Selasa, 17 Desember 2019

Pertaruhan Pendidikan

TRANSFORMASI PENDIDIKAN
Pertaruhan Pendidikan

Oleh :  YUDI LATIF

KOMPAS, 17 Desember 2019


Mendikbud Nadiem Makarim secara jujur mengakui dirinya bukan ahli pendidikan, namun mendaku pembelajar yang cepat. Dengan begitu, komunitas pendidikan tidaklah berharap terlalu banyak.

Pada umumnya bersikap wait and see; sudah bersyukur kalau menteri baru tak melakukan kesalahan fatal. Harapan publik yang datar seperti itu sesungguhnya memberi titik keberangkatan menguntungkan. Nadiem tak digayuti beban “kejar tayang” yang harus segera dipenuhi sehingga tak perlu melakukan over-kompensasi dengan unjuk eksentrisitas yang kontraproduktif.

Berbusana kasual di acara resmi pelantikan rektor berisiko mengirim sinyal meleset sebagai mendikbud. Tersirat pesan luhur yang ingin disampaikan: “Tunjukkan isi (mutu), bukan kemasan formalisme”. Masalahnya, pesan itu disampaikan dengan isi dan konteks keliru, menabrak prinsip-prinsip pokok pendidikan itu sendiri.

Dalam empat pilar pendidikan UNESCO antara lain digariskan, pendidikan selain menyediakan wahana “belajar menjadi diri sendiri” (learning to be), juga “belajar hidup bersama” (learning to live together).

Suhu pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, mengingatkan pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan berorientasi ganda: memahami  diri sendiri dan memahami lingkungannya.

Ke dalam, pendidikan harus memberi wahana ke peserta didik untuk mengenali siapa dirinya sebagai “perwujudan istimewa” (diferensiasi) dari alam. Keluar, pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk dapat menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagat besar, sehingga keistimewaan pribadi itu tidak melahirkan kekacauan bagi kebersamaan.

Pendidikan kecakapan hidup, seperti dijelaskan Emile Durkheim, juga mengingatkan manusia harus bisa menempatkan diri di dua ranah: profan dan “sakral”. Ini juga ada kaitannya dengan pendidikan kewargaan.  Kegotongroyongan Pancasila menghendaki sosiabilitas kebangsaan yang dapat mengatasi ekstremitas individualisme dan ultra-sosialisme” (totalitarianisme).

Di masyarakat supermajemuk, terlalu menekankan individualisme dan perbedaan menyulitkan integrasi nasional; mematikan aspirasi kedirian dan perbedaan oleh aspirasi totalitarianisme (kanan dan kiri) bisa membunuh kekayaan potensi dan kreativitas. Jalan tengah Pancasila memilih kearifan “Bhinneka Tunggal Ika”: mengakui keragaman/perbedaan seraya berusaha cari persamaan/persatuan.

Dalam pergaulan “antar-individu” di wilayah privat (keluarga) dan paguyuban, perseorangan dan golongan masih bisa mengembangkan partikularitas identitas, norma dan ideologinya sendiri. Namun, dalam pergaulan “antar-sosial” di wilayah publik-kenegaraan, segala perseorangan dan golongan itu harus menganut identitas, norma, ideologi kebersamaan-kebangsaan sebagai titik temu.

Mata rantai terlemah

Alhasil, urusan eksentrisitas ekspresi diri jangan sampai mendistorsikan substansi. Jika substansi yang jadi perhatian, bukan sensasi yang bisa alihkan publik dari isu utama, maka strategi transformasi pendidikan harus bisa memerhatikan kesepadanan antara aspirasi dan kapabilitas. Lima tahun bukan waktu lama untuk kelola perubahan. Harus dihindari melakukan dekonstruksi tak terukur, yang sulit direkonstruksi ulang.

Di era reformasi ini, dengan tak ada jaminan keberlanjutan agenda antar-rezim, menteri pengganti belum tentu sudi melanjutkan penataan bongkaran dari menteri terdahulu. Maka dari itu, perlu kejelian menentukan perubahan “terbatas” dengan dampak signifikan. Fokus bidikan harus diarahkan pada “mata rantai terlemah” (the weakest link), yang bisa dikenali melalui self-assessment atas kebijakan pendidikan selama ini dan bercermin dari pengalaman bangsa lain.

Dalam buku The Politics of Structural Education Reform, Keith A Nitta menunjukkan tren pergeseran kebijakan pendidikan di berbagai negara. Pendidikan secara tradisi dipandang isu domestik. Keputusan kebijakan mengenai apa, siapa, bagaimana, dan di mana pendidikan dijalankan ditetapkan dengan mempertimbangkan sejarah nasional, budaya, norma, dan kondisi politik  masing-masing negara.

Namun, sejak 1990-an terjadi pergeseran manajemen pendidikan sebagai dampak penetrasi globalisasi. Perubahan global rezim pendidikan ini didorong keyakinan umum bahwa kegagalan sekolah bisa mengancam daya saing global, penerimaan luas terhadap new public management (NPM), serta tendensi pelemahan dan fragmentasi dalam kelompok kepentingan kependidikan. Beberapa negara mengadopsi beberapa elemen dari praktik terbaik negara lain, yang membawa irisan persamaan kebijakan pendidikan.

Sebagai contoh, pergeseran kebijakan pendidikan di AS dan Jepang, dua negara industri dengan sistem pendidikan berbeda secara diametral.  Di AS,  secara tradisi, komunitas lokal mengontrol sekolah masing-masing, di mana setiap distrik mengembangkan kurikulum, menyewa dan menempatkan personel, menetapkan kebijakan pendaftaran masuk sekolah, dan menyusun anggaran tahunannya sendiri.

Sebaliknya, Jepang secara tradisi   menganut sistem kesatuan pendidikan nasional dalam rangka mengejar kemajuan Barat. Dalam struktur hierarkis Jepang, peran tradisional dari komunitas lokal dan personel sekolah adalah melaksanakan kebijakan birokrat kementerian pendidikan secara setia.
Persamaannya, rezim pendidikan di kedua negara didominasi tenaga spesialis kependidikan:  elite birokrat kependidikan, legislator nasional dengan spesialisasi pendidikan, serta kelompok kepentingan kependidikan, terutama serikat guru. Namun, sejak 1990-an, kedua negara mulai merestrukturisasi sistem pendidikannya.

Pada 1994, untuk pertama kali, pemerintahan federal AS mewajibkan suatu kebijakan pendidikan nasional bagi negara bagian dan distrik. The Goal 2000 dan Improving America’s Act menuntut negara bagian menetapkan standar kurikulum bagi seluruh sekolah publik dan menilai performa siswa berdasar standar itu. Pada 2002, pemerintah federal menetapkan the No Child Left Behind Act, yang menuntut negara bagian memberlakukan rezim pengujian (testing)  dan akuntabilitas secara spesifik.

Sebaliknya, pemerintah pusat Jepang secara formal mulai menerapkan kebijakan deregulasi dan desentralisasi sistem pendidikan. The 1997 Program for Educational Reform untuk pertama kali membolehkan program pilihan di sekolah publik dan jenjang sekolah menengah.

Pada 2004, the Trinity Reform mendesentralisasikan kontrol atas miliaran dollar dana pendidikan nasional ke pemprov. Kebijakan itu juga memberi peluang birokrat kementerian pendidikan untuk menetapkan ujian pencapaian siswa secara nasional serta sistem evaluasi sekolah secara independen.

Dengan demikian, kecenderungan global dalam manajemen pendidikan mengarah pada kerangka partisipasi yang lebih luas dengan membagi peran secara tepat antara pemerintahan pusat dan daerah, antarpemerintah dan swasta serta antarpemangku kepentingan, menetapkan garis-garis besar kurikulum dengan menetapkan pelajaran wajib dan pilihan, serta mengombinasikan pengujian standar pencapaian nasional dengan evaluasi sekolah secara mandiri.

Di bawah pengaruh NPM, reformasi struktural pendidikan juga cenderung mengurangi perhatian pada urusan “inputs” (uang, fasilitas, jumlah guru dan siswa, kurikulum, dan sumber daya). Perhatian utama tertuju ke usaha memperbaiki pendidikan dengan memberi fokus pada “outcomes” (performa), dengan jalan meredistribusikan otoritas melalui pengelolaan secara “longgar-ketat”. Asumsinya, bila pemerintah menggenggam sekolah secara ketat dalam hal akuntabilitas atas performa siswa, namun mengaturnya secara longgar untuk mendorong inovasi lokal (sekolah), maka pendidikan akan berkembang.

Caranya, sekolah harus bertanggung jawab atas hasil bukan inputs. Untuk itu, pemerintah secara ketat mengatur performa sekolah, tetapi bukan sumber daya dan proses. Sekolah harus dibuat akuntabel melalui sistem evaluasi berdasar ujian terstandar dan sistem insentif terpusat, bukan kompetisi pasar.

Ditilik dari sudut itu, langkah transformatif dalam formulasi kebijakan pendidikan kita sejauh ini tak buruk-buruk amat. Penanda penting transformasi itu kehadiran UU No 23/2014 tentang Pemda,  menggantikan UU No 32/2004.

Dalam kaitan kebijakan pendidikan, UU ini telah mengantisipasi perlunya kerangka partisipasi lebih luas dengan membagi habis kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Rezim pendidikan juga telah merevisi kebijakan ujian nasional (UN) dari syarat kelulusan menjadi indikator pencapaian pendidikan nasional yang dipadukan dengan sistem evaluasi sekolah secara independen.

Titik lemahnya ada pada kapasitas eksekusi dan tindak lanjut. Contohnya, setelah hasil UN diketahui, nyaris tak ada tindak lanjut, kebijakan afirmasi seperti apa yang harus diberikan ke daerah/sekolah yang pencapaian nilainya di bawah standar nasional.

Untuk mempercepat peningkatan mutu sekolah di daerah terbelakang, kita bisa meniru model Finlandia dan Jepang. Di kawasan miskin-terbelakang, guru harus menangani jumlah murid lebih sedikit dibanding di kawasan kaya-maju. Itulah rahasia, mengapa di dua negara itu pemerataan mutu pendidikan lebih baik. Perlakuan sebaliknya justru terjadi di AS, yang akibatkan kesenjangan kaya-miskin kian tajam (Diamond, 2019).

UU No 23/2014  telah memungkinkan itu. Tinggal bagaimana eksekusi dan tindak lanjutnya.  Masalah lebih serius, kebijakan pendidikan di Indonesia masih berkutat di urusan inputs, belum mengarahkan perhatian pada segi outcomes (performa). Nyaris setiap menteri berganti, ganti kurikulum; susul-menyusul memberi beban pada guru (sekolah) untuk mengurusi soal sumber daya dan prosedur administratif. Itulah mata rantai terlemah yang harus dibidik demi perbaiki mutu pendidikan di negeri ini.

Fokus kebijakan

Bila kita ingin perbaiki performa, dengan melakukan perubahan terbatas tapi berdampak besar, pusat perbaikan harus dimulai dari penataan pendidikan dasar. Ibarat pohon, akar adalah titik tumpu ketahanan bertumbuh. Demikian juga proses tumbuh hidup manusia. Solusi atas keterbelakangan hasil  pendidikan kita harus dimulai dengan memperkuat pendidikan dasar. Sesuai namanya, pendidikan dasar harus benar-benar memberikan kecakapan dasar bagi daya tumbuh manusia pembelajar yang haus pengetahuan, berpikir kritis-analitis, berkarakter dan kreatif. Kecakapan dasar meliputi dasar-dasar olah pikir, olah rasa, olah karsa, olah raga.

Dasar olah pikir dikembangkan lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis, dan meneliti. Pelajaran membaca lebih dari sekadar belajar melek-huruf, atau sekadar membaca buku pelajaran yang diwajibkan.

Pelajaran membaca harus menjadi kecapakan fungsional yang dibiasakan (reading habit) sejak sekolah dasar. Kecakapan dan kebiasaan membaca sejak dini akan memudahkan anak-anak untuk menjelajahi dunia ilmu pengetahuan melampaui batas-batas pelajaran sekolah.

Selain membaca, siswa harus diberikan kecapakan menghitung. Pada enam tahun pertama pendidikan dasar, tak perlu diberikan pelajaran matematika yang rumit. Finlandia dengan prestasi pendidikan hebat pun mulai menghilangkan pelajaran matematika di SD.

Di tingkat ini, cukup diberikan pelajaran aritmatik sederhana sebagai dasar kecapakan hidup, yang diterapkan langsung dalam praktik kehidupan. Matematika bolehlah mulai diperkenalkan di kelas 7.  Pelajaran membaca berkelindan dengan menulis. Pelajaran menulis tak sekadar diletakkan di pojok mata pelajaran bahasa, melainkan subyek tersendiri yang terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran.

Menumbuhkan hasrat menulis pada gilirannya akan mendorong semangat meneliti, melalui penelaahan terhadap ayat-ayat tertulis (kitabiyah), ayat-ayat semesta, ayat-ayat sejarah, dan ayat-ayat di dalam diri.  Pendasaran olah pikir itu harus berjalan simultan dengan proses pemupukan karakter dan kreativitas, melalui pembelajaran olah rasa (spiritualitas, estetika, etika, nasionalisme), olah karsa (imajinasi dan kreativitas), dan olah raga (permainan, ketangkasan, sportivitas).

Dalam menguatkan fondasi yang kuat bagi manusia pembelajar itu, harus dihindari beban mata pelajaran yang berlebihan.  Rancang bangun kurikulum pendidikan dasar tak perlu terlalu detail.  Bahkan UN belum diperlukan pada tingkat ini, mengingat orientasinya yang bersifat fondasional dengan karakteristik siswa yang beragam. Biarkan sekolah menyusun sistem evaluasinya sendiri.

Untuk memastikan  kualitas “performa” (outcomes) pendidikan seperti yang diinginkan, bidikan berikutnya harus diarahkan pada peran dan mutu guru. Guru harus diberi derajat kebebasan lebih besar untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam proses belajar-mengajar. Pendidikan sebagai proses pemerdekaan tak bisa dicapai bilamana gurunya sendiri terbelenggu.

Peran besar yang diemban guru menghendaki peningkatan kapasitas guru. Seorang juru didik perlu kecakapan yang lebih baik dari juru ukir. Jika seorang pengukir kayu saja wajib memiliki pengetahuan mendalam dan luas tentang hakikat kayu dan teknik ukir, apa lagi juru didik yang diharapkan mampu mengukir manusia lahir dan batin.

Sungguh ironis, rekrutmen tenaga pendidik saat ini lebih mementingkan aspek-aspek formal ijazah. Tak cukup bekal kesarjanaan di berbagai disiplin ilmu, para calon pendidik masih harus mendapatkan proses penggemblengan dalam kecakapan profesi kependidikan secara saksama.

Selebihnya, kita tak bisa berharap dapat merekrut calon-calon guru bermutu, selama profesi guru tak dimuliakan. Lebih dari sekadar gaji, kita butuh rekayasa sosial untuk memulihkan ketakziman masyarakat pada guru, menyerupai kewibawaan “bangsawan pikiran” atau “mantri guru” di masa lalu. Tak ada bangsa hebat tanpa guru hebat.

Dengan memupuk kecakapan dasar serta guru yang bermutu, apapun disrupsi teknologi yang terjadi, dunia pendidikan akan memberikan fondasi yang kuat untuk mengantarkan anak-anak negeri menemukan “rumah” (home), bukan menyesatkannya ke tempat “pengasingan” (exile). Itulah pertaruhan kita.


(Yudi Latif, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)

1 komentar: