Jumat, 13 Desember 2019

Sebut Saja Demam Berdarah Babi

Sebut Saja Demam Berdarah Babi

Oleh :   CA NIDOM

KOMPAS, 13 Desember 2019


Para peternak dan industri peternakan babi menunggu pemerintah mengumumkan wabah demam babi Afrika di Sumut. Hal itu untuk mencegah penyebaran penyakit. (Kompas, 12/12/2019).

Kejadian kematian babi dan bangkainya dibuang ke aliran sungai di Sumatera Utara, memang mengkhawatirkan. Sejak Agustus 2019, jumlah kematian lebih dari 25 ribu ekor. Perlu tindakan segera untuk mengurangi kerugian ekonomi dan mengantisipasi penularan pada lingkungan.

Hasil pengujian laboratorium di Medan menyebutkan bahwa pada babi yang mati dijumpai virus Demam Babi Klasik (DBK) atau virus Classical Swine Fever atau hog kholera. Tetapi juga disebutkan dugaan terinfeksi virus lain. Salah satunya Virus Demam Babi Afrika (DBA) atau African Swine Fever. Ini suatu ketidak-laziman, seolah sudah menduga ada virus lain pada kematian babi itu.

Apakah pengujian diarahkan untuk menunjuk virus DBA sehingga semua dikerahkan untuk memburu virus tersebut? Bukankah ada banyak virus ganas lain yang bisa memicu kematian pada babi, masih cukup banyak?

Seharusnya hasil uji tersebut menjadi hak Kementerian Pertanian untuk menentukan sikap, tetapi malah viral. Padahal, jika dicurigai adanya kuman patogen baru (eksotik), perlu uji banding lebih dulu dari laboratorium rujukan.

Dari foto yang beredar, salah satu tanda kematian yang menonjol adalah bintik merah pada kulit (hemoragie). Mirip orang terinfeksi demam berdarah. Oleh karena itu, babi mati di Sumut bisa juga disebut demam berdarah babi, penyebabnya kuman atau patogen yang bisa menimbulkan demam berdarah.

Potensi ekonomi

Populasi babi dunia tahun 2018 ada 770 juta ekor, di China 440 juta ekor (30 persen populasi dunia); Eropa 150, Amerika Serikat 74 juta. Dengan produksi daging 55 juta metrik ton per tahun, China merupakan eksportir babi dan daging terbesar dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Tahun 2018, populasi total 8,5 juta ekor (1,11 persen dari populasi dunia dan 1,93 persen dari populasi di China), dengan sebaran yang tidak merata. Provinsi dengan populasi babi tertinggi adalah NTT, 2 juta ekor, disusul Sumatera Utara 1,2 juta. Provinsi lain dengan populasi di atas 500 ribu ekor adalah Bali, Sulawesi Selatan, dan Papua.

Sementara provinsi dengan kisaran 300 ribu ekor adalah Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Barat. Dengan demikian, peternakan babi di Indonesia memberikan andil pada perekonomian daerah.

Demam babi

Penyebab demam berdarah babi minimal dua macam, yaitu virus demam babi klasik (DBK) atau hog kholera dan demam babi afrika (ASF).

Virus DBK adalah virus RNA dari famili Flaviviridae dan genus Pestivirus, hanya menginfeksi babi dan infeksius (menular). Terhadap aspek klinis, virus DBK ini bisa bersifat akut, kronis dan kongenital dari induk, tergantung kondisi babi dan keganasan virus.

Gejala infeksi akut, terlihat adanya luka hemoragik (perdarahan) pada kulit, demam tinggi, konjungtivitis, kejang-kejang dan kematian sampai 100%. Ini terjadi setelah 1-3 minggu inkubasi. Gejala infeksi kronis ditandai diare dan keterlambatan pertumbuhan. Kematian lebih rendah dari infeksi akut, kecuali ada infeksi campuran kuman lainnya. Penyakit ini pandemis di seluruh dunia, di Indonesia sudah endemis. Virus DBK bahkan menyebabkan kematian 10 ribu ekor babi di Flores, 2018.

Agar virus DBK tidak menyebar, perlu pelarangan lalu lintas hewan dan produknya dari daerah wabah ke non-wabah; menghindari kontak langsung dan tidak langsung dengan faktor penular hewan dan manusia: serta vaksinasi.

Penyebab demam berdarah babi lain adalah virus demam babi afrika (DBA). Berbeda dengan virus DBK, virus DBA merupakan virus DNA utas ganda, genom sepanjang 170–194 kilobase (kb), tubuh dibungkus lemak. Keragaman (genotip) virus DBA tidak kurang dari 30 genotipe. Belum lagi dari serotipenya.

Virus ini anggota genus Asfivirus dan kelas asfarviridae. Virus ini bisa menimbulkan demam berdarah, bukan hanya pada babi peliharaan, tetapi juga babi liar. Bisa menimbulkan kematian yang tinggi dan sangat cepat.

Penyakit dan virus DBA pertama kali diisolasi oleh Montgomery, ilmuwan di Kenya, 1921. Tahun 1960 terjadi wabah di Eropa dan Amerika Selatan, tahun 2007 di Georgia (Uni Soviet) dan kemudian menyebar ke negara tetangga: China dan negara Asia lain.

Tahun 2018 dilaporkan wabah DBA di China. Awal Januari 2019 menyebar ke peternakan rakyat di Vietnam dan Mongolia. Virus DBA sudah ada di Kamboja 2 April 2019 dan  di Korea Utara 23 Mei 2019. Negara Laos juga didatangi virus DBA pada 20 Juni 2019.  Pertengahan Juli 2019 dikabarkan di Filipina, Myanmar 1 Agustus 2019, dan terakhir Timur Leste pada  29 September 2019.

Infeksi bisa terjadi berulang. Di beberapa negara secara periodik wabah ini kembali, meskipun cara eradikasinya sangat baik, memusnahkan babi yang sakit, sanitasi, biosekuriti, dan karantina. Virus DBA Vietnam yang berhasil diisiolasi, setelah dianalisis kekerabatannya ternyata termasuk genotip II seperti yang terjadi pada wabah Georgia (2007) dan China (2018).

Model penularan

Virus DBA saat menginfeksi tubuh babi membawa kompleksitas sendiri, membuat vaksin tidak efektif. Virus DBA banyak menginfeksi sel darah merah (RBC) dan sel darah putih.

Selain itu penularan virus DBA membutuhkan perantara dan paling sedikit ada empat model penularan virus DBA. Pertama model sylvatic,  penularan virus dari babi liar yang berkeliaran, memuntahkan remah-remah dari mulutnya, dikonsumsi oleh caplak (tick) sehingga virus DBA berada di dalam tubuh caplak. Ektoparasit yang banyak dijumpai membawa virus ini adalah Ornithodoros spp. Jika suatu daerah banyak terdapat parasit ini, ada peluang recevoir virus DBA. Virus ini tidak menginfeksi caplak, hanya sebagai perantara.Kehadiran ahli parasit (parasitolog)  terutama ektoparasit, dibutuhkan untuk memantau keberadaan dan sifat ektoparasit yang ada di sekitar peternakan babi.

Selanjutnya model kedua, penularan virus DBA dari caplak ke ternak babi (domestik). Model ketiga, melalui babi yang mati kemudian dibuang ke aliran sungai, sehingga membuka peluang dikonsumsi babi liar/hutan. Terakhir model ke empat yaitu tetelan atau bangkai yang dibuang sembarangan, akan memberi peluang virus DBA tersebut bertambah mata rantainya. Pembuangan bangkai ke sungai sangat tidak dianjurkan, karena tidak memutus mata rantai bahkan bisa menimbulkan genotipe baru.

Belajar dari flu burung

Pihak otoritas seyogianya mengkaji secara komprehensif deklarasi suatu penyakit. Tentunya ruang masyarakat akan berbeda dengan ruang laboratorium tatkala menemukan kajian baru.

Pertama virus flu burung ditularkan melalui udara; sedangkan DBA melalui kontak baik langsung maupun melalui produk-produknya; Kedua, kematian sudah mencapai jutaan unggas yang mengancam industri perunggasan nasional; sementara peternakan babi bisa dilokalisasi sesuai tempat kejadiannya; Ketiga, virus flu burung berpotensi menular dan fatal pada manusia, sementara virus DBA belum dilaporkan berisiko pada manusia.

Munculnya wabah demam berdarah babi di Sumatra Utara belum mendesak untuk dideklarasikan sebagai wabah nasional. Mengingat kematian bukan satu-satunya oleh virus DBA, tetapi secara konfirmasi oleh virus DBK.

Masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengendalikan wabah kematian babi tersebut. Termasuk imbauan agar pemerintah membantu mangatasi kerugian peternak, sebagai suatu alternatif, tanpa harus dikaitkan dengan wabah demam berdarah babi.


(CA Nidom, Guru Besar FKH-Unair, Surabaya, Pembina Professor Nidom Foundation, Surabaya)

2 komentar: