara lain agar bisa menyerap kenaikan
tahunan upah minimum dan tak terpaksa mengambil opsi yang kontra produktif
untuk perluasan lapangan kerja. Caranya dengan memberi insentif pajak dan
menurunkan biaya-biaya yang terkait dengan birokrasi dan lainnya. Mengacu pada
aspek-aspek yang terdapat pada ease of doing business Bank Dunia, seorang
ekonom menyebutkan tiga biaya berkaitan dengan birokrasi yang perlu segera
diturunkan: biaya untuk memulai bisnis, biaya perizinan untuk konstruksi, dan
biaya registrasi properti. Dalam ketiga aspek ini, Indonesia mendapatkan skor
paling rendah dalam laporan 2020. Diharapkan, dengan berkurangnya biaya-biaya
tersebut, perusahaan mampu mengakomodasi kenaikan tahunan upah minimum.
Kedua, untuk
mereka yang tak terpengaruh langsung oleh upah minimum karena mereka bekerja di
usaha yang berskala mikro dan kecil (UMKM) atau jenis usaha yang cenderung
informal, perlu diberdayakan dengan memberikan pelatihan yang tepat. Menurut
Sensus Ekonomi, UMKM di Indonesia berjumlah sekitar 26 juta atau 98,7 persen
dari seluruh usaha di Indonesia, dengan jumlah pekerja 59,3 juta orang atau 75
persen dari seluruh pekerja. Sementara itu, usaha menengah dan besar 349.000
usaha dengan mempekerjakan 19,4 juta orang atau seperempat dari seluruh pekerja
di Indonesia. Dari data ini jelas bahwa perluasan kesempatan kerja tidak dapat
dilepaskan dari pemberdayaan UMKM.
Masalahnya,
tak semua orang punya bakat atau kemampuan untuk jadi wirausaha yang berhasil.
Penelitian menunjukkan wirausaha yang berhasil punya karakteristik khusus, baik
secara keterampilan maupun psikologis; misalnya lebih adaptif terhadap
perubahan, dan resilien. Untuk menunjang UMKM selain upaya kredit juga perlu
diberikan pelatihan yang tepat di berbagai institusi seperti BLK atau yang
dikelola oleh swasta/LSM. Untuk itu, mereka perlu kemampuan untuk mengidentifikasi
mana calon trainee yang lebih tepat untuk wirausaha, dan mana yang lebih tepat
untuk sebagai pegawai/buruh, karena kebutuhan pelatihan mereka berbeda.
Diharapkan, dengan pelatihan yang sesuai, UMKM dapat berkelanjutan.
Tampaknya
secara umum pemerintah sudah memikirkan hal ini. Di akhir Oktober lalu, melalui
akun Twitter-nya, Presiden Jokowi mengajak DPR menuntaskan dua UU yang seakan
terpisah tetapi sangat berhubungan: UU tentang Cipta Lapangan Kerja dan UU
Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Keduanya perlu menjadi
bagian dari UU omnibus tentang perluasan kesempatan kerja bila kita tidak ingin
bonus demografi berubah menjadi bencana demografi.
(Turro S Wongkaren, Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Indonesia)
AJOQQ menyediakan permainan poker,domino, bandarq, bandarpoker, aduq, sakong dan capsa :)
BalasHapusayo segera bergabung bersama kami dan menangkan uang setiap harinya :)
AJOQQ juga menyediakan bonus rollingan sebanyak 0.3% dan bonus referal sebanyak 20% :)
===Agens128 Bandar Judi Online Free Coin===
BalasHapusPakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
Game Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
WhastApp : 0852-2255-5128
Agens128 Agens128