Jumat, 13 Desember 2019

Siapkah Indonesia Hadapi Peperangan Hibrida?

PERTAHANAN SIBER
Siapkah Indonesia Hadapi Peperangan Hibrida?

Oleh :   MEUTYA VIADA HAFID

KOMPAS, 11 Desember 2019


Menteri Pertahanan Australia Linda Reynolds menyebut “saat ini terjadi perubahan karakter perang, tak lagi menggunakan konflik bersenjata tradisional, para ahli menyebutnya taktik zona abu-abu atau hybrid warfare.”

Lalu apa yang dimaksud dengan hybrid warfare?

Sudah sangat jarang terdengar suatu negara melakukan operasi militer bersenjata berskala besar menyerang negara lain. Negara-negara meninggalkan cara konvensional tetapi menggunakan metode lain menggunakan politik, ekonomi, informasi, kemanusiaan, dan tekanan non-militer yang bisa digunakan untuk menarik massa (Gerasimov, 2013).

Peneliti AS Frank Hoffman menyebut peperangan hibrida sebagai berbagai cara/taktik yang digunakan secara simultan untuk menyerang musuh (Hoffman, 2007).  Peperangan hibrida dilakukan melalui non-state actors, di mana mereka menggunakan prosedur dan taktik yang tidak biasa. Metode yang digunakan dapat berupa terorisme, pemberontakan, serangan gerilya, kejahatan terorganisasi, serangan siber atau teknologi informasi, terhadap target militer dan institusi ekonomi, serta pengrusakan terhadap infrastruktur, jaringan komunikasi dan transportasi. (Kai, Heng dan Jie, 2017).

Keberadaan Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS (Islamic State of Iraq and Syria/ISIS) merupakan contoh peperangan hibrida terhadap pemerintah Irak dan Suriah tahun 2014-2018. Metode yang digunakan NIIS tidak umum, seperti merekrut anggota memanfaatkan teknologi, media sosial. ISIS mengeksploitasi medsos, seperti menggunakan Twitter dan Facebook untuk mendapat perhatian dari jutaan Muslim di seluruh dunia (Cage, 2019).

Contoh lain, perang antara Ukraina dengan Rusia pada 2014. Pihak Rusia menggunakan metode baru, menyebar berbagai informasi negatif terhadap angkatan bersenjata Ukraina dan pemerintah Ukraina. Berbagai serangan siber itu menyebabkan upaya pendiskreditan, ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap pimpinan angkatan bersenjata dan politik, dan merusak moral masyarakat dan meningkatkan desersi di antara personel militer.

Ancaman atas Indonesia

Di saat pemimpin NIIS Abu Bakr Al-Baghdadi ditemukan tewas di Suriah dan NIIS di Irak dan Suriah gagal menjatuhkan pemerintah, Asia Tenggara khususnya Indonesia dianggap tempat ideal basis NIIS di Asia Tenggara. NIIS di Indonesia telah berkembang dengan nama Jemaah Ansharut Daulah (JAD), mendominasi aksi teror di Indonesia. Serangkaian serangan teror telah terjadi di Indonesia, puncaknya pemberontakan napi teroris di rutan Mako Brimob dan serangkaian aksi terorisme di Surabaya, Jawa Timur.

Terjadi pergeseran metode yang digunakan oleh kelompok jaringan teroris di Indonesia, yaitu menggunakan medsos sebagai alat propaganda dalam merekrut anggota. Metode perekrutan yang dilakukan oleh kelompok NIIS terbukti efektif menarik banyak orang bergabung.  Mudahnya kelompok jaringan terorisme dan radikalisme dalam menyebar propaganda anti-Pancasila dan konten radikal dinilai jadi salah satu alasan kelompok ini dapat terus berkembang. Penyebaran konten melalui medsos, hingga WhatsApp Group dianggap efektif.

Teknologi seperti medsos, memungkinkan bagi seorang aktor untuk memengaruhi seluruh institusi dan infrastruktur dalam suatu negara. Tujuan utama peperangan hibrida adalah mengontrol masyarakat, memengaruhi pola pikir (mindset) masyarakat, memanipulasi masyarakat. Pihak lawan akan berusaha memanipulasi nilai-nilai dasar yang dianut oleh masyarakat, memotivasi masyarakat untuk menolak nilai-nilai dasar tersebut, dan kemudian menyerang infrastruktur yang strategis di suatu negara (Danyk Maliarchuk dan Briggs, 2017).

Kesiapan Indonesia

Perang jenis baru ini harus dipahami oleh Menhan Prabowo, karena tidak bertumpu pada kemampuan militer tetapi juga kemampuan non-militer, khususnya teknologi informasi. Penyebaran paham radikal di Indonesia merupakan upaya lawan dalam memanipulasi nilai-nilai dasar Pancasila yang dianut oleh masyarakat Indonesia.  Menhan harus siap akan berbagai serangan militer maupun non-militer. Menghadapi serangan militer tentunya harus melengkapi alutsista hingga mencapai Minimum Essential Force (MEF) 100 persen.

Sementara dalam menghadapi serangan non-militer seperti pemanfaatan medsos sebagai sarana propaganda kelompok jaringan teroris dan radikal, Kementerian Pertahanan perlu mengembangkan pertahanan siber. Perang di masa akan datang akan ditentukan oleh serangan non-militer seperti serangan siber. Negara lawan dan aktor non-negara saat ini meningkatkan penggunaan siber untuk memunculkan konflik dan peperangan di negara lain, dalam rangka mengumpulkan intelijen, mempromosikan narasi mereka, hingga pada akhirnya mengintegrasikan operasi siber dan operasi fisik.

Sudah saatnya Indonesia mulai memikirkan doktrin militer siber dan kemampuan pertahanan siber menghadapi ancaman di masa akan datang.


Meutya Viada Hafid, Ketua Komisi 1 DPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar